Memasuki dua tahun kepemimpinan periode kedua Joko Widodo-Ma’ruf Amin, pemerintah berupaya terus meyakinkan (baca: membeli hati) masyarakat dengan daftar “capaian dua tahun”. Namun apa yang disebut sebagai capaian oleh pemerintah belum tentu dibaca dengan cara yang sama oleh masyarakat. Hal tersebut paling tidak terlihat dari dua momentum internasional nasional yang terjadi pada dua pekan terakhir, yakni pidato Joko Widodo di Konferensi Tingkat Tingi Perubahan Iklim PBB 2021 (United Nations Climate Change Conference) yang kedua puluh enam, atau COP26, dan penentuan status UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Pertama kali diselenggarakan pada 1995 di Berlin, KTT COP adalah salah satu forum internasional tahunan PBB yang difokuskan untuk membahas komitmen negara-negara anggota dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim, sesuai dengan prioritas global pada rentangan waktu tertentu. COP26 sebenarnya dijadwalkan untuk dilaksanakan pada 2020, namun harus diundur karena pandemi Covid-19. Prioritas COP26 yang berlangsung di Glasgow merupakan pertemuan lima tahunan pertama setelah pengesahan Pertujuan Paris pada 2015 yang mengharuskan negara-negara penandatangan untuk menerapkan ratchet mechanism setiap lima tahun sekali untuk memperkuat komitmen nasional dalam menangani isu perubahan iklim. Pada pertemuan ini, Indonesia mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pidato dengan diwakili oleh Presiden Joko Widodo.

Dalam pidatonya, Joko Widodo menggarisbawahi beberapa hal yang dinarasikan sebagai langkah-langkah dan capaian Indonesia dalam upaya menanggulangi risiko dan mencegah memburuknya perubahan iklim. Dari sejumlah hal yang disebutkannya, pernyataan Joko Widodo terkait menurunnya tingkat deforestasi menjadi sorotan khusus para aktivis lingkungan hidup dan tokoh masyarakat adat di Indonesia. Dalam pidatonya, Joko Widodo menyampaikan “laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam dua puluh tahun terakhir”, yang kemudian direspons secara kritis oleh masyarakat yang menganggap pernyataan tersebut bertolak belakang dengan apa yang mereka lihat dan alami sehari-hari. Kesepakatan final dari COP26 juga mendapatkan respons kritis dari para aktivis lingkungan dari berbagai dunia yang menganggap pasal-pasal perjanjiannya tidak menunjukkan keseriusan dan komitmen kuat para pemimpin negara dalam mengatasi isu lingkungan.

Tidak lama setelah pidato Joko Widodo di KTT COP26, masyarakat yang masih gusar dengan pernyataan kepala negaranya kembali dibuat tercengang dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Glasgow. Ia merespons kesepakatan COP26 yang menekankan komitmen negara-negara untuk mencapai nol deforestasi. Menurutnya, pembangunan di masa kepemimpinan Joko Widodo “tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi” dan kita perlu menolak istilah deforestasi yang telah digunakan selama ini sebab tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia. Di negara-negara Eropa, menurut Siti, “sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi” sementara Indonesia harus menebang pohon untuk akses jalan bagi masyarakat di pedalaman. Pernyataan itu kemudian tidak lupa dijadikannya bahan cuitan, sampai sempat menjadi trending topic di jagat media sosial Twitter.

Pernyataan Siti Nurbaya, notabene sebagai seorang Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentu saja membuat banyak orang terheran-heran. Masyarakat tentu mengharapkannya sebagai sosok yang maju ke garda depan untuk menjalankan komitmen mencapai tujuan Persetujuan Paris atau hasil GOP26, atau paling tidak mengimbangi cita-cita pembangunan infrastruktur Joko Widodo dengan pertimbangan terkait dampak lingkungan yang dihasilkan dari pembangunan. Terlebih alasan “menebang satu pohon masuk dalam kategori deforestasi” tidaklah dapat dibenarkan. Dari unsur kata dari terminologi tersebut kita mendapati kata forest atau hutan, bukan sebatang pohon di belakang rumah.

Terlebih lagi alasan penebangan hutan untuk kebutuhan masyarakat–khususnya dalam hal ini masyarakat adat–juga tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Karena pada realitasnya, sebagian besar penebangan hutan di Indonesia dilakukan didorong oleh industri berbasis ekstraktif seperti pertambangan. Hal tersebut dapat dilihat dari data grafik luas IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) yang didominasi untuk kebutuhan tambang. Bahkan pada tahun 2004–2014, perbandingannya cukup mencegangkan, yakni 305.070 hektar hutan untuk kebutuhan tambang dan hanya 17.097 hektar yang dimanfaatkan untuk sektor nontambang seperti jalan tol, jalan umum, jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, migas, dan geothermal. Semua data itu bahkan dirangkum sendiri oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tidak berhenti di situ, pemerintah juga melakukan represi terhadap masyarakat yang menyampaikan protes mereka di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal ini memperpanjang daftar kasus kriminalisasi aktivis lingkungan hidup yang sampai hari ini masih terus menghantui sistem politik demokrasi di negeri ini. Sekali lagi, UU ITE digunakan sebagai senjata ampuh untuk meringkus orang-orang yang dituduh tidak mendukung wacana pemerintah. Tidak hanya mencoreng hak berpendapat, penangkapan ini pertanda kurang seriusnya komitmen pemerintah untuk bekerja sama dengan publik untuk mengatasi isu lingkungan hidup.

Sebenarnya bukan hal yang baru bagi pemimpin negara atau perwakilan pemimpin negara yang hadir di konferensi internasional untuk membagikan tentang keberhasilan mereka dalam menerapkan suatu kebijakan atau mengatasi suatu isu global. Meskipun tidak jarang hal-hal yang dibicarakan dalam forum tersebut kurang dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Seringkali pertemuan itu terkesan hanya seperti kewajiban formalitas bagi negara-negara yang menjadi anggota dari organisasi atau perserikatan antarbangsa. Oleh karena itu, pada dasarnya akan cuma-cuma untuk mengharapkan Jokowi untuk benar-benar blak-blakan tentang kondisi yang terjadi di Indonesia. Namun bukan berarti kemudian masyarakat tidak diberi ruang untuk menyampaikan kritik atas apa yang disampaikan oleh kepala negaranya di forum internasional.

Menyusul pidato Joko Widodo dan pernyataan Siti Nurbaya yang mengecewakan publik masyarakat, mencuat kembali pembahasan tentang UU Cipta Kerja yang sejak awal disahkan sudah menuai banyak kecaman. Respons terbaru terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 itu muncul setelah pengumuman Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 1,09%. Besaran itu jauh dari tuntutan buruh yakni sebesar 10% sehingga tentu memicu respons negatif dari para buruh. Massa serikat buruh turun ke jalan menyuarakan keberatan mereka terhadap keputusan Menteri Ketenagakerjaan itu dan menyinggung kembali Undang Undang yang dinilai merugikan pihak pekerja dan menguntungkan para pemilik modal itu.

Respons dari pemerintah atas kritik para buruh adalah dengan mempertimbangkan ulang keabsahan UU Cipta Kerja. Akhirnya Mahkamah Konstitusi menetapkan undang-undang tersebut sebagai inkonstitusional bersyarat. Keputusan MK memang membuka peluang dipertimbangkannya kembali peraturan tersebut, tetapi kata “bersyarat” dalam hal ini perlu disikapi lebih lanjut. Sebab terminologi tersebut mengimplikasikan adanya kepentingan lain yang diusung oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengkaji ulang UU Cipta Kerja, tidak semata-mata pertimbangan hukum yang berlandaskan pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Banyak yang menilai pertimbangan lain itu adalah pertimbangan politik, yang sekali lagi menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah untuk mendahulukan kepentingan masyarakat di atas bisnis dan pembangunan.


Momentum dua tahun periode kedua Jokowi ini diwarnai dengan momentum-momentum yang mempertanyakan keseriusan dan komitmen pemerintah dalam menghadirkan kehidupan bernegara yang menyejahterakan masyarakat. Cita-cita “pembangunan” menjadi dalih atau justifikasi atas kerusakan alam dan perundang-undangan yang memihak satu golongan. Indonesia bukan untuk pertama kalinya mengalami ini. Sebelumnya, pemerintah Orde Baru telah menjadikan wacana pembangunan sebagai kendaraan politik yang cenderung represif terhadap masyarakat, khususnya mereka yang mengutarakan pendapat berbeda. Dan kita sudah melihat bahkan merasakan sendiri seperti apa akhir dari pemerintahan yang mengedepankan pembangunan infrastruktur semata. Sekali lagi kita dibuat bertanya, pembangunan ini untuk siapa?