Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada akhir bulan September dan awal bulan Oktober bergulir sejumlah diskusi terkait peristiwa Gerakan 30 September dan fenomena pelanggaran HAM massal yang mengikutinya. Di antara silang sengkarut argumen, asumsi, dan kritik, beberapa poin diskusi menunjukkan absurdnya wacana HAM di negeri ini. Salah satunya adalah kecenderungan untuk membuktikan siapa yang lebih banyak membunuh sehingga pantas mendapatkan konsekuensi. Menariknya, pembicaraan tersebut tidak hanya terjadi di tingkatan masyarakat, tetapi sampai di level tinggi seperti forum sidang umum PBB.

Bukan rahasia umum lagi bahwa terdapat cukup banyak versi narasi sejarah peristiwa 65-66 yang beredar sampai hari ini. Masing-masing memiliki logika dan premisnya sendiri, kisah dan simpulannya sendiri, yang seringkali berkaitan erat dengan identitas pembuat narasi tersebut. Semakin ke sini, semakin banyak pula pembicaraan yang mengarah pada upaya rekonsiliasi hukum dan budaya, yang seakan-akan memberikan harapan tentang pendewasaan bangsa Indonesia menerima masa lalunya. Namun, tidak jarang terselip kecenderungan untuk membandingkan siapa yang lebih pantas untuk menerima rekonsiliasi.
Dalam versi sejarah nasional, Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan pihak yang digadangkan sebagai otak sekaligus pelaku Gerakan 30 September. Kemudian, berkat kebajikan seorang Soeharto, PKI dan komunisme yang berupaya menggoncang kedaulatan negara berhasil diberangus sampai ke akar-akarnya. Sampai hari ini belum ada jumlah pasti dari korban pelanggaran HAM 65-66, tapi sejumlah sumber menawarkan angka ratusan ribu sampai jutaan. Para penyintas serta keturunannya mulai angkat bicara tentang ketidakadilan yang mereka alami, sebab pada dasarnya sebagian besar dari mereka tidak tahu menahu, tidak berpartisipasi, dan tidak terbukti secara hukum memiliki keterkaitan dengan PKI dan organisasi terkait atau peristiwa Gerakan 30 September.
Baca juga: Hukum Haram untuk HAM
Di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang sampai hari ini menganggap pelanggaran HAM massal 65-66 merupakan hal yang pantas mereka terima sebagai konsekuensi dari kejahatan mereka berafiliasi dengan PKI dan organisasi terkait. Sederhananya: karena PKI sudah banyak membunuh tokoh agama atau masyarakat awam saat mereka melancarkan gerakan revolusi, pantaslah mereka dibalas dengan penculikan, penghilangan, penyiksaan, pemenjaraan, atau bahkan pembunuhan. An eye for an eye.
Betapa absurdnya pertarungan pendapat itu. Seakan rekonsiliasi hak hidup manusia adalah soal ujian Matematika yang tuntas dengan rumus penjumlahan, pengurangan dan perbandingan. Nyawa manusia direduksi ke dalam angka tanpa nama, tanpa pengakuan atas kelindan aspek biologis dan aspek sosial budaya yang membangun tiap diri manusia dalam periode waktu tertentu. Individualitas dilebur menjadi komunalitas, bukan dalam definisi konsep masyarakat yang komune, tetapi penghilangan hak hidup personal. Ditambah dengan kenyataan bahwa belum ada kepastian terkait jumlah korban, menjadikan perbandingan angka nyawa yang “berhasil” dibunuh sebagai pertimbangan kepantasan rekonsiliasi HAM merupakan sebuah kecacatan logika.
Dalam hal ini, edukasi publik tentang HAM dan sejarah memang masih harus terus dilanjutkan dan dikuatkan. pihak-pihak yang memiliki peran penentu kebijakan atau kapital budaya tinggi punya peran penting dalam hal ini. Pengaruh mereka di masyarakat dapat menghadirkan perubahan pada level kebijakan maupun kesadaran. Namun, pada kenyataannya, seringkali mereka sendirilah yang menciptakan ke-absurd-an dalam wacana rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM di masa lalu atau pun di masa sekarang.
Baca juga: Siapa yang Pantas Dianggap Manusia?
Salah satunya tercermin dari respons Sekretaris Ketiga pada Kantor Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) New York Indonesia di forum sidang umum PBB pekan lalu (26/9) terhadap “serangan” Vanuatu. Ini bukan pertama kalinya Vanuatu menyoroti dan mengkritik pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Paling tidak sejak 2016, Vanuatu secara konsisten menggarisbawahi fenomena yang dialami oleh masyarakat Papua dan Papua Barat.
Dan respons perwakilan Indonesia pun tidak banyak berubah dari tahun ke tahun, yakni kecenderungan untuk menggeser wacana pelanggaran HAM yang dilakukan militer terhadap warga lokal ke arah penyerangan teroris atau kelompok separatis yang beranggotakan penduduk lokal juga. Hal ini serupa dengan narasi yang berkembang tentang pelanggaran HAM ‘65-’66 yang diselubungi dengan kisah sejarah tindakan keji PKI membunuh ulama dan masyarakat untuk misi pembebasan tanah atau revolusi partai.
Pesan penutup yang disampaikan oleh utusan Indonesia di sidang umum PBB meminta Vanuatu, dan semua negara, untuk melihat gambaran keseluruhan yang terjadi di Papua, ataupun di Indonesia. Jika memang itu yang diinginkan, inilah gambaran utuh yang ada di negara kita, nyawa yang dihilangkan dan dijadikan timbal timbangan dosa.