Saya pikir semua penonton yang hadir pada pertunjukan teater bertajuk Bunga Penutup Abad, selanjutnya disebut dengan BPA, di gedung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta memiliki ekspektasi dalam kepala mereka masing-masing. Ekspektasi itu bahkan mungkin sudah terbangun sejak jauh-jauh hari pementasan, yang salah satunya dapat terlihat dari penjualan tiket yang laku keras. Saya diberi kesempatan untuk bisa hadir pada pertunjukan hari pertama, tanggal 16 November 2018, yang dikhususkan untuk tamu undangan dan media massa. Dan walaupun saya tidak perlu turut dalam kompetisi pembelian tiket, tetap saja dalam kepala saya sudah ada satu konstruksi ekspektasi dari pertunjukan tersebut.

Media publikasi pertunjukan teater Bunga Penutup Abad. Sumber: Titimangsa Production

Ekspektasi itu menurut hemat saya tidak bisa dipisahkan dari pencantuman keterangan ‘dialihwahanakan dari novel karya: Pramoedya Ananta Toer’ pada media publikasi pertunjukan tersebut. Sekeras apapun upaya kita untuk menghindari pelabelan ‘sastra kanon’, sulit untuk tidak mengakui besarnya pengaruh Pramoedya dalam ranah kesusastraan Indonesia, bahkan mungkin dunia. Oleh karena itu, kiranya sah-sah saja jika beragam ekspektasi muncul dalam kepala penonton pertunjukan.

Secara pribadi, saya berekspektasi pertunjukan tersebut akan mengadaptasi secara penuh, tentu saja dengan melibatkan proses kondensasi, novel Tetralogi Pulau Buru karya Pram. Selain itu, dengan mengingat latar waktu dan tempat yang digunakan dalam novel, saya beranggapan penonton akan disuguhi dengan panggung yang penuh sesak dengan properti dengan tujuan untuk menangkap secara sempurna penggambaran latar tersebut. Namun rupanya dua ekspektasi mendasar tersebut dipatahkan dengan cara yang manis.

Dalam booklet yang dibagikan kepada penonton di pintu masuk, dicantumkan bahwa Wawan Sofyan, selaku sutradara dan agen di balik kerja alih wahana –atau dramatisasi– terinspirasi dari bagian surat-surat yang dicantumkan pada salah satu dari novel Tetralogi Pulau Buru, yakni Anak Semua Bangsa, selanjutnya disebut dengan ASB. Surat-surat tersebut dikirimkan oleh Panji Darman kepada Nyai Ontosoroh (diperankan oleh Marsha Timothy) dan Minke (diperankan oleh Reza Rahardian) yang menceritakan perjalanan Annelies (diperankan oleh Chelsea Islan) dari Surabaya ke Nederland dalam keadaan sakit parah. Adapun judul pertunjukan tersebut diambil dari dialog Minke dengan Jean Marais (diperankan oleh Lukman Sardi) terkait nama lukisan potret Annelies yang dibuat setelah kematian perempuan itu, yang diberi judul ‘Bunga Penutup Abad’ oleh Minke.

Penguatan latar dengan pemilihan properti panggung dan pakaian. Sumber: antaranews.com

Sejak awal tirai diangkat, ekspektasi saya terkait penataan panggung dipatahkan dengan disuguhkannya sebuah latar yang memanfaatkan properti dalam jumlah yang cukup sedikit sehingga memunculkan suasana minimalis. Namun detil properti yang ditunjukkan dari bentuk dan gaya benda-benda di atas panggung mampu memberikan penggambaran yang kuat bahwa latar yang sedang dipertunjukkan adalah rumah Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh. Hal tersebut diperkuat juga dengan penampilan Minke dan Nyai Ontosoroh dengan gaya pakaian tradisi Jawa, yakni blangkon, jarik, dan kebaya, selop, serta sanggul.

Sementara itu, pada aspek naratif, terdapat sebuah upaya pendobrakan alur linear dari novel ASB dengan memanfaatkan teknik penceritaan flashback untuk menceritakan kehidupan rumah tangga Ontosoroh sebelum kematian Annelies. Pemanfaatan flashback ini menurut saya dilakukan dengan rapi; tetapi karena dipertunjukkan dengan pola yang konstan sejak awal sampai akhir, pada kelanjutannya penonton bisa menebak bagian-bagian mana yang akan digambarkan dengan teknik flashback.

Sebagai contoh, beberapa kali setelah membacakan surat dari Panji Darman dan berbincang dengan Nyai Ontosoroh, Minke akan berdiri di tengah panggung dengan lampu sorot yang terfokus padanya untuk menceritakan peristiwa pertemuan-pertemuan awalnya dengan Annelies, yang kemudian diikuti dengan penggambaran flashback yang menghadirkan Annelies di atas panggung. Setelah flashback tuntas, Minke akan kembali membacakan surat kiriman Panji Darman kepada Nyai Ontosoroh, dilanjutkan dengan perbincangan di antara mertua dan menantu tersebut, dan selanjutnya diikuti dengan flashback lagi. Pola itu pada awalnya memberikan impresi yang menarik, namun pada kelanjutannya memberikan efek yang cukup membosankan karena disuguhkan berulang-ulang.

Terlepas dari pengulangan pola tersebut, ada satu hal dari aspek keaktoran yang perlu diapresiasi, yakni pengekspresian emosi dari tokoh Nyai Ontosoroh dan Minke. Mereka harus bekerja keras melakukan pergantian emosi dari kesedihan pada alur linear (pasca kepergian Annelies ke Nederland sampai kematiannya) ke kebahagiaan pada alur masa lalu (kedatangan Minke untuk pertama kali ke rumah keluarga Melema sampai kepergian Annelies ke Nederland). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pergantian antara alur linear dan flashback terjadi berkali-kali, sehingga memang diperlukan kemampuan pengaturan emosi yang cukup tinggi.

Saya pikir Marsha Timothy perlu mendapatkan apresiasi yang besar terkait hal ini, karena kemampuannya untuk menampikan sosok Nyai Ontosoroh dengan baik pada penampilannya yang pertama dalam teater BPA ini. Pergantian emosi Nyai Ontosoroh terlihat begitu jelas dari intonasi suara, ekspresi wajah, dan gestur yang dipertunjukkan dalam setiap permainan alur.

Sementara itu Minke yang sejak awal digambarkan sebagai seorang pemuda yang cenderung tidak impulsif, canggung, dan sopan tidak terlalu menunjukkan kontras emosi di antara kedua teknik alur. Namun tidak patut juga untuk menyatakan Reza Rahardian tidak menguasai karakter yang dibawakannya. Saya berpendapat Minke memang sengaja dikonstruksikan sebagai sosok laki-laki Jawa ideal, yakni yang berperangai tenang, tidak impulsif, dan tidak mudah dikendalikan oleh perasaan. Sementara itu di saat yang sama, Nyai Ontosoroh diberikan ruang yang lebih luas untuk bermain-main dengan ekspresi dan emosi.

Saya selanjutnya akan beranjak ke pembahasan dan evaluasi yang lebih mendetil terkait pengaluran dan tata panggung. Sebenarnya saya terlupa untuk menghitung durasi dari pertunjukan BPA tersebut, namun menurut saya tempo yang lamban membuat pertunjukan teater itu terasa begitu lama. Seperti yang telah disinggung di atas, pendobrakan alur linear pada awalnya memberikan impresi positif, pada kelanjutannya cenderung menciptakan penggambaran yang tidak ringkas dan bertele-tele. Penyelipan humor melalui intonasi dialog oleh Minke dan Nyai Ontosoroh terbukti tidak berhasil menciptakan dinamika narasi yang menarik sejak awal sampai akhir pertunjukan.

Salah satu hal yang paling saya sayangkan adalah ketidakberhasilan untuk menciptakan klimaks cerita, atau sering disebut dengan anticlimax. Pembicaraan Minke dengan Jean Marais di studio pelukis asal Perancis tersebut terkait judul lukisan potret Annelies yang ditutup dengan dialog tegas ke arah penonton “lukisan ini akan kuberi nama Bunga Penutup Abad” oleh Minke membuat saya sempat berpikirbahwa momen itu akan menjadi akhir dari pertunjukan. Ternyata tidak. Adegan itu rupanya merupakan bagian pertengahan yang masih diikuti dengan permainan alur flashback berkali-kali sampai akhir.

Cara Minke berdiri di tengah panggung, disorot oleh lampu tengah, dan berbicara dengan lantang untuk menyebutkan judul lukisan tersebut sebenarnya cukup memberikan penekanan pada tajuk pertunjukan tersebut. Namun rupanya tidak mampu memuaskan penilaian saya terkait dinamika narasi. Terkait dengan hal ini, saya merasa ada keterkaitan kuat dengan wacana yang ingin diangkat oleh sutradara. Pertunjukan itu memang sepertinya tidak ingin mengangkat kisah percintaan Minke dan Annelies semata, namun lebih menekankan pada isu yang lebih besar, yakni wacana pascakolonial.

Hal tersebut dibuktikan dengan pertunjukan yang ditutup dengan monolog singkat Nyai Ontosoroh dengan disorot dengan lampu merah dan penciptaan suasana amarah terkait kegeramannya dengan praktik kolonialisme yang telah merampas haknya sebagai seorang pribumi. Ia telah dijual oleh bapaknya untuk menjadi nyai, mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, dan tidak memiliki hak membela diri dalam pengadilan.

Upaya untuk mengangkat, atau mempertahankan, narasi besar dari novel Tetralogi Pulau Buru ke atas panggung pertunjukan memang perlu diberi apresiasi tersendiri. Hal tersebut menjadikan karya besar itu tidak terasa seperti roman picisan setelah dipentaskan di atas panggung. Namun pemilihan strategi narasi yang lebih dinamis dan variatif saya pikir diperlukan untuk mempercantik pengangkatan wacana pascakolonial tersebut.

Selanjutnya terkait tata panggung, terdapat beberapa hal yang kurang menguntungkan bagi penonton. Selain penggunaan properti yang minimalis, pertunjukan teater BPA berupaya melakukan inovasi dalam hal tata panggung dan penciptaan suasana. Tepat di belakang ruang tamu rumah Nyai Ontosoroh, berdiri beberapa bilah papan dan sebuah pintu yang diberi kain kasa tembus cahaya untuk menyerupai bangunan tembok. Di balik bilah papan tersebut, terdapat kamar Annelies yang hanya ditunjukkan dengan penempatan sebuah tempat tidur bergaya lama. Kamar tidur tersebut hanya digunakan untuk satu adegan, yakni tiga hari sebelum keberangkatan Annelies ke Nederland, di mana ia sudah mulai sakit dan hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidurnya.

Penataan ruang panggung tersebut secara teknis memang memudahkan transisi babak dan perpindahan properti, namun terdapat satu hal yang kurang diperhatikan. Ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang tidur Annelies menghalangi pandangan penonton yang duduk di bangku kanan dan kiri sehingga adegan di ruang tidur Annelies tidak bisa dinikmati secara sempurna. Padahal keleluasaan untuk bisa melihat semua adegan secara sempurna dari semua posisi tempat duduk merupakan hak penonton yang perlu diperhatikan oleh penggarap teater.

Pemanfaatan proyeksi gambar untuk memperkuat suasana. Sumber: dokumentasi pribadi.

Selain itu, pemanfaatan kain kasa tersebut rupanya dilanjutkan dengan digunakannya sebagai layar penangkap proyeksi gambar dan tulisan. Selain mengeksploitasi warna dan penempatan lampu, pertunjukan BPA memanfaatkan teknologi proyektor gambar untuk menguatkan suasana. Lampu berwarna netral dikombinasikan dengan proyeksi gambar bergerak ombak lautan saat Minke membacakan surat dari Panji Darman kepada Ontosoroh. Selain itu, lampu berwarna merah juga dikombinasikan dengan proyeksi ilustrasi bunga-bunga mawar merah untuk memperkuat suasana amarah yang dipertunjukkan oleh Nyai Ontosoroh. Pada beberapa titik, kombinasi tersebut merupakan hal yang baik dan nyaman dinikmati, namun tidak berlaku pada semua penciptaan suasana.

Proyeksi tulisan di permukaan kain kasa saat berlangsungnya adegan di kamar tidur Annelies merupakan satu kesalahan cukup fatal. Tulisan tersebut dicatut dari novel Pram, cukup panjang, dan ternyata hanya memberikan distraksi terhadap fokus penonton dan komposisi panggung. Argumen paling mendasar terhadap kasus ini adalah para penonton datang ke gedung tersebut untuk menonton teater yang diangkat dari novel Pram, bukan untuk membaca novel Pram. Saya sampai sekarang masih bertanya-tanya mengapa harus ditampilkan dua cuplikan dari novel Pram di atas panggung, apalagi tulisan yang disorot tersebut juga bukan kutipan-kutipan yang sudah familiar.

Distraksi yang diciptakan dari pemanfaatan teknologi merupakan hal lain yang perlu dievaluasi dari pertunjukan teater BPA. Hal ini seperti berlaku pada kajian sinema atau perfilman. Teknik framing yang mampu berbicara menjadi salah satu komponen penilaian efektif atau tidaknya teknik sinematografi film. Penggunaan narator atau dialog yang berlebihan menunjukkan adanya kelemahan pada aspek sinematografis tersebut.

Secara umum, saya cukup menikmati pertunjukan BPA yang ketiga ini  (sebelumnya dipentaskan pada tahun 2016 di Jakarta dan 2017 di Bandung), yang mungkin dipengaruhi oleh ketertarikan dan pengalaman saya pribadi dalam ranah teater dan seni pertunjukan. Penilaian yang jauh berbeda bisa saja diberikan oleh mereka yang sudah menonton dua pertunjukan BPA sebelumnya, dan juga mereka yang lebih menyukai pertunjukan satu babak atau one-act. Diskusi lanjutan yang lebih lengkap dan komprehensif terkait BPA kiranya dibutuhkan dalam keterkaitannya dengan kerja kreatif di ranah seni pertunjukan di Indonesia agar terus bermekaran dan tidak layu di penghujung abad.