Presiden Jokowi agaknya benar-benar merebut panggung pembicaraan masyarakat Indonesia pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76. Pembicaraan yang berkembang paling tidak meliputi dua hal: pakaian adat yang digunakan Jokowi saat menyampaikan pidato kenegaraan dan mural 404: Not Found di Batuceper, Tangerang. Dan tulisan saya kali ini akan lebih membahas (baca: mengomel) tentang ihwal yang kedua.

Pada satu titik sebenarnya saya merasa ada yang dibesar-besarkan perkara mural yang gambarnya disinyalir mirip Jokowi itu. Bahkan sampai-sampai stasiun televisi tvOne mengangkatnya sebagai pembahasan di salah satu program mereka, Catatan Demokrasi, yang tayang pada malam 17 Agustus. Saya senyum-senyum sendiri menonton diskusi yang mengundang Roy Suryo, Ade Armando, Ali Mochtar Ngabalin, Yusril Ihza Mahendra, dan Muhammad Said Didu itu. Menurut saya, acara tersebut tidak lebih dari perdebatan kaum elitis tentang “demokrasi rakyat”, konsep yang terlewat komunal untuk dibicarakan oleh orang-orang yang satu kali makan malamnya seharga makan seminggu bagi orang kebanyakan. 

Pembicaraan yang berlangsung antara keempat orang itu juga pada akhirnya berputar di sekitar mirip tidaknya mural tersebut dengan Jokowi, pantas tidaknya keberadaan mural tersebut dalam konteks ketertiban publik, dan perlu atau tidak sebenarnya aparat kepolisian menutup mural tersebut. Sementara itu, esensi dari mural itu sendiri, khususnya mural 404 Not Found, terlewat –atau mungkin sengaja dilewatkan– begitu saja. Yakni esensinya sebagai bentuk respons masyarakat atas suatu kondisi yang mereka lihat atau hadapi. Karena dalam hal ini, mural tersebut sulit untuk didefinisikan dalam narasi “seni sebagai seni” yang lahir semata karena digerakkan oleh inspirasi artistik seniman. Alih-alih, mural tersebut sejatinya memiliki nilai guna, yakni sebagai sarana komunikasi politik.

Baca juga: Kebebasan: Tarik Menarik antara Retorika dan Utopia

Terkait dengan hal tersebut, komunikasi politik secara keilmuan seringkali dibahas secara terbatas sebagai tindakan yang dilakukan oleh unsur-unsur negara atau pemerintah. Ambil saja sebagai contoh salah satu tulisan babon Gabriel Almond, The Politics of the Development Areas, yang menempatkan negara seakan-akan sebagai satu-satunya pihak yang dapat melakukan komunikasi politik dalam skema atas-bawah, bersumber dari yang memimpin kepada yang dipimpin. 

Teorisasi tersebut menurut saya mengimplikasikan kecenderungan depolitisasi atas rakyat atau masyarakat. Yakni bahwa masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara hanya menjadi penerima pesan politik dari pemerintah dan mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menjadi agen produksi pesan. Padahal yang terjadi sebenarnya tidaklah seperti itu. Khususnya dalam konteks pemerintahan demokrasi, agen politik sebenarnya tidak terbatas pada pemerintah. Sekecil apapun gaungnya, sejatinya rakyat memiliki kemampuan dan hak untuk memproduksi dan mengomunikasikan pesan politiknya. Mudahnya, jika pemegang otoritas punya pidato di atas podium, rakyat punya mural di permukaan tembok. Keduanya merupakan karya yang memang diisi pesan politik dan mengandung unsur performatif politis. 

Kemudian jika membicarakan tentang hak berbicara atau berkomunikasi, pembahasan akan bergerak ke HAM dan demokrasi. Dan itu jugalah yang menjadi bahan pembahasan kelima orang yang diundang ke acara televisi yang –kelihatannya saja– kritis dan penting itu. Setelah Roy Suryo pamer teknologi masa kini pembaca kemiripan wajah yang ia pikir akan membuat para penonton termangu seperti orang-orang Macondo melihat es batu untuk pertama kalinya, pembicaraan bergulir ke hak ekspresi masyarakat dan ke-legawa-an seorang Jokowi menerima kritik yang ditekankan sedemikian rupa oleh Ngabalin.

Baca juga: Obsesi Negara dengan Ketertiban

Maksud saya, ayolah. Itu semua harusnya sudah tuntas dibahas 23 tahun yang lalu. Bahwa Indonesia sudah memasuki babak baru dan tidak perlu adanya glorifikasi tertentu atas penerimaan Jokowi terhadap kritik. Sebagai presiden yang bukan penguasa Orde Baru –karena tidak mungkin ada matahari lain di samping Soeharto– memang sudah semestinya Jokowi bersikap seperti itu. 

Kemudian terkait ketertiban publik yang menjadi dasar argumen Ade Armando dan dielaborasi lebih lanjut oleh Yusril Ihza Mahendra dalam kaitannya dengan RKUHP yang belum juga disahkan sampai hari ini. Beberapa pasal dalam RKUHP tersebut sudah pernah bocor dan menjadi pembicaraan publik, seperti misalnya hukuman atas hubungan seks di luar nikah dan kumpul kebo, orang tua yang menunjukkan alat kontrasepsi kepada anaknya, juga denda untuk perempuan yang pulang kerja malam hari. Mengangkat tentang RKUHP yang beberapa rancangan pasalnya malah mengarah pada kemunduran adalah suatu paradoks yang memang akan muncul jika pembicaraan tentang demokrasi rakyat dilakukan oleh kaum elitis pemerintahan. 

Baiklah, cukup saya mengomel tentang siaran televisi dan lima laki-laki itu. Lalu apa sebenarnya yang agaknya perlu diadakan atau dilakukan? Tadi saya mengatakan bahwa adanya demokrasi semestinya tidak lagi menjadi perdebatan. Ia memang sudah harusnya ada. Oleh karena itu, yang perlu diadakan sekarang adalah mencapai suatu titik kecerdasan demokrasi. Kecerdasan yang membuat demokrasi bukan sekadar konsep gagah-gagahan dalam penyelenggaraan pemilu, kecerdasan yang membuat kontestasi wacana para agen politik –dengan ruang dan media komunikasi politisnya masing-masing– punya peran membangun. Dalam hal ini, kita perlu belajar dari tradisi ilmu pengetahuan yang berkembang karena kontestasi wacana berdasarkan temuan dan bukti. 

Baca juga: Kritik atau Pencemaran Nama Baik?

Sebagai salah satu contoh nyata, kenikmatan yang kita rasakan saat ini dengan adanya kulkas atau mesin pendingin tidak lahir dari situasi “damai”. Sejak abad ke-17 sampai 18, para ilmuwan di bidang fisika dan teknik saling mematangkan dan mematahkan argumen, mulai dari penemuan perpindahan panas dari ruang yang lebih padat molekulnya ke ruang yang lebih renggang, sampai intervensi untuk “mengakali” alur perpindahan panas dengan teknologi yang sistem kerjanya diambil dari mesin uap, lalu tercetuslah teori termodinamika yang penerapannya sekarang begitu massal. Ratusan, jika tidak ribuan, kertas penelitian menjadi media komunikasi para ilmuwan tersebut, narasinya bertarung demi penemuan teknologi yang meningkatkan kualitas hidup manusia.

Cukupkanlah diskusi-diskusi yang hanya berisi glorifikasi atas hal-hal yang sudah semestinya dinormalkan, buka pembicaraan untuk menemukan hal-hal yang patut menjadi normal.