Dhianita Kusuma Pertiwi

Kata, Frasa, dan Rasa

Tangis di Bawah Bendera Toleransi

Saya akan memulai tulisan ini dengan melakukan refleksi terhadap dan tentang diri saya sendiri, sebagai seseorang yang terlahir dalam cakupan dan batasan geografis yang “sengaja” dinamakan Indonesia. Iya, Indonesia yang digadang-gadangkan sebagai negara dengan kekayaan dan keragaman budayanya. Indonesia dengan masyarakatnya yang saling menghargai dan bertenggang rasa terlepas dari semua perbedaan. Indonesia dengan semua jargon-jargonnya yang sekelebat menenangkan.

(more…)

Yang Luput Tersalin dalam Penyalin Cahaya

Resepsi positif atas film Penyalin Cahaya agaknya bukan hal yang mengherankan. Karya tersebut dapat dikatakan mewakili cukup banyak suara yang selama ini tercekat hanya sampai pangkal lidah, menggambarkan hal-hal yang tidak asing tapi pada saat yang sama tidak dibahas secara terbuka. Secara umum, riuh rendah tepuk tangan dan sorotan lampu panggung mengarah pada karakter Suryani atau Sur yang memang digarap dengan matang dan kuat. Namun sesungguhnya ada satu sosok karakter kompleks protagonis/antagonis yang tidak mendapatkan atensi yang setingkat dengan Sur, yang tidak dimenangkan oleh para penonton, tapi diselamatkan oleh cerita dalam film itu sendiri. Ia adalah Amin.

(more…)

Seratus Tahun Impotensi

Saya tidak bisa mengingat dengan persis kapan terakhir kali saya membaca Jalan Tak Ada Ujung sebelum bersentuhan lagi dengannya pada awal bulan Agustus ini. Sepertinya saat masih menjadi siswa SMA jurusan Bahasa yang diwajibkan membaca karya-karya “klasik” sastra Indonesia. Dulu saya memaknai novel ini semata sebagai penggambaran ulang dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia satu tahun setelah pembacaan teks proklamasi kemerdekaan. Namun, sekarang saya malah bertanya-tanya, bagaimana jika Guru Isa tidak lain adalah personifikasi Indonesia? 

(more…)

Sejauh (Mana) Kita Melangkah(?)

Setelah sempat menjadi perbincangan hangat publik karena ditayangkan dan durasinya dipotong tanpa seizin dari pembuatnya oleh Kemdikbud, film dokumenter pendek Sejauh Kumelangkah merambah ruang-ruang digital sebagai media penyebarannya. Tulisan ini sebenarnya harus diakui lebih merupakan refleksi pribadi atas pengalaman mengikuti pemutaran film daring untuk pertama kalinya pada Rabu (27/01) lalu, alih-alih kajian film Sejauh Kumelangkah secara analitik sebagai teks. Ini adalah tentang keberadaan dan ketiadaan, keramaian dan kesunyian, kemampuan dan ketidakberdayaan, juga tabrakan-tabrakan lain yang saya rasakan dari sebuah karya film pendek.

(more…)

Mbak Dian, Kamu Tidak Sendirian

Setelah menjadi perbincangan (baca: perdebatan) di antara para pengguna media sosial, wajah dari tokoh utama film Tilik, Bu Tedjo, semakin mudah ditemukan di jagat internet dalam bentuk meme dan stiker. Beberapa perbincangan kebanyakan menempatkan Bu Tedjo–yang di film tersebut menjadi penyulut pergunjingan–sebagai bahan pembicaraan, mulai dari cara berbicaranya, ekspresi dan mimik wajahnya, dan tentu dialog-dialog yang disampaikan. Namun tulisan ini saya tujukan untuk Mbak Dian, tokoh yang dibicarakan di sepanjang film tersebut.

(more…)

Membawa Kota ke Atas Panggung

Kota menjadi tema yang diangkat dalam dua pertunjukan teater dalam perhelatan Djakarta Teater Platform bertajuk “Kekuasaan dan Ketakutan”. Setengah Komplek-X oleh Teater Alamat dan Suara-Suara Gelap: Dari Ruang Dapur oleh Teater Kala adalah dua pertunjukan yang mengangkat isu perkotaan dengan strategi penceritaan yang berbeda. Dramaturgi yang tidak sama persis untuk mengangkat satu tema serupa menjadi kajian menarik untuk dibahas.

(more…)

Dinamika Ideologi dalam Kumpulan Cerpen Debur Zaman (2019)

Tiga periode yang menjadi latar waktu penciptaan karya dalam kumpulan cerpen Debur Zaman (2019) oleh Putu Oka Sukanta mengimplikasikan dinamika pada ideologi teks yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Dinamika ideologi dalam tulisan ini diasumsikan dipengaruhi oleh sejumlah faktor ekstrinsik seperti medan sastra, situasi politik, dan pengalaman pribadi penulis. Tulisan ini akan mengkaji dinamika ideologi dari tiga periode linimasa kepenulisan dengan urutan paling lama sampai terbaru–terbalik dari yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen tersebut– dengan membaca situasi sosial, politik, dan ekonomi pada masing-masing periode kepenulisan.

(more…)

Memaknai Ulang ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’

Terlepas masih ‘menariknya’ hari Kartini sampai hari ini, akhir-akhir ini sedikit sekali adanya pembahasan tekstual tentang Door duisternis tot licht (Through Darkness into Light [pen. Agnes L. Symmers] –  Habis Gelap Terbitlah Terang [pen. Armijn Pane]). Sosok Kartini dan karyanya dewasa ini disebut-sebut setiap tahun semata karena kita ingin terlihat turut merayakan Hari Kartini. Sementara itu, apakah kita benar-benar memahami makna dikotomi ‘gelap-terang’ yang disampaikan oleh Kartini pada tulisannya?

(more…)

Bunga Penutup Abad yang Tidak Mekar dengan Sempurna






Saya pikir semua penonton yang hadir pada pertunjukan teater bertajuk Bunga Penutup Abad, selanjutnya disebut dengan BPA, di gedung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta memiliki ekspektasi dalam kepala mereka masing-masing. Ekspektasi itu bahkan mungkin sudah terbangun sejak jauh-jauh hari pementasan, yang salah satunya dapat terlihat dari penjualan tiket yang laku keras. Saya diberi kesempatan untuk bisa hadir pada pertunjukan hari pertama, tanggal 16 November 2018, yang dikhususkan untuk tamu undangan dan media massa. Dan walaupun saya tidak perlu turut dalam kompetisi pembelian tiket, tetap saja dalam kepala saya sudah ada satu konstruksi ekspektasi dari pertunjukan tersebut.

(more…)

Follow Us