Penangkapan Moch Subchi Azal Tsani atau yang lebih dikenal sebagai Mas Bechi, putra dari Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah, Kiai Haji Muhammad Muchtar Mu’thi, menambah daftar kasus kekerasan seksual yang berhasil terdeteksi dan ditindak oleh aparat penegak hukum. Disandingkan kasus-kasus yang telah terangkat sebelumnya, sebut saja yang terjadi di Universitas Riau yang melibatkan dekan sebagai pelaku, dan di sekolah Selamat Pagi Indonesia dengan pelaku pendiri dari lembaga tersebut, semua kasus tersebut melibatkan sosok petinggi sebagai pelaku dan peserta didik sebagai korban. Selain itu, terdapat kerumitan tersendiri pada proses penanganan kasus yang disebabkan oleh posisi dari pelaku itu sendiri. Hal tersebut membawa saya kepada sudut pandang yang lebih mengglobal dalam membaca fenomena kekerasan seksual, yakni rape culture.
Dari ketiga kasus yang saya sebutkan di atas, agaknya kita sudah tidak perlu mempertanyakan lagi terkait relasi kuasa tidak berimbang yang terjalin di antar pelaku dan korban. Sebagai ustad dan anak pendiri pondok pesantren, dosen sekaligus pejabat, serta pendiri lembaga, ketika pelaku berada pada posisi yang berkewenangan untuk mengatur para korbannya dalam konteks lingkungan satuan pendidikan. Pengaturan di sini tentunya–dan semestinya–meliputi hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan sesuai dengan tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing posisi. Dalam banyak kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual, terbentuk relasi kuasa yang tidak berimbang dan penyalahgunaan wewenang yang menempatkan seseorang di posisi subordinat dan rentan menjadi korban.
Dampak dari relasi kuasa tidak berimbang tidak berhenti di situ. Salah satu ganjalan besar dalam proses penegakan hukum atas kekerasan adalah rendahnya tingkat pelaporan kasus oleh korban, yang hal ini juga seringkali disebabkan oleh lemahnya posisi korban di hadapan pelaku atau bahkan di tengah-tengah masyarakat. Korban ragu atau bahkan memutuskan untuk tidak sama sekali untuk menceritakan atau melaporkan kekerasan yang dialaminya karena risiko konsekuensi yang bisa diperolehnya jika ia melakukan hal tersebut. Salah satu contoh yang cukup umum adalah mahasiswa yang tidak melaporkan kekerasan yang dilakukan staf pengajar atau pejabat perguruan tinggi karena takut berimbas pada proses atau bahkan keberhasilan studinya. Belum lagi proses hukum yang seringkali juga tidak berpihak kepada korban sehingga keengganan untuk melapor pun muncul dalam benak korban.
Baca juga: Perempuan di Kumparan Agama, Pendidikan, dan Politik
Oleh karena itu, keberanian korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya sehingga kasus tersebut dapat ditangani secara hukum merupakan satu hal yang perlu diapresiasi. Hanya saja, ketiga kasus yang menjadi studi dalam tulisan ini membuktikan bahwa pada beberapa titik pengakuan dan kesaksian korban tidak cukup kuat untuk langsung membawa pelaku ke meja hijau atau mendapatkan sanksi yang setimpal sebagai konsekuensi dari tindakannya.
Pada kasus Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Mas Bechi sempat melenggang bebas pasca adanya laporan dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Januari 2022. Pada kasus UNRI, Syafri Harto dinonaktifkan sebagai dekan, atau dalam kata lain tidak sepenuhnya kehilangan posisinya sebagai pejabat perguruan tinggi. Sementara pada kasus SPI, cukup banyak pihak yang melindungi pelaku dengan alasan ia telah memberikan pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu.
Pertanyaan besar yang perlu kita lontarkan di sini adalah mengapa pelaku kekerasan seksual masih mendapatkan dukungan atau perlindungan? Hal tersebut dimungkinkan oleh rape culture yang disadari atau tidak telah berkembang atau bahkan mengakar dalam kehidupan kita. Terbentuk oleh berbagai ragam bentuk relasi kuasa, yang di antaranya meliputi rasisme, classism, ageism, dan ablism, terbentuklah lingkungan yang menganggap kekerasan seksual sebagai interaksi sosial yang “diekspektasi” untuk terjadi.
Baca juga: Kekuasaan dalam Pembahasaan Perempuan
Pada titik ini, kita sudah tidak lagi berbicara tentang hadirnya aturan hukum dan implementasinya, tidak lagi tentang kegesitan aparat kepolisian dalam meringkus pelaku kekerasan. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar dan mendasar, yakni alam pikir masyarakat secara umum. Tentang bagaimana masyarakat memahami kekerasan seksual dan dampak yang ditimbulkan bagi korban, melihat tindakan atau kasus kekerasan seksual, merespons pengakuan korban, dan menilai pelaku.
Sudah terlalu sering kita mendengar justifikasi atas pernyataan-pernyataan seksis sebagai bentuk candaan, atau sentuhan-sentuhan yang tidak diizinkan sebagai wujud ekspresi dari kasih sayang. Juga sudah terlalu sering kita ataupun sistem hukum yang berlaku menganggap pernyataan korban bukan sebagai sebuah kebenaran. Dan ketiga fenomena yang dibahas di sini juga hanya segelintir dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang pelakunya memiliki cukup wewenang dan kekuasaan untuk tidak hanya melakukan kekerasan, tetapi juga mendapatkan perlindungan dari lingkungan sekitarnya atau bahkan oleh sistem yang berlaku.
Tentunya bukan perkara mudah jika kita telah sampai pada hal-hal yang berkenaan dengan epistemologi. Pola pikir tidak dapat seketika berubah atau diubah dengan pembuatan dan pengesahan aturan hukum atau pemberlakuan dan penerapan sanksi, dan kita berhadapan dengan sesuatu yang mungkin sudah menjadi nilai yang diwariskan selama beberapa generasi.
Oleh karena itu, tulisan ini juga tidak akan berupaya menghadirkan satu tawaran solusi yang seakan-akan mudah untuk diterapkan untuk membongkar rape culture. Dalam hal ini saya lebih ingin menyoroti kembali respons yang cukup sering muncul akhir-akhir ini berkenaan dengan penangkapan pelaku dan penanganan hukum atas kasus kekerasan seksual. Saya mendengar bagaimana beberapa orang melihat hal ini sebagai konsekuensi logis dan positif dari lahirnya aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, mulai dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sampai Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Baca juga: Upaya Depolitisasi Perempuan di Era Demokrasi
Pada satu sisi, hal tersebut ada benarnya. Dua aturan tersebut mampu memberikan perlindungan hukum bagi korban untuk melapor, menjalani proses pemeriksaan, bahkan sampai ke pemulihan kondisi. Dan tentunya yang paling penting adalah menjadi aturan yang dapat menjerat pelaku kekerasan seksual dan menjatuhkan sanksi baginya. Sikap positif terhadap kehadiran dua produk hukum tersebut tentunya dapat dimaklumi, mengingat sejarah panjang alpanya hukum praktis dalam fenomena kekerasan seksual.
Namun seperti yang telah saya bahas tadi, aturan hukum memiliki batasan dan ruang lingkupnya masing-masing, sementara dalam rape culture kita berbicara tentang lanskap yang lebih fundamental dan masif. Dalam hal ini, para pemikir di bidang epistemologi perlu mengambil peran yang lebih aktif, sebab upaya untuk menangani kekerasan seksual agaknya selama ini masih terbatas menjadi kerja-kerja komunitas masyarakat dan baru-baru ini saja menjadi agenda elit pemerintah. Dalam kata lain, tugas kita belum selesai. Saya cukup yakin bahwa dengan masih bercokolnya rape culture, di luar sana masih banyak korban yang harus memilih untuk diam dan masih banyak juga pelaku yang berlenggang dengan perlindungan dari lingkungan masyarakat atau sistem yang berlaku.