Akhirnya saya memutuskan untuk ikut bicara di tengah-tengah ‘peperangan’ kecil antara dua kubu anak muda saat ini: penerima beasiswa dan bukan penerima beasiswa. Ada apa sebenarnya? Beasiswa tentu bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia pendidikan, apalagi jika kita bicara tentang Indonesia, mengingat tokoh-tokoh nasional yang bahkan di era sebelum kemerdekaan sudah kuliah di Belanda, Rusia, dan negara-negara lain dengan dibiayai beasiswa. Yang sedang ramai dijadikan pergunjingan adalah bahwa ‘kabar-kabarnya’ anak-anak penerima beasiswa sekarang ini hobi plesir dengan menggunakan beasiswa tersebut.

Saya tidak akan menulis dengan cara yang disebut dengan nyinyir, satire, black humor, sarkasme yang sekarang rupanya semakin digemari sebagai gaya karya-karya tulis terutama yang beredar di dunia maya. Saya lebih suka menulis dengan gaya cenderung formal dan tidak menghakimi, karena memahami bahwa saya bukan orang yang sepenuhnya benar dan tanpa kesalahan. Selain itu, dengan cara menulis yang lebih terfokus pada satu definisi yang jelas akan mengurangi resiko kesalahpahaman dari pihak pembaca. Dan tulisan ini akan bergerak cukup lambat, karena saya akan menjelaskan beberapa hal mulai dari alasan mendaftar beasiswa, gaya hidup, sampai filosofi sawang sinawang dari masyarakat Jawa yang walaupun tidak sepenuhnya menjadi solusi pintar, namun bisa menjadi resolusi untuk perdebatan yang sebenarnya tidak perlu berkepanjangan.

Mengapa harus mendaftar beasiswa? Mengapa ‘saya’ memutuskan untuk mendaftarkan diri ke pengelola dana beasiswa? Jika menyampaikan pertanyaan tersebut kepada semua orang yang pernah dan akan berhadapan dengan tes penerimaan beasiswa, apa pun bentuknya, jawabannya pasti beragam spesiesnya. Sedangkan untuk saya sendiri, paling tidak ada dua motif mendasar, pertama adalah karena saya memang punya cita-cita menjadi akademisi, dan yang kedua orang tua saya keberatan secara ekonomi untuk membiayai sekolah pascasarjana di luar kota. Pada dasarnya itu saja, sederhana. Saya tidak pernah berpikir untuk berwisata menggunakan uang beasiswa, bukan karena saya sok rajin dan sok patuh, tapi memang berwisata itu menurut saya adalah selingan dari rutinitas, bukan rutinitas itu sendiri. Saya pikir motif serupa dengan saya punya itu juga dimiliki oleh para pembaca yang sudah dan akan mendaftar untuk mendapatkan beasiswa, karena kita semua di sini adalah orang-orang dewasa yang berpikiran waras yang tahu mana yang tepat dan mana yang kurang tepat.

Kemudian kita bicara tentang nasib. Nasib antara dinyatakan bisa menerima beasiswa dan tidak. Saya berusaha keras untuk menghindari kata ‘berhasil’ di sini, karena keberhasilan itu terbukti memang relatif di antara satu individu manusia dengan yang lain. Saya juga kurang tahu bagaimana menjabarkan perkara nasib ini dengan kata-kata yang tepat dan mudah dipahami. Saya sendiri merasa nasib saya dalam hal ini cukup beruntung. Karena dibilang mahasiswa rajin bukan, apalagi mahasiswa jenius, tidak sama sekali. Teman-teman kuliah saya semasa S1 sudah hapal benar tempat tongkrongan saya sehari-hari: kantor keskretariatan organisasi mahasiswa dan pujasera kampus. Bahkan menggarap skripsi yang tuntas bersama sidangnya hanya dalam satu semester pun juga di dua tempat itu, bukan di dalam gedung perpustakaan yang dingin dan tidak ramah. Jadi kesimpulannya, saya cukup jauh dari definisi umum mahasiswa rajin, tapi memang cukup beruntung. Dan dengan terus menyadari keberuntungan tersebut, saya tidak mau membuat kesempatan ini terlewatkan tanpa mampu memberikan banyak pelajaran. Tentu dalam hal ini, nasib orang berbeda-beda, karena buktinya saya sendiri pun sudah kenal banyak teman yang sudah langganan mendapatkan beasiswa sejak kuliah S1, dan untungnya pada saat itu saya sudah cukup mampu mengolah pikiran dan perasaan agar tidak mengkritisi teman-teman saya itu secara berlebihan.

Semasa S1 saya punya beberapa teman dekat yang merupakan penerima mahasiswa Bidik Misi dan beasiswa lain dari kampus, dan saya cukup legowo pada saat itu untuk menerima kenyataan ditolak beberapa kali saat mengajukan beasiswa baik yang dikelola kampus maupun oleh organisasi luar kampus. Kecewa memang, melihat beberapa kawan ‘lebih’ dari saya, namun kekecewaan itu tidak lantas membuat saya harus meluncurkan kritik setiap kali teman-teman saya itu membeli barang elektronik atau kebutuhan baru, atau setiap kali mereka plesir ke tempat yang mereka sukai. Perlu dipahami bahwa tidak semua dari kita suka berplesir, karena memang gaya hidup kita tidak bisa diseragamkan atau dikotak-kotakkan. Seperti saya sendiri, saya memang lebih suka duduk tenang sambil menulis atau membaca seharian daripada capek-capek naik gunung, lebih suka belanja buku dan alat bahan prakarya daripada membeli pakaian yang modelnya sedang hits. Kita tidak bisa lagi mengotak-kotakkan dengan belenggu tidak terlihat dan juga melakukan generalisasi sepihak seperti misalnya menyatakan bahwa plesir itu hanya milik pemandu wisata, film itu hanya untuk kritikus sinema, dan buku tebal hanya untuk mahasiswa. Lalu kenapa kita harus memaksakan jalan hidup orang lain agar sesuai dengan nilai yang kita anggap benar?

Dan sekarang, saat saya sudah merasakan bagaimana menjadi penerima beasiswa, lalu muncul tulisan bahwa penerima beasiswa itu sukanya plesir, saya pun tidak langsung terpancing secara emosional. Benar kata teman sesama penerima beasiswa yang juga bisa cukup santai menanggapinya, bahwa “terkadang kita memang perlu saling mengingatkan”. Dan mungkin itulah intensi awal dari penulis di seberang dunia maya sana, yakni mengingatkan. Hanya mungkin caranya kurang tepat dan kurang bisa diterima dengan kepala dingin oleh pembacanya. Karena itulah saya memilih cara penulisan yang lebih formal dan tidak mengandung bumbu-bumbu sindiran, agar walaupun tulisan ini dibaca dalam keadaan lelah setelah kuliah dan mengerjakan tugas, atau setelah menulis selusin artikel blog, kita bisa tetap tersenyum dan bergandengan tangan sebagai pemuda.

Saya paham betul bahwa penerima beasiswa yang dikelola oleh organisasi apapun sekarang ini, berasal dari hampir seluruh daerah di Indonesia, namun karena saya lahir dan dibesarkan di tengah budaya Jawa, maka filosofi urip iku mung sawang sinawang saya pikir sesuai untuk dijadikan jalan tengah bagi kedua kubu. Tidak ada maksud membanggakan budaya tertentu atau bahwa saya ini penganut etnosentrisme, namun semata karena filosofi tersebut saya anggap paling sesuai, dan jika pembaca yang kebetulan memahami filosofi lain untuk menjadi jalan tengah dalam isu ini, tidak ada salahnya untuk saling berbagi sudut pandang.

Urip mung sawang sinawang secara harfiah berarti hidup cuma melihat-dilihat. Sebenarnya pesan tersebut telah mengalami pengurangan dari bentuk aslinya yakni urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang yakni hidup cuma melihat-dilihat, jadi jangan hanya melihat yang terlihat. Mungkin beberapa pembaca sudah memahami maksudnya. Namun sekali lagi karena ini adalah tulisan yang dibuat sejelas mungkin untuk menghindari ambiguitas dan kesenggangan satu sama lain, penjelasan akan diberikan juga. Makna dari filosofi itu adalah bahwa kehidupan kita ini sebagai manusia, terutama dalam menjalin hubungan sosial antar manusia, saling melihat dan dilihat, tidak hanya menggunakan indera penglihatan secara materiil, namun juga cara memandang dalam pengertian gagasan dan pemahaman (understanding). Dari saling melihat itulah makanya muncul perbandingan, kembali pada penjelasan nasib manusia yang berbeda seperti yang telah saya jelaskan secara singkat di atas. Perbandingan itulah yang kemudian memunculkan konflik, baik secara fisik maupun batin, karena dalam pemaknaan sederhananya, konflik adalah suatu bentuk ketidaksesuaian dari ekspektasi dan kenyataan. Contohnya seperti saat saya kuliah S1 dan ditolak oleh kampus untuk mendapatkan beasiswa, muncul konflik dalam bentuk kekecewaan (batin) namun tidak sampai menimbulkan pertengkaran mulut atau badan dengan teman-teman saya yang permohonannya diterima (fisik). Dengan definisi dasar sederhana seperti itu, sebenarnya banyak sekali konflik yang terjadi dalam kehidupan kita hanya karena tindakan saling melihat dan membandingkan tersebut. Lalu jika merujuk pada versi lengkapnya, urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang, kita semakin disadarkan bahwa karena hidup itu intinya saling melihat dan belajar saling memahami, makanya jangan hanya melihat apa yang terlihat.

Ini memang salah satu hal yang paling sulit untuk dilakukan sehari-hari, mengingat begitu banyak faktor yang mempengaruhi pola pikir kita terhadap suatu subjek, misalnya pendidikan rumah, budaya masyarakat, perkembangan teknologi, dll. Saya pun masih harus belajar untuk benar-benar memahami dan melaksanakannya, karena terkadang secara tidak sadar saya pun sering langsung menilai seseorang hanya dari kosakata dalam bicara, pakaian, dan hal-hal yang kasat mata lain. Apalagi dalam lingkungan masyarakat teknologi macam sekarang ini, di mana kita dengan mudah ‘melihat’ orang lain hanya melalui telepon genggam atau layar komputer dan koneksi internet, maka konsekuensinya pun, penilaian cepat itu akan lebih mudah mencuat dan disebarkan, juga lebih mudah mempengaruhi pandangan publik. Kasus yang saya bahas sekarang ini jelas merupakan contohnya yang konkrit, hanya karena ‘melihat’ gambar, foto, tulisan tentang mahasiswa berbeasiswa yang sedang berlibur dan berplesir, muncullah penilaian bahwa mereka bukannya belajar, malah senang-senang. Karena yang terlihat memang foto-foto dengan senyum lebar dan pakaian bagus itu saja, sehingga kritik pun langsung tersampaikan pada hal yang kelihatan itu saja. Tulisan dan lokasi yang menyertai foto juga terkadang membuat iman untuk tidak nyinyir pun runtuh, dilengkapi dengan kenyataan perbedaan nasib yang sulit dijelaskan misterinya.

Kemudian teman-teman penerima beasiswa yang merasa sudah susah payah mengikuti berbagai tes dan ujian mulai tes tulis, tes Bahasa Inggris, tes kemampuan, tes wawancara, dll., merasa tersinggung sudah dinilai dengan begitu cetek-nya. Muncul balasan yang juga muncul dari penilaian atas apa yang ‘terlihat’, bahwa yang menulis kalau penerima beasiswa itu hobinya plesir adalah orang-orang yang sirik karena tidak mampu. Loh, kata siapa tidak mampu? Kita tidak tahu perjuangan orang lain hanya untuk bertahan hidup, belum lagi untuk keluarganya, atau bahkan untuk lingkungannya, karena mungkin memang tidak kelihatan. Mungkin mereka belum mendapatkan beasiswa karena memang tidak ingin atau belum nasibnya. Jadinya, filosofi urip mung sawang sinawang pun menjadi kelihatan sulitnya untuk dijalankan, karena itulah kita perlu belajar bersama untuk saling memahami.

Lalu siapa yang salah? Menurut saya tidak ada yang sepenuhnya salah atau benar. Juga tidak ada yang perlu terlalu dibela. Ini hanya tentang kita yang kurang belajar untuk melihat lebih dalam dan menilai dengan lebih bijak. Kita terlalu sering melihat dari satu sudut pandang, kita terlalu sering melihat apa yang terlihat saja, dan mengesampingkan segala hal lain yang sebenarnya bisa membuat kita saling menghargai sebagai sesama manusia, tidak peduli apakah kita mendapat beasiswa atau tidak. Pemaknaan yang lebih mendalam dari filosofi tersebut mengajarkan agar kita ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh, yang artinya kurang lebih jangan mudah kaget, jangan mudah heran, dan jangan sombong. Semuanya berlaku untuk kita semua, baik penerima beasiswa atau tidak, jangan sampai kita silau dengan apa yang sudah kita peroleh, namun juga tidak perlu dengki terhadap apa yang diperoleh orang lain. Semuanya itu hanya sementara, beasiswa tidak untuk seumur hidup, karena itu tidak perlu iri dan tidak perlu sombong.

Sebagai penutup, sekali lagi saya menyampaikan bahwa tulisan ini adalah bahan refleksi bagi kita semua, termasuk saya yang sudah mengalami rasanya penolakan pengajuan beasiswa berkali-kali semasa S1 lalu mendapatkan kesempatan itu di jenjang studi selanjutnya, yang sudah paham rasanya menjadi mahasiswa bebal aktivis organisasi dan pada saat yang sama lulus gelar ganda dalam waktu 9 semester saja. Intinya saya sudah pernah berada di dua belah kubu, satu sisi pihak yang ingin nyinyir dan sisi lain pihak yang dinyinyirin, sehingga tulisan sederhana bahan refleksi ini bisa muncul sekarang. Semoga kita semua terus belajar, apalagi kita yang muda ini, agar kita tidak memenuhi dunia ini dengan lebih banyak kebencian yang sebenarnya hanya dikarenakan kekurangpahaman atas satu dengan yang lain.

Tabik.