Kasus kekerasan yang melibatkan oleh A, seorang siswi SMP dan beberapa orang pelajar SMA di Pontianak baru-baru ini telah menjadi pembahasan hangat di media massa dan media sosial. Media sosial berhasil melancarkan ‘sihir’ untuk menggiring pendapat, menggerakkan jemari-jemari di permukaan layar ponsel, menyebarkan kabar dengan sangat cepat. Dan secepat itu juga semuanya berganti arah dalam waktu yang sangat singkat.

Sumber gambar: The Daily Star

Tentu ini bukan pertama kalinya ‘sihir’ itu bekerja, terutama di Indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan pengguna internet dan media sosial paling banyak di dunia. Saat kabar tentang kekerasan terhadap A itu mulai muncul ke permukaan, kira-kira pada tanggal 10 April, tagar dan ilustrasi menjadi strategi untuk menyebarkan sejumlah gagasan. Berdasarkan pembacaan saya terhadap respon para pengguna sosial (Twitter) terhadap kasus kekerasan yang dialami A terdapat beberapa gagasan utama yang diangkat. Gagasan tersebut antara lain: (a) upaya menumbuhkan kesadaran tentang bentuk-bentuk kekerasan, (b) penyampaian dukungan moral kepada (para) korban, (c) pengutukan tindakan (para) pelaku dan (d) pemberian hukuman setimpal kepada (para) pelaku.

Baca juga: Perploncoan Perempuan Tingkat Generasi

Setimpal menjadi kata kunci dalam pembahasan kali ini. Begitu seringnya kata ini digunakan, bahkan jauh sebelum hegemoni Internet dan media sosial, sampai kita seringkali tidak sadar lagi betapa subjektif (dan berbahaya) makna dari kata tersebut. Subjektivitas itu semakin kentara dan bervariasi dewasa ini dengan pemakaian media sosial karena kata tersebut disampaikan oleh begitu banyak pengguna yang sulit untuk dihitung jumlahnya. Apalagi dalam kasus A yang pelakunya masih terdaftar sebagai siswa sekolah, definisi setimpal menjadi sangat rancu. Pengguna media sosial A beranggapan hukuman penjara merupakan konsekuensi setimpal, pengguna B menganggap skorsing dari sekolah sebagai konsekuensi setimpal, pengguna C menyebarkan foto-foto pelaku sebagai hukuman sosial yang setimpal, dan seterusnya.

Gagasan tentang hukuman setimpal pun selanjutnya memengaruhi sikap yang ditunjukkan oleh para pengguna dalam menyampaikan respon mereka terhadap kasus kekerasan. Dan suka atau tidak, respon tersebut tidak jarang yang malah turut menggaungkan kekerasan alih-alih memberikan keadilan kepada korban atau memberikan konsekuensi kepada pelaku. Contohnya sederhana saja, dan seringkali tidak disadari, misalnya komentar yang mengarah ke upaya pemberian balasan bernada kebencian kepada pelaku, seperti “pingin gue pukulin balik aja biar kapok”, atau “pelakunya pantes ngrasain apa yang udah mereka lakuin biar tahu rasa”, dan sebagainya. Komentar semacam itu bertebaran di media sosial, biasanya disampaikan sebagai balasan atas kiriman-kiriman berita.

Kemudian tanpa disangka-sangka sebelumnya, satu hari kemudian, muncul narasi yang berlawanan sepenuhnya, yang dilengkapi dengan ‘rekam jejak dunia maya’. Narasi sebelumnya yang memosisikan A sepenuhnya sebagai korban kebiadaban pelaku kekerasan, kini berbalik menjadi A sebagai orang yang ‘pantas’ untuk menerima tindakan tersebut karena ia dinilai bukan seorang pelajar yang baik. Penilaian tersebut didasarkan pada penggunaan kata-kata kasar pada sejumlah kirimannya di media sosial. Belum lagi hasil visum yang mematahkan sejumlah pengakuan A yang sudah ‘terlanjur’ tersebar. Tagar pun berganti. Tetapi rantai impunitas tetap mengulur.

Baca juga: Menjual Asa, Menebar Tagar

A menjadi bulan-bulanan di media sosial, rekam jejak dunia mayanya tersebar (seperti foto-foto terdakwa pelaku pada hari sebelumnya), bahkan ia pun disamakan dengan Ratna Sarumpaet dengan kasus operasi plastiknya. Lalu siapa yang patut dibela? Tidak ada. Bisa dikatakan hampir semua pihak yang terlibat dalam kasus ini menggaungkan kekerasan atau perundungan sebagai konsekuensi yang sesuai dan hukuman yang setimpal atas tindakan kekerasan yang terjadi sebelumnya. Para pengguna tersebut mungkin akan beralasan komentar mereka merupakan respon yang bersifat spontan karena kepedulian mereka. Namun jika komentar tersebut memang benar-benar spontan, maka akan semakin jelas indikasi adanya impuls-impuls dalam alam bawah sadar yang membenarkan tindakan kekerasan dengan dibalut embel-embel kepedulian, keadilan, kemanusiaan.

Sebagai sebuah fenomena sosial, kasus kekerasan dalam bentuk apapun (fisik, verbal, daring, dan lain sebagainya) memiliki jaringan faktor penyebab yang rumit, apalagi di sebuah negara yang mempunyai sejarah kasus kekerasan massal di masa lampau yang belum juga tertangani dengan baik seperti Indonesia. Wacana heroisme militer dalam membasmi komunisme dengan cara kekerasan masih bersemayam sampai hari ini. Pembenaran atas tindakan kekerasan yang dilakukan dengan embel-embel ‘penguatan Pancasila’ masih dapat ditemukan tidak hanya di lingkungan masyarakat namun juga di antara obrolan-obrolan yang berlangsung di dunia maya.

Memang diperlukan penelitian dan analisis yang lebih mendalam untuk sampai pada kesimpulan bahwa kecenderungan masyarakat untuk menghukum pelaku tindak kekerasan dengan cara kekerasan dipengaruhi oleh peristiwa kekerasan massal di masa lalu dan kontestasi narasinya. Apakah memang benar-benar ada hubungannya, dan sejauh mana? Tetapi yang jelas, pembacaan terhadap komentar-komentar dan kiriman-kiriman di media sosial terkait kasus A ini merupakan penanda yang jelas bahwa kekerasan agaknya telah menjadi tradisi yang melekat pada diri masyarakat Indonesia, dan mungkin kita juga salah satunya.