Berita tentang pengumuman para aktor dan aktris yang akan memerankan tokoh-tokoh dalam film adaptasi Bumi Manusia yang disutradari Hanung Bramantyo memenuhi beranda media sosial saya. Rata-rata dibumbui dengan kritik, celaan, dan ungkapan kekecewaan terkait pemilihan Iqbaal sebagai pemeran tokoh Minke. Sayangnya, seperti biasanya, yang diserang adalah pribadi Iqbaal yang menurut saya tidak berdasar.
Rata-rata mereka yang mengutarakan kekecewaan tersebut adalah kawan-kawan seangkatan secara umur dengan saya. Yakni yang merasa sudah cukup dewasa untuk bisa memahami narasi yang disuguhkan Pram dalam novelnya dan yang merasa sudah cukup tua untuk menyukai Iqbaal. Baru-baru ini Iqbaal memang mendapatkan perhatian luar biasa besar dari sebagian besar remaja Indonesia karena perannya sebagai tokoh utama di film Dilan 1990 yang juga merupakan media adaptasi dari novel.
Sebenarnya kemunculan Iqbaal di ranah hiburan Indonesia sejak awal sudah membentuk suatu citraan sebagai seorang remaja laki-laki berparas menarik yang pantas untuk dipuja. Kemudian ditambah dengan perannya sebagai Dilan sebagai anak sekolahan yang romantis semakin mengukuhkan citraan tersebut.
Dengan dasar itulah kemudian mereka yang seangkatan dengan saya itu merasa Iqbal tidak pantas memainkan peran tokoh Minke dalam film Bumi Manusia. Menurut mereka narasi tokoh Minke tidak hanya tentang percintaan remaja, namun ia mengalami kompleksitas tertentu yang berhubungan pula dengan isu identitas dan ideologi. Dan Iqbaal yang seorang penggombal dalam film sebelumnya dianggap tidak akan bisa memainkan Minke dengan sempurna. Namun apakah kritik atas film yang bahkan belum mulai proses syutingnya itu cukup beralasan?
Sebenarnya dalam era kontemporer seperti sekarang ini sah-sah saja untuk berpendapat semacam itu. Namun yang menurut saya perlu disesalkan, terutama untuk kawan-kawan sejawat saya, adalah betapa mudahnya ikut-ikutan meluncurkan kritik dengan lupa berkaca pada diri sendiri.
Jika pada tahun 2018 ada film Dilan 1990, perlu diingat kita pernah benar-benar terhanyut dengan film Ada Apa Dengan Cinta yang dirilis tahun 2002. Kita lupa bahwa sebagian dari kita pernah seperti remaja-remaja milenial saat ini yang menggilai Dilan dengan memuja tokoh Cinta yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo. Pertanyaan yang muncul dalam kepala saya kemudian adalah mengapa tidak ada yang mengkritik Dian saat ia memerankan tokoh Kartini yang juga disutradarai oleh Hanung? Dian dalam film AADC pada dasarnya sama seperti Dilan yang seorang remaja yang hidupnya berada di antara dua dunia, asmara dan sekolah. Bahkan Dian memerankan seorang tokoh yang benar-benar hidup dan merupakan sosok berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Sekarang jika kita mengolok-olok remaja milenial yang menggilai Iqbaal dan Dilan, apakah kita memang benar-benar sudah menawarkan hal-hal lain yang sifatnya lebih kritis? Pada kenyataannya banyak kawan-kawan sejawat yang juga suka pamer swafoto atau makanan restoran atau menjadi selebgram dengan konten (maaf) kurang bermutu dan bermanfaat. Dan pada saat yang sama banyak dari kita yang menutup diri dari gerakan-gerakan yang bersifat kritis, dalam hal ini kaitannya dengan kisah hidup Pram sebagai korban kejahatan kemanusiaan Orde Baru. Saya pribadi sering mendengar cemooh yang disampaikan kepada mereka yang aktif di kelompok dan gerakan kritis. Katanya sok sibuk atau sok pintar.
Bukan berarti dengan berpikiran seperti ini saya setuju dengan adanya kecenderungan untuk mendiskreditkan karya-karya Pram. Sebenarnya karya sastra pertama yang saya baca di usia 7 tahun adalah tulisan Pram, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang diberikan oleh kakek saya yang satu unit dengan Pram di Pulau Buru. Bahkan karya Pram itulah yang membuat saya cenderung untuk berani menulis dan membuka narasi kelam tragedi dalam narasi sejarah Indonesia. Selain itu, saya sebenarnya juga tidak terlalu menyukai film remaja, bahkan sejak dulu, sehingga tulisan ini pun tidak bisa dikatakan sebagai pembelaan terhadap film Dilan 1990.
Ditinjau dari aspek seni bermain peran, menurut saya tidak adil untuk menghakimi Iqbal sebagai aktor hanya dengan melihat peranannya di film Dilan 1990. Seorang pemain peran, jika ia memang mendalami dunia tersebut, akan menemui beberapa kesempatan yang akan menghadapkannya dengan berbagai tokoh untuk dimainkannya. Saya tidak bisa membenarkan pendapat yang mengatakan karena Iqbal memainkan peran sebagai remaja yang suka berpacaran pada film sebelumnya akan semata-mata membuatnya tidak pantas berperan sebagai tokoh yang kritis.
Menurut asumsi saya, masyarakat Indonesia terutama pemakai teknologi media sosial memang masih orang-orang yang kagetan. Begitu ada suatu isu yang muncul maka baru beramai-ramai mengeluarkan pendapat. Tapi saat suatu isu sudah tidak lagi viral, maka semua istilah-istilah canggih itu berganti dengan unggahan-unggahan kurang berguna. Kita juga masih cenderung lupa untuk berkaca dan mengkritik diri sendiri, sehingga begitu mudah untuk menyampaikan cemooh kepada orang lain. Dan yang terakhir, mengapa kita tidak memberikan saran atau dukungan saja kepada Hanung agar membuat filmnya tidak kalah kritis dengan tulisan Pram daripada menyalahkan Iqbaal?