Setelah ribut-ribut penggunaan istilah “bersiap” oleh Rijksmuseum sebagai pelaksana pameran Revolusie! Indonesië onafhankelijk yang sempat melibatkan sejarawan Bonnie Triyana, perdebatan tentang narasi sejarah Indonesia modern kembali bergulir. Kali ini terkait penetapan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, di mana ada pihak-pihak yang meminta aturan tersebut direvisi karena tidak ada penyebutan nama Soeharto sebagai sosok yang penting dalam peristiwa sejarah tersebut.

Respons dalam bentuk protes dalam hal ini sebenarnya cukup mudah diketahui musabab dan muasalnya, yaitu dominasi peran dan konstruksi heroik Soeharto dalam narasi sejarah Indonesia. Khususnya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret, buku-buku paket mata pelajaran Sejarah kebanyakan menarasikan betapa dominannya peran Soeharto dalam salah satu peristiwa bersejarah yang mengantarkan Indonesia menuju kedaulatan yang utuh. Soeharto digambarkan sebagai pencetus operasi militer Serangan Umum 1 Maret sekaligus pemimpin pasukan, atau dalam kata lain sebagai seorang tentara muda dengan semangat nasionalisme yang tidak perlu diragukan lagi dan meskipun pangkatnya masih rendah sudah mampu mencetuskan dan menggerakkan sebuah operasi militer yang melibatkan Panglima Besar TNI. Sungguh luar biasa.
Sumber rujukan yang digunakan buku-buku mata pelajaran Sejarah tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah autobiografi Soeharto: Pikiran, Perkataan, dan Tindakan Saya yang menjadi panggung bagi Soeharto untuk tampil sebagai protagonis utama dengan baju zirah gagah yang tidak akan mampu ditembus oleh serangan musuh. Dengan bertumpu pada wacana dalam autobiografi tersebut, narasi sejarah yang dipahami publik masyarakat adalah Soeharto pun sebagai sosok utama dalam Serangan Umum 1 Maret, sementara tokoh-tokoh lain hanyalah karakter pendukung yang bisa disebut bisa tidak. Lebih lanjut, dengan diterbitkannya buku-buku lain yang merujuk pada autobiografi Soeharto, narasi tersebut pun terus bereproduksi dan berumur panjang, sampai pada beberapa titik membentuk alam pikir masyarakat Indonesia tentang sejarah negaranya.
Baca juga: November: Hari Pahlawan, Hari Penjajahan
Barulah kemudian, tidak lama setelah jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, mulai muncul narasi sejarah alternatif terkait sosok yang mencetuskan gagasan Serangan Umum 1 Maret. Sebuah rekaman wawancara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan wartawan Radio BBC pada 1986 menguak perannya sebagai pemimpin daerah dalam menggerakkan rakyatnya. Menurut versi cerita Sultan Hamengku Buwono IX, pada Januari 1949 ia mendengar dari berita radio luar negeri bahwa Dewan Keamanan PBB direncanakan pada bulan Maret akan melakukan sidang untuk membahas soal persengketaan Indonesia-Belanda. Berita itu menggerakkan Sultan Hamengku Buwono untuk mengirimkan surat kepada Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI. Jenderal Soedirman menyetujui ide Sultan Hamengku Buwono dan memintanya berhubungan langsung dengan Letkol Soeharto dan melakukan pertemuan untuk membicarakan rencana tersebut.
Alasan yang menyebabkan hanya sedikit dari kita yang pernah mendengar tentang wawancara Sultan Hamengku Buwono dengan BBC agaknya berkaitan dengan strategi produksi pengetahuan yang berjalan di masa Orde Baru dimana penguasa pusat memiliki peran utama untuk menentukan narasi sejarah dan mengesampingkan narasi-narasi lain yang tidak sejalan atau tidak menguntungkan sosok pucuk pimpinan Orde Baru. Sehingga selama Orde Baru berkuasa, narasi sejarah yang berkembang dan bertahan adalah Soeharto sebagai pencetus dan pemimpin pasukan pada Serangan Umum 1 Maret. Wacana tersebut pada beberapa titik masih menemukan tempatnya di historiografi sejarah pasca Orde Baru, dan masyarakat Indonesia pun agaknya sudah terbiasa dengan gagasan tersebut. Sebagai konsekuensinya, ketika muncul kabar bahwa nama Soeharto tidak disebutkan dalam sebuah dokumen yang berkaitan dengan Serangan Umum 1 Maret, respons yang dimunculkan publik masyarakat adalah sebuah protes. Kehadiran Keppres itu seperti sebuah wacana asing yang ditabrakkan dengan realitas yang selama ini sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka selama berpuluh-puluh tahun.
Dalam hal ini, saya ingin mengkaji lebih lanjut pendapat Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga merupakan salah satu penulis naskah akademik dari Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Di tengah protes masyarakat dan permintaan Fadli Zon untuk dilakukan revisi atas aturan tersebut, ia menegaskan perbedaan antara dokumen aturan yang ditulis dalam bahasa administratif dengan suatu teks yang berisi narasi sejarah, sehingga tidak semestinya kita mencari validasi sejarah dalam suatu dokumen aturan. Saya pun sepakat dengan pendapat (baca: pembelaan) tersebut, tetapi hanya pada konteks legal formal, hitam di atas putih. Namun satu hal yang agaknya terlewat dari pertimbangan Sri Margana adalah implikasi sosial dari implementasi suatu aturan atau kebijakan yang berkenaan dengan alam pengetahuan masyarakat.
Baca juga: Pewarisan Ingatan dan Perjuangan Rehumanisasi
Kita bisa mengambil contoh salah satu aturan yang ditetapkan pemerintah Orde Baru dalam kaitannya dengan penetapan hari besar, yakni Keppres No. 153 Tahun 1967 yang mengesahkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Alasan di balik pengesahan aturan tersebut agaknya tidak perlu dipertanyakan lagi, yakni sebagai cara Orde Baru untuk menguatkan narasi Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai otak dan pelaku peristiwa Gerakan 30 September dan melegitimasi tindakan-tindakan pemerintahan Soeharto dalam memberantas komunisme. Dalam dokumen tersebut tidak disebutkan secara literal nama-nama orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September ataupun merupakan bagian dari partai dan paham komunis, tetapi implementasi dari aturan tersebut pada beberapa titik berpengaruh pada cara masyarakat melihat peristiwa sejarah tersebut dan lingkungannya.
Salah satu produk budaya dalam bentuk ritual yang hadir sebagai konsekuensi logis dari aturan tersebut adalah pelaksanaan upacara bendera di kantor-kantor dan sekolah-sekolah setiap tanggal 1 Oktober. Dalam upacara tersebut, amanat yang dibacakan oleh pembina upacara biasanya cukup jelas dalam memberikan pesan terkait kewajiban kita untuk mewaspadai kehadiran komunisme di sekitar kita dan berperan aktif untuk membasminya sebagai bentuk untuk menjaga kesaktian Pancasila. Lalu kemudian kita melihat sendiri bagaimana masyarakat mulai terpecah belah, melontarkan tuduhan bahwa Bapak A atau Ibu B adalah komunis sehingga ia dan anggota keluarganya pantas mendapatkan hukuman sosial. Semua itu memang tidak tercatat dalam dokumen Keppres No. 153 Tahun 1967, tetapi dapat dibaca sebagai implikasi sosial dari implementasinya.
Lalu apakah saya tidak setuju dengan penetapan suatu aturan yang menawarkan narasi sejarah alternatif yang selama ini tersingkirkan? Tentu saja saya setuju. Namun, saya berharap klarifikasi yang disampaikan oleh pihak-pihak penyusun Keppres No. 2 Tahun 2022 bisa lebih argumentatif daripada sekadar pembelaan. Mengapa tidak kita katakan saja kepada masyarakat bahwa saat ini kita memang membutuhkan upaya-upaya untuk membaca ulang narasi sejarah dan tatanan pengetahuan yang ada selama ini dan mulai mengangkat apa-apa yang sebelumnya disingkirkan oleh Orde Baru atas nama keberlangsungan kekuasaan? Karena jangan sampai pada akhirnya upaya yang bisa membantu kita untuk mendewasakan diri sebagai bangsa pada akhirnya bersembunyi di balik tabir lagi, dan pada akhirnya tidak mampu membongkar hal-hal yang sudah waktunya dan semestinya dihancurkan lalu ditata ulang.