Wacana terkait ruang domestik dan ruang publik hampir tidak pernah luput dari ranah kajian feminisme. Hal ini berhubungan erat dengan gagasan ‘perempuan ideal’ yang dikaitkan dengan ruang-ruang di mana mereka sepatutnya berada. Secara historis, fenomena sosial ini telah dialami perempuan paling tidak sejak periode Yunani Kuno dan kemudian bertahan selama berabad-abad di negara-negara Barat (Vickery, 1993: 414), dikenal dengan istilah separate sphere.
Dinamika sosial dan ekonomi negara-negara Eropa, salah satunya Revolusi Industri, menguatkan fenomena separate sphere. Berkembangnya industri berbasis manufaktur mengundang laki-laki untuk bekerja di luar rumah dan mendapatkan upah, sementara perempuan ditempatkan di dalam rumah atau ruang domestik yang tidak menghasilkan materi. Hal ini kemudian menciptakan anggapan bahwa perempuan tidak mandiri secara ekonomi karena ia mendapatkan nafkah dari suaminya, bukan dari kerja kerasnya sendiri.
Sebagai konsekuensinya, karena perempuan tidak mampu menghasilkan uang dari pekerjaannya di ruang domestik, mereka menjadi lebih rentan menjadi korban obyektifikasi oleh anggota keluarga laki-laki dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Kapital ekonomi yang dimiliki oleh laki-laki karena pekerjaannya di ruang publik mengakibatkan tumbuhnya relasi kuasa yang tidak berimbang di dalam rumah tangga. Freidan (1963) pun menegaskan bahwa dengan berkembangnya gagasan separate sphere ini, perempuan dipaksa untuk bergantung pada suami atau anak laki-lakinya sebagai sumber identitas bagi mereka.
Sementara itu, fenomena separate sphere yang terjadi di Indonesia juga dipengaruhi oleh falsafah kebudayaan lokal. Sebagai contoh adalah konsep perempuan atau istri ideal dalam kebudayaan Jawa yang ditegaskan melalui frasa macak, masak, manak, yang berarti tugas perempuan adalah berdandan untuk suaminya, memasak untuk suaminya, dan melahirkan anak.
Semua aspek tersebut berkaitan erat dengan aktivitas dalam ruang domestik yang menempatkan istri semata sebagai pelayan dari laki-laki dan dipercaya sebagai kodrat yang harus dijalani oleh perempuan. Sementara itu, kesempatan bagi perempuan untuk menjajaki dunia luar bukanlah sesuatu yang disarankan atau diharapkan.
Terkait dengan hal ini, karya sastra sebagai salah satu bentuk produk budaya memiliki peran yang besar dalam menanggapi isu segregasi ruang domestik dan publik. Novel trilogi karya Putu Oka Sukanta, yakni Merajut Harkat (1999), Istana Jiwa: Langkah Perempuan di Celah Aniaya (2012), dan Celah (2018) merupakan salah satu dari beberapa karya sastra Indonesia yang mengangkat dan mempermasalahkan isu tersebut dalam narasinya.
Secara umum, ketiga karya tersebut mengungkap narasi alternatif dari sejarah nasional tentang kejadian di malam 30 September 1965 dan peristiwa-peristiwa yang mengikutinya. Salah satu keunggulan dari ketiga novel tersebut adalah kekayaan dalam aspek narasinya yang tidak hanya terpaku pada penceritaan kisah tahanan politik Orde Baru. Isu terkait kehidupan perempuan merupakan salah satu unsur cerita yang dapat ditemukan dalam ketiga karya tersebut.
Perempuan dalam Novel Merajut Harkat, Istana Jiwa, dan Celah
Novel trilogi karya Putu Oka menawarkan tiga sudut pandang penceritaan yang berbeda dalam menarasikan salah satu kejadian besar dalam sejarah modern Indonesia yakni kejahatan kemanusiaan 1965-66. Merajut Harkat menceritakan kisah Mawa, seorang mantan guru yang harus menjalani kehidupan sulit sebagai seorang tahanan politik di dalam penjara.
Novel ini menggunakan dua sudut pandang, yakni ketiga dan pertama, sebagai strategi penceritaan. Sudut pandang ketiga digunakan untuk menarasikan aktivitas dan interaksi yang dilakukan tokoh Mawa selama dalam penjara. Sementara itu, sudut pandang pertama dipilih sebagai cara untuk menjelaskan pemikiran Mawa;
Aku Mawa. Aku hadir kembali sebab aku berpikir.
Ke-aku-an tokoh Mawa dalam novel ini merupakan satu bentuk perlawanan yang ditunjukkannya sebagai seorang tapol yang merasa telah diperlakukan layaknya bukan manusia. Di bawah segala ketidakpastian nasib, siksaan, dan ketakutan akan kematian, mereka telah kehilangan subyektivitasnya sebagai manusia dengan hak-hak dasar yang melekat. Mawa dalam hal ini mampu menantang praktik obyektivitas atas dirinya dengan terus berpikir walaupun tubuhnya dikerangkeng dan menyampaikan isi kepalanya dengan tutur bahasanya sendiri. Salah satu hal yang menjadi buah pemikiran Mawa adalah Nio, tunangannya yang seorang perawat.
Walaupun Nio tidak menjadi tokoh utama yang menggerakkan alur cerita dalam novel Merajut Harkat, perannya cukup besar dalam upaya Mawa untuk bertahan hidup di dalam penjara. Setelah kehilangan kabar dan kontak selama beberapa waktu, Nio mengirimkan bahan makanan ke penjara untuk Mawa dan mereka pun sempat beberapa kali mendapatkan kesempatan bertemu saat jadwal kunjungan.
Nio digambarkan sebagai seorang perempuan yang setia dan kuat dalam menghadapi permasalahan yang mendera hubungan mereka. Kesetiaan Nio, yang dalam hal ini belum menjadi istri Mawa, bahkan membuat beberapa rekan tapol Mawa merasa iri. Selain Mawa, beberapa tapol lain juga sering mendapatkan kiriman makanan dan pakaian dari istri atau keluarga mereka yang ada di luar penjara.
Novel ini mempunyai caranya sendiri untuk menyampaikan apresiasi para tapol laki-laki kepada para perempuan yang masih mau setia dalam membantu mereka dalam situasi yang sulit seperti itu. Hal ini dapat ditemukan dalam salah satu adegan obrolan Mawa dengan beberapa tapol lain terkait kabar berhasilnya lima tahanan dari blok E untuk melarikan diri dari penjara melalui gorong-gorong. Saat salah satu tapol mengatakan perlu diadakannya syukuran atas keberhasilan kawan mereka untuk melarikan diri, Juki menyatakan keberatannya.
“Aku tidak setuju mereka mendapat penghargaan,” celetuk Juki yang menempel di pagar.
“Lantas kalau ada penghargaan diberikan kepada siapa?” tanya Liem.
“Kepada ibu-ibu yang menghidupi kita,” sahut Juki. Semua menoleh kepada Juki yang hitam legam, pendiam, tapi rajin korve bezukan. Karena tak ada yang menyahut ia meneruskan.
“Kita sudah lama koid kalau tak ada yang ngirim. Kalau aku bebas aku berikan piagam kepada ibu-ibu kita,” suaranya yang mantap dan pelan seperti sarat dengan perasaannya. Persentuhan dengan tas setiap hari telah membangun kekaguman yang luar biasa kepada ibu-ibu pengirim tas.
“Makanya jangan suka ngomel kalau ibu terlambat mengirim, kita tidak tahu apa yang dialami di luar,” suara Juki datar dan tidak ada yang menyahuti, seperti menyampaikan kesejukan dan menentramkan pendengarnya. (Sukanta, 1999)
Dialog tersebut menunjukkan bentuk apresiasi yang diberikan oleh tapol untuk para perempuan yang mau bersusah payah di luar penjara untuk memberikan bantuan. Mereka paham bahwa di luar penjara pun kehidupan tidak mudah, karena gencarnya propaganda anti komunisme dan ancaman kepada keluarga tapol.
Ketergantungan perempuan atau istri yang disebabkan terjadinya fenomena separate sphere pun ditantang melalui narasi tersebut. Dalam keadaan yang sulit seperti itu, para tapol laki-laki yang tidak bisa berbuat banyak karena berada dalam tahanan mau tidak mau harus menggantungkan nasib mereka pada istri atau ibu mereka yang berada di luar penjara.
Terlepas dari apakah para perempuan tersebut bekerja di ruang domestik atau ruang publik, mereka memiliki kemampuan dan daya yang kuat untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri dan juga membantu para tapol. Walaupun para perempuan tersebut tidak menjadi tokoh protagonis dalam Merajut Harkat, novel ini membentuk citraan perempuan yang bersifat positif.
Selanjutnya, novel Istana Jiwa menawarkan narasi yang didominasi oleh tokoh-tokoh perempuan. Novel sejarah ini terfokus pada penceritaan kehidupan para tokoh perempuan sebelum dan setelah kejadian 30 September, antara lain Maria, Ibu Suri, Savitri, Kirtani, Zubaidah, Nori, Aidah, Bu Maruto, Asmi, Ivone, Hwami, Sruni, dan Bu Warjo.
Dari penceritaan dalam novel tersebut, dapat ditemukan keberagaman aktivitas yang dilakukan oleh beberapa tokoh perempuan tersebut. Sebelum peristiwa 30 September, Maria, Savitri dan Sruni merupakan perempuan yang aktif dalam organisasi politik dan kebudayaan; sementara tokoh perempuan yang lain merupakan istri dari laki-laki yang bergelut di bidang politik, jurnalisme, dan bisnis.
Keluarga Ibu Suri dan Kirtani mendapatkan porsi penceritaan paling banyak dalam novel ini. Ibu Suri merupakan istri Rampi, seorang tokoh partai yang ditangkap dan dipenjara pasca peristiwa 30 September. Maria, satu-satunya anak Ibu Suri dan Rampi, menunjukkan ketertarikannya yang besar terhadap politik dan kepartaian. Selain menjadi seorang mahasiswa kedokteran yang bercita-cita menjadi dokter untuk petani di Klaten, ia tergabung dalam CGMI, aktif dalam paduan suara gereja, dan menjadi anggota drumband. Bahkan kemudian ia memutuskan mengucapkan sumpah sebagai anggota PKI tanpa seizin orang tuanya. Sementara itu, Kirtani bersuamikan seorang tokoh partai yang bernama Fandi. Mereka memiliki dua anak, bernama Sayang dan Idam.
Setelah penangkapan suami mereka, para tokoh perempuan tersebut digambarkan harus menjalani kehidupan yang sulit di luar penjara. Tidak hanya mereka merasa berkewajiban mengirimkan makanan ke penjara, namun mereka juga harus berupaya keras untuk membiayai kebutuhan mereka sendiri, termasuk pendidikan anak. Selain itu, beberapa dari mereka juga sering didatangi oleh tentara yang ingin merampas rumah dan harta mereka.
Untuk bertahan hidup, para istri tersebut terpaksa harus menjual sedikit demi sedikit kekayaan mereka, bahkan melakukan pekerjaan yang membutuhkan perjuangan yang besar seperti berdagang dan membuka jasa jahit. Bahkan Kirtani, Ivone, dan Sruni memutuskan untuk bermain judi di daerah Ancol saat dompet mereka mulai tipis.
Tugas mereka sebagai orang tua tunggal terasa begitu berat, salah satunya dalam menjaga keadaan psikologis anak-anak mereka di tengah kekacauan yang terjadi. Anak-anak para tapol mengalami perundungan di sekolah karena status orangtuanya dan juga terpapar oleh propaganda dan pesan-pesan kebencian terhadap organisasi dan tokoh komunis. Salah satunya Sayang yang terus menerus bertanya-tanya siapakah Aidit kepada Kirtani, setelah ia melihat barisan demonstran di jalan yang menyerukan ‘gantung Aidit’.
Novel Istana Jiwa menawarkan sudut pandang yang berbeda terkait kasus pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di Indonesia pada 1965-66. Dengan menceritakan kisah-kisah para perempuan yang berjuang di luar penjara, novel ini menunjukkan bahwa kekacauan yang terjadi selama periode pemerintahan Orde Baru tidak hanya membawa kerugian bagi orang-orang yang dituduh berhubungan dengan paham komunisme, namun juga keluarga mereka. Walaupun para istri dari tapol Orde Baru tidak terkungkung di dalam ruangan penjara yang penuh dengan siksaan, kehidupan di dunia luar tidak sebebas dan semudah yang dibayangkan. Mereka memiliki perjuangannya sendiri yang tidak bisa dianggap remeh.
Di samping penyampaian narasi tentang perjuangan para perempuan di luar penjara, novel ini juga mewakili pemikiran perempuan yang merasa dirugikan dengan fenomena separate sphere yang dianggap mendiskreditkan posisi perempuan.
“Selalu, dalam keadaan kritis, perempuan ambil alih semua urusan. Ia menjadi barisan terdepan. Kalau sudah aman, laki-laki datang menggeser kita ke dapur saja. Nanti, Nduk, kalau masih ada yang mau menikahimu, hal-hal seperti ini dibicarakan terlebih dahulu. Harus dites calon suamimu, Nduk.” (Sukanta, 2012)
Cuplikan dialog di atas merupakan pesan yang disampaikan Ibu Suri kepada Maria saat mereka harus menghadapi kenyataan yang sulit setelah suaminya ditangkap. Terlepas dari perasaan cinta dan kasih sayang Ibu Suri kepada Rampi, ia sebagai perempuan menyatakan keberatannya atas relasi kuasa yang tidak berimbang dalam lingkup rumah tangga.
Kesibukan di ruang domestik yang dilakukan perempuan selama ini dianggap sebagai hal yang lumrah, merupakan kodrat istri, dan tidak perlu diberi penghargaan. Padahal dalam kenyataannya, di saat kesempatan suami untuk bekerja di ruang publik tercerabut, peran istri terbukti sangat besar untuk menyelamatkan keberlangsungan rumah tangga mereka.
Pengalaman pahit yang dialami Ibu Suri tidak berhenti sampai pemulangan Rampi dari Pulau Buru. Pemenjaraan dan penyiksaan yang berlangsung selama bertahun-tahun sepertinya memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi psikologis Rampi. Ia kehilangan ketertarikannya pada Ibu Suri yang telah mencapai masa menopause, bahkan menuduh istrinya bekerja sebagai PSK sehingga bisa membeli sebuah rumah baru.
Pertengkaran demi pertengkaran akhirnya membawa Rampi pergi dari rumah dan menikah dengan perempuan lain. Sifat-sifat penyayang dan perhatian yang dimiliki Rampi seakan telah hilang sepenuhnya karena perlakuan tidak manusiawi yang diterimanya selama menjadi tahanan.
Selain itu, Rampi juga mengalami permasalahan dalam kepercayaan dirinya sebagai seorang kepala keluarga yang tidak lagi bisa memberi nafkah untuk istri dan anaknya setelah bebas dari penjara. Permasalahan ini dapat dihubungkan dengan fenomena separate sphere yang mendukung terciptanya keinginan untuk mendominasi dalam kepala laki-laki. Pelarian Rampi yang disusul dengan keputusannya menjadi seorang petani di kampung dan menikah dengan perempuan lain menunjukkan kecenderungannya yang ingin dianggap penting sebagai seorang laki-laki. Ia tidak bisa merelakan pengubahan yang terjadi pada posisinya di ruang publik.
Kemudian pada novel yang ketiga yakni Celah, pembaca ditawarkan dengan narasi lain yang tidak kalah menarik. Novel ini menceritakan kisah tokoh ‘aku’ sebagai seorang eks-tapol dan suami seorang perempuan yang sangat perhatian kepadanya, mulai dari penampilan sampai kesehatan tokoh aku.
Terkadang cara penceritaan tokoh aku menunjukkan rasa risihnya atas perhatian istrinya yang dianggapnya berlebihan dan menggurui. Namun seiring berjalannya cerita, akan ditunjukkan bagaimana peran istri tokoh aku dapat mengimbangi posisinya yang didominasi dengan kesibukan di ruang publik.
Senada dengan narasi yang dibentuk dalam Istana Jiwa, novel Celah juga memberikan gambaran kehidupan para perempuan yang berinteraksi dengan tokoh aku. Tokoh aku memiliki banyak kenalan perempuan dengan kesibukan yang beragam.
“Wah, masih jadi pendekar? Masih sering turun ke jalan?”
“Kudengar begitu.”
“Suaminya jadi pengasuh anak dan tukang masak ya… He he. Dunia terbalik-balik.” (Sukanta, 2018)
Cuplikan dialog di atas merupakan obrolan antara tokoh aku dan istrinya yang menyadari telah terjadinya suatu pengubahan dalam paradigma konsep rumah tangga seiring dengan berkembangnya zaman. Walaupun cara pandang istri aku masih menunjukkan adanya kecenderungan pemisahan ruang ideal bagi perempuan dan laki-laki, novel ini menawarkan sudut pandang yang berbeda melalui penceritaan tokoh aku.
Tokoh aku dalam novel ini diceritakan sebagai seorang eks-tapol yang terus aktif melakukan kampanye kemanusiaan dengan menulis dan tampil di publik. Di luar rumahnya, ia bertemu dengan banyak perempuan yang bergerak dalam bidang yang sama dan cenderung sangat aktif di ruang publik, seperti aktivis dan wartawan.
Selain itu, ia juga berkawan dengan para perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial, yang berkenaan dengan kampanye kesehatan yang dilakukan oleh tokoh aku. Bahkan disebutkan pula bahwa tokoh aku juga berkawan dengan waria. Terkait dengan hal ini, ditunjukkan bahwa tokoh aku bukanlah seorang laki-laki yang mempermasalahkan konstruksi-konstruksi sosial terkait konsep perempuan ideal.
Pola pikir yang berkembang di dalam kepala tokoh aku sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya sebagai seorang tapol. Semasa menjalani masa hukuman, ia telah merasakan sendiri pahitnya tindakan dehumanisasi yang menimpanya. Tentu saja pengalaman tersebut pada beberapa titik meninggalkan sisa-sisa trauma yang menyebabkannya sering merasa ketakutan, seakan diawasi oleh sosok yang pernah merenggut kebebasannya sebagai seorang manusia merdeka. Bahkan saat berada di luar rumah dan harus berhadapan dengan banyak orang, tokoh aku digambarkan sering dihantui oleh pengalaman masa lalunya, seperti saat ia ditangkap dan diinterogasi.
Penggambaran ini menunjukkan bahwa kekacauan yang telah terjadi pada era rezim otoriter Orde Baru tidak berhenti setelah Suharto turun dari kursi kepemimpinan. Walaupun penangkapan dan pemenjaraan massal tidak lagi terjadi, namun masih banyak hal yang belum mampu disembuhkan oleh negara, salah satunya adalah trauma yang dialami oleh mantan tahanan politik seperti tokoh aku. Namun di balik trauma tersebut, tokoh aku berhasil memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan cara yang humanis, termasuk istrinya sendiri.
Seiring berjalannya cerita, disebutkan bahwa istri tokoh aku selain mengurusi keperluan rumah tangga, juga memiliki kesibukan di ruang publik. Ia menjadi seorang pengelola kebun tanaman obat yang sebenarnya juga berhubungan erat dengan ranah kesehatan yang digeluti oleh tokoh aku sebagai seorang akupunkturis.
Kerjasama ini menunjukkan adanya keadilan dan solidaritas yang terbangun dalam lingkup rumah tangga sehingga tidak tercipta adanya relasi kuasa tidak berimbang antara istri dan suami. Keduanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyelami dunia yang menjadi ketertarikan mereka.
Refleksi: Pembebasan atas Konstruksi
Secara keseluruhan, novel trilogi karya Putu Oka menawarkan narasi yang menarik terkait pencitraan perempuan terutama dalam lingkup yang lebih khusus, yakni sebagai anggota keluarga dari penyintas tragedi kemanusiaan 1965-66. Terdapat kecenderungan yang kuat dari ketiga novel tersebut untuk menciptakan karakter yang bersifat ‘bulat’ atau ‘hidup’ dari para tokoh perempuan. Pada saat yang sama, novel ini tidak bersifat moralis atau menggurui terhadap keputusan-keputusan yang diambil para tokoh perempuan di tengah kehidupan yang sulit untuk dijalani.
Misalnya saat beberapa tokoh perempuan, seperti Ibu Maruto yang memutuskan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain agar tetap bisa membiayai kebutuhan rumah tangga dan mengirim makanan ke penjara untuk suaminya. Begitu pun saat Ibu Suri dan teman-temannya memutuskan untuk bermain judi agar mendapatkan uang tambahan saat suami mereka berada dalam penjara.
Novel Celah juga masih mempertahankan pemikiran yang sama dengan tidak memberikan penilaian bias terhadap keputusan yang diambil perempuan, terutama terkait pekerjaan yang mereka lakukan. Bahkan saat menarasikan kisah seorang pekerja seks komersial, novel ini tidak menghakimi sosok perempuan tersebut. Begitu pun dengan para tokoh perempuan lain yang bekerja di ranah aktivis kemanusiaan yang menuntut mereka untuk lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
Ketiga novel ini tidak lagi terpaku pada konsep perempuan ideal yang ditentukan oleh segregasi ruang atau konsep separate sphere. Selain itu, para tokoh perempuan juga dinarasikan dengan porsi yang sesuai, tidak digambarkan semata sebagai obyek dalam lingkungan mereka. Para tokoh perempuan dapat mengambil keputusan sesuai dengan pertimbangan dan kemampuan mereka tanpa mendapatkan penilaian negatif.
Narasi dalam ketiga novel tersebut pun mendukung gagasan perlunya membebaskan perempuan dari konstruksi-konstruksi sosial yang membelenggu. Dengan terbebaskannya perempuan dari konstruksi tersebut, mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka secara utuh dan menjadi ‘manusia’. Putu Oka telah berusaha membebaskan para tokoh perempuan tersebut melalui celah-celah yang membentuk ruang kemerdekaan bagi mereka.
Korpus
Sukanta, Putu Oka. 1999. Merajut Harkat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______________. 2012. Istana Jiwa: Langkah Perempuan di Celah Aniaya. Jakarta: Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat & Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan.
_______________. 2018. Celah. Jakarta: Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan.
Referensi
Friedan, Betty. 1963. The Feminine Mystique. New York: W.W. Norton & Company. Inc.
Vickery, Amanda. 1993. “Golden age to separate spheres? A review of the categories and chronology of English women’s history” dalam The Historical Journal. Cambridge: Cambridge University Press.
[1] Dipresentasikan dalam acara peluncuran novel Celah (2018) sebagai rangkaian peringatan 20 Tahun Komnas Perempuan pada 5 November 2018 di Goethe Institut, Jakarta.