Judul Buku: Njoto, Biografi Pemikiran 1951-1965
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Tahun: 2017
Penerbit: Marjin Kiri
Jumlah halaman: 283
Nama Njoto, walaupun dianggap sebagai seorang prosais dan propagandis paling genital dalam sejarah gerakan kiri di Indonesia, masih tidak terlalu sering terdengar seperti nama-nama tokoh seperjuangannya seperti D. N. Aidit dan Mohammad Lukman. Bahkan buku ini tidak bisa menjelaskan secara mendetail kenapa hal tersebut bisa terjadi, namun ada banyak pelajaran berharga lain yang coba disampaikan kepada para pembaca melalui buku yang awalnya merupakan sebuah karya skripsi sang penulis ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini memang tidak menawarkan kisah perjalanan hidup dari seorang Njoto kecil sampai dewasa dengan alur yang membosankan, namun menyuguhkan biografi pemikiran seorang politikus cerdas.
Pembaca dibantu memahami pemikiran seorang Njoto dengan membagi tiga bidang yang digelutinya: politik, publisistik, dan kebudayaan, menjadi tiga bab terpisah.
Pada pembahasan awal, pembaca akan mengetahui bahwa pemikiran Njoto memang utamanya bersumber pada konsep komunisme dan sosialisme yang awalnya berkembang sebagai suatu pemikiran di belahan dunia Barat. Namun Njoto, sebagai seorang nasionalis, menekankan kepada para pengikut politiknya bahwa jika ingin menyelesaikan permasalahan yang ada di Indonesia, maka gagasan-gagasan yang merupakan anak dari konsep komunisme dan sosialisme dari Barat harus disesuaikan dengan keadaan yang ada di dalam negeri. Hal tersebut dianggapnya sebagai cara penggodokan solusi yang terbaik, daripada menerapkan mentah-mentah suatu teori yang lahirnya dari suatu lingkungan masyarakat dengan budaya dan keadaan sosial yang berbeda. Selain itu pembaca disuguhkan dengan perjalanan karir politik seorang Njoto, yakni menjadi salah satu pucuk pimpinan PKI dan juga anggota Politbiro dan kepala Departemen Agitasi dan Propaganda Partai. Saat selesai membaca sub-judul Politik, dapat terasa bagaimana penulis mencoba meyakinkan penikmat karyanya bahwa Njoto adalah seorang pria muda yang memiliki pengetahuan dan strategi politik yang cerdas untuk zamannya, terutama dalam mengembalikan citra partai yang sempat rusak karena Pemberontakan tahun 1948.
Dalam hal ini, bagi pembaca yang memiliki sentimen positif terhadap perjuangan partai komunis beserta para tokohnya akan semakin terkagum dengan sosok Njoto yang ternyata juga memiliki kemampuan literasi yang baik. Media Harian Rakjat merupakan corong yang dipilih oleh Njoto untuk menyuarakan visi misi yang dibawa partai yang dipimpinnya kepada rakyat Indonesia. Dari data-data yang ditampilkan secara rapi dalam buku ini, kita pun bisa mengetahui betapa berhasilnya strategi publikasi yang digunakan oleh Njoto, sebagai pimpinan partai dan juga anggota redaksi surat kabar tersebut. Dalam menyampaikan pesan politiknya, Njoto tidak hanya melulu berbicara tentang strategi untuk meraup banyak dukungan dari masyarakat, namun juga memberikan pemahaman melalui pidatonya tentang teknik penulisan surat kabar yang sesuai. Sehingga bisa dikatakan bahwa keberhasilan PKI pada zamannya kala itu tidak lepas dari andil seorang Njoto yang mampu mengelaborasikan kemampuannya di bidang politik dan juga kepenulisan.
Dalam bidang kebudayaan, Njoto memang bukanlah seorang seniman yang punya banyak karya untuk dipajang di suatu pameran, namun ia bertindak melalui kepedulian dan pemikirannya akan budaya Indonesia. Pasca kemerdekaan, masyarakat Indonesia bisa dibilang mengalami suatu bentuk ‘kegalauan’ budaya karena otonomi yang mereka miliki dan dilema yang melibatkan dua kutub, yakni mempertahankan budaya tradisional Nusantara dan menerima masukan budaya dari negara-negara Barat. Sekali lagi dengan menekankan nilai kebangsaan dan mengutip dari salah satu tokoh pelopor komunis, Friedrich Engels, bahwa yang paling tepat dari kedua pilihan tersebut adalah menggabungkannya demi sebuah kebaikan, karena “apa artinya yang baru jika yang baru itu tidak tepat.” Sehingga menurut Njoto, rakyat perlu mempertahankan budaya Indonesia yang baik, dan pada saat yang sama terbuka dengan budaya ‘baru’ yang baik.
Dengan pembagian mendasar menurut bidang yang digeluti Njoto yang memudahkan pembaca untuk mengenalnya, dari segi penulisan buku ini mungkin akan terasa agak berat bagi pembaca usia sekolah. Hal tersebut dikarenakan pemilihan beberapa kata yang jarang digunakan di teks kontemporer yang mungkin akan menyebabkan sedikit kebingungan walaupun sifatnya tidak substansial. Namun yang perlu dihargai adalah penyampaian rujukan yang ditulis sesuai dengan ejaan asli, memberikan kesan tersendiri bagi pembaca yang memang suka sejarah. Selain itu kemampuan penulis untuk mengumpulkan beberapa pidato Njoto dan menyuguhkannya dalam urutan yang nyaman dibaca juga pantas diacungi jempol.