Ramainya perbincangan tentang pernyataan Ustad Khalid Basalamah bahwa wayang semestinya ditinggalkan oleh umat Islam tentu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pertentangan antara agama dengan “tradisi lokal” telah menjadi soal di kalangan masyarakat Indonesia yang walaupun terkadang tidak muncul ke permukaan, sudah menjadi suatu kesadaran yang dipahami oleh kita semua. Seperti dua kutub yang seakan tidak akan pernah bertemu (lagi), agama dan kebudayaan dipertentangkan, masing-masing dengan narasi pembelaan dirinya sendiri-sendiri.
Menarik bagaimana perdebatan ini sebenarnya bukan hal baru tetapi setiap kali muncul ke permukaan cukup berhasil menarik perhatian publik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih cukup banyak orang Indonesia yang peduli dengan agama atau kebudayaan, secara lebih khususnya lagi Islam dan wayang, di tengah kesibukan negara ini memulihkan ekonomi, mengakselerasi pembangunan, atau kerja-kerja lain yang sifatnya lebih pragmatis, khususnya di masa-masa menguatnya wacana tentang “bangkit dari pandemi”. Fenomena dan konteks ini pada akhirnya membawa ingatan saya pada salah satu tulisan Arundhati Roy yang dipublikasikannya pada 2015 silam, “The disconnect between religion and culture”. Meski sudah berumur tujuh tahun, tulisan tersebut menurut saya adalah satu bacaan yang dapat memperkaya sudut pandang kita terkait bagaimana agama dan kebudayaan bekerja dalam lingkup sosial politik masyarakat dunia dewasa ini.
Roy memberikan gambaran situasi di beberapa negara seperti Iran, Mesir, Arab Saudi, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa untuk mendukung argumennya bahwa telah terjadi suatu fenomena yang ia sebut dengan dekulturasi agama. Menurut Roy, terlepas dari semakin kencangnya gerakan-gerakan kelompok yang mengadvokasikan “negara Islam”, sebenarnya dunia ini telah mengalami sekularisasi massal. Bahkan di negara-negara teokratis sekalipun, sekularisasi juga telah terjadi. Hal tersebut ditunjukkan dari bagaimana hampir semua negara di dunia saat ini sebenarnya tidak lagi bekerja di bawah institusi agama seperti layaknya negara-negara Eropa di bawah kekuasaan gereja pada Abad Pertengahan. Bahkan di negara-negara Islam sekalipun seperti Arab Saudi yang dipimpin oleh seorang raja, pemerintahan berjalan dengan sistem konstitusi dan pemimpin yang naik ke takhta pemerintahan pun tidak lagi diasosiasikan dengan identitas-identitas ketuhanan atau divine rights of kings.
Baca juga: Kontestasi Penerimaan dan Penolakan Politik Dinasti
Kemudian Roy tidak lupa membahas kelompok-kelompok agama yang selama ini dikenal memiliki pertentangan dengan sistem kebudayaan “lokal” dari suatu negara. Seperti misalnya kelompok Salafi yang menerapkan pendekatan-pendekatan disruptif dalam merespons masyarakat dan budaya tradisional, termasuk praktik-praktik agama Islam “lokal”. Mereka melakukan penghancuran terhadap budaya-budaya material seperti bangunan-bangunan lama, serta memberlakukan pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas-aktivitas yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Afghanistan seperti bermain layang-layang dan adu binatang.
Namun, hal tersebut tidak menghentikan proses sekularisasi pada level kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Sekularisasi di tingkatan masyarakat terlihat dari sikap publik terhadap ketaatan pada ajaran-ajaran dan ritual-ritual keagamaan seperti puasa. Puasa di banyak kalangan masyarakat saat ini lebih cenderung dianggap sebagai pilihan pribadi yang tidak lagi bisa dipengaruhi atau dicampuri oleh orang lain ataupun lingkungan. Sebagai penutup, Roy menyimpulkan bahwa telah terjadi upaya pencerabutan masyarakat dari budaya “lokal” oleh agama, tetapi pada saat yang sama praktik agama pun sudah tidak mampu menjadi sebuah kebudayaan dikarenakan sekularisasi yang melanda dengan kuat.
Tulisan Roy dapat menjadi pintu gerbang bagi kita untuk melihat fenomena pertarungan wacana agama dengan kebudayaan yang baru saja kembali naik ke permukaan di Indonesia, yang pada beberapa titik menurut saya lebih kompleks daripada yang terjadi di sejumlah negara yang telah dijadikan contoh oleh Roy. Pertama, saya ingin menarik pembahasan ini ke sejarah bagaimana Indonesia dibentuk sebagai sebuah negara. Dalam konteks ketatanegaraan, tentu Indonesia masuk dalam definisi negara sekular, dan hal tersebut sudah terlihat sejak awal terbentuknya republik ini. Falsafah politik negara Indonesia tidak bersandar pada satu ajaran tertentu, bahkan konstruksi NKRI kemudian menandai jatuhnya sistem pemerintahan monarki yang di beberapa daerah menunjukkan kepercayaan terhadap gagasan “raja sebagai tuhan di bumi.”
Baca juga: Kekariban Agama dan Kekuasaan
Di sisi lain, Soekarno yang memiliki peran cukup penting dalam pembentukan NKRI bahkan sempat mengungkapkan pandangannya terkait bagaimana semestinya masyarakat Indonesia menyikapi agama pada pidatonya di Sidang BPUPKI pada Juni 1945:
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’.
“Secara kebudayaan” mengimplikasikan gagasan budaya sebagai cara atau jalan untuk menjalankan sistem keagamaan dengan segala tatanan dan tuntutan dogmatisnya. Budaya dalam hal ini dapat dimaknai sebagai praktik keseharian masyarakat yang melibatkan interaksi satu individu dengan satu individu lain, satu individu dengan kelompok, ataupun satu kelompok dengan kelompok lain yang terjadi secara organik. Dalam kata lain, ada upaya-upaya untuk meleburkan ajaran-ajaran yang sifatnya otoritatif dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pemisahan sepenuhnya antara agama dan budaya atau sekularisme total sebenarnya tidak diharapkan pada level kehidupan bermasyarakat.
Khusus terkait wayang dalam pengertian sebagai produk budaya tradisi, suara yang muncul dari kubu lawan Ustad Khalid adalah bahwa “wayang pernah digunakan oleh para wali sebagai media pengajaran dan penyebaran ajaran Islam”. Hal ini mengimplikasikan resistensi parsial dari kelompok masyarakat yang merasa bahwa wayang tidak sepatutnya ditinggalkan dan dihancurkan, sebagaimana disarankan oleh sang pemuka agama tersebut. Argumen serupa juga cukup sering saya dengar dari kelompok masyarakat di Jawa yang melakukan ritual pembacaan doa-doa Islam kepada arwah orang yang meninggal menurut pembagian waktu tradisi, yakni 7, 40, 100, dan 1000 hari. Kita sering menamakannya–dengan penuh rasa bangga–sebagai akulturasi.
Baca juga: Populisme Islam dan Politik Penzaliman
Akulturasi antara budaya tradisional dengan agama-agama “pendatang” digadang-gadangkan sebagai capaian sosial yang menjadikan kehidupan bermasyarakat di Indonesia cenderung toleran dan ramah terhadap keberagaman. Bahwa praktik-praktik tradisi tersebut juga memiliki aspek-aspek kepercayaan dan relijiusitas juga menjadi satu hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Dibandingkan contoh-contoh praktik sosial di Afghanistan yang digunakan sebagai bahan kajian Roy seperti bermain layang-layang dan adu binatang yang cenderung sekular, wayang sebagai produk budaya juga menyimpan aspek-aspek relijiusitas dengan kedalaman falsafahnya tersendiri. Kemudian di sisi lain ada praktik-praktik agama yang tentunya juga berkaitan dengan kaidah-kaidah ajaran dan sistem peribadatan. Sehingga tidak sedikit orang Indonesia yang kemudian “terjebak” di antara dualitas ini. Lalu dengan wacana akulturasi, seakan keduanya dapat berjalan beriringan dengan serasi, bertemu tanpa ada tubrukan-tubrukan antagonistik. Hal inilah yang menurut saya menjadi poin kerumitan dalam pertentangan-pertentangan yang meliputi wacana agama dan tradisi di Indonesia, sehingga konsep dekulturasi yang digunakan Roy untuk membaca fenomena sekularisme di negara-negara lain mungkin tidak bisa diterapkan begitu saja untuk kasus Indonesia.
Pada saat yang sama, saya pikir saat ini kita sangat membutuhkan cara berpikir yang lebih kritis dari konsep akulturasi yang selama ini agaknya sudah membuat kita enggan untuk membaca fenomena-fenomena sosial sebagaimana adanya. Tuntutan untuk menjadi “bhinneka tunggal ika” sedemikian kuatnya sehingga kita menafikan pertentangan-pertentangan epistemologi yang pada gilirannya kemudian berbuntut menjadi konflik antargolongan.
Dekulturasi terjadi di beberapa lipatan dan kelokan perjalanan Indonesia sebagai sebuah kelompok masyarakat yang terus bergerak seiring dengan dorongan faktor-faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan politik. Namun sekularisme total sampai hari ini agaknya bukanlah suatu pilihan yang sepenuhnya didambakan, mengingat yang saya sampaikan tadi, baik praksis-praksis kebudayaan maupun ajaran-ajaran agama memiliki aspek relijiusitasnya masing-masing yang dalam diri manusia Indonesia bekerja dalam jalin kelindan, tumpang tindih, dan seringkali paradoks juga ambivalen.