Setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat pada 2017, dunia kembali sontak terkejut dengan terpilihnya sosok lain yang menurut anggapan umum dipercaya sebagai musuh bersama. Ia adalah Ferdinand Romualdez Marcos Jr., atau biasa dipanggil dengan Bongbong Marcos atau BBM, putra dari Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos Sr. yang pernah menjadi presiden Filipina dari 1965 sampai 1986 dengan catatan hitam korupsi besar-besaran dan pelanggaran HAM. Dan publik kini mempertanyakan: bagaimana semua ini bisa terjadi?
Gambar: Financial Times
Bukan hal yang mudah untuk menjawab pertanyaan itu secara konklusif, karena tentunya kemenangan politik, khususnya pada dewasa ini, tidak seperti lanskap lapangan golf yang tanah dan rumputnya telah direkayasa sedemikian rupa sehingga mulus untuk dilintasi. Alih-alih, begitu banyak sengkarut kelindan yang sulit diurai, ditemukan pangkal dan ujungnya, sampai akhirnya kita dihadapkan pada kenyataan yang sulit disangkal tetapi sulit juga diterima. Kenyataan yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana Marcos Jr. berhasil memenangkan pemilu presiden pada 9 Juni lalu dengan hasil yang dapat dikatakan luar biasa. Ia menyisihkan sembilan kandidat yang lain dengan total suara lebih dari 31 juta, menghadirkan marjin suara yang besar dengan para lawan politiknya.
Kemenangan Marcos Jr. segera ditanggapi oleh sejumlah ahli sebagai hasil dari propaganda “penyelewengan sejarah” yang dilakukan keluarga Marcos secara terencana dan terukur untuk membersihkan nama Marcos Sr. dan meningkatkan kembali dukungan masyarakat terhadap keluarga Marcos. Dalam hal ini, sekali lagi media sosial dianggap memiliki peran besar dalam membentuk, menggeser, mengubah persepsi masyarakat tentang Marcos Jr. ataupun keluarga Marcos secara umum.
Baca juga: Meretas (Omong Kosong) Elektabilitas
Sudah tercatat dalam sejarah dan menjadi pengetahuan publik bahwa Marcos Sr. pernah menjadi seseorang yang menghancurkan Filipina dengan tindak korupsi besar-besaran dan cara kepemimpinan yang brutal. Marcos Sr. Presidential Commission on Good Government memperhitungkan bahwa keluarga Marcos telah mencuri dari Bank Nasional Filipina uang sejumlah 5–10 juta Dolar Amerika dan memiliki puluhan rekening untuk menyimpan hasil korupsinya. Marcos Jr. berusia 8 tahun ketika ayahnya naik ke tampuk kekuasaan, dan bukan hal yang mengherankan jika ia turut menikmati hasil korupsi tersebut, termasuk untuk membiayai uang kuliahnya di Inggris dan Amerika Serikat. Sementara itu, istri Marcos Sr., Imelda Romualdez Marcos juga dikenal sebagai seorang ibu negara yang hobi pesta dan belanja. Tercatat ia sampai memiliki koleksi sepatu bermerek sejumlah lebih dari 3.000 pasang.
Militerisme juga menjadi strategi kepemimpinan Marcos Sr., menjadikan posisinya imun dari bentuk-bentuk protes dan perlawanan dari masyarakat. Sejak 1972 ia menerapkan darurat militer di seluruh kawasan Filipina melalui aturan Proclamation No. 1081 yang mengatur durasi darurat militer sampai 1981. Namun Marcos Sr. mempertahankan kekuasaan militernya sampai akhir masa kepemimpinannya pada 1986. Sepanjang penerapan darurat militer, terjadi pelanggaran kemanusiaan dalam skala besar melalui penangkapan dan pemenjaraan mahasiswa, aktivis, dan figur publik yang dianggap berlawanan pemikiran dengan pemerintah. Amnesty Internasional bersama Task Force Detainees of the Philippines mencatat sejumlah 3.257 kasus pembunuhan ekstrayudisial, 35.000 kasus penyiksaan, 77 kasus penghilangan paksa, dan pemenjaraan atas 70.000 orang. Dari 3.257 korban pembunuhan, 2.520 di antaranya mengalami penyiksaan dan dimutilasi, untuk kemudian bagian tubuhnya disebarkan di beberapa tempat. Beberapa di antaranya bahkan dimakan, atau mengalami kanibalisme.
Baca juga: Presiden Tiga Periode, Bukan Sekadar Taat Konstitusi
Satu hal lain yang menjadi catatan penting terkait kepemimpinan Marcos Sr. dan sosok Marcos Jr. adalah bagaimana mereka menggunakan kebohongan publik untuk meraup dukungan politik. Di masa-masa awal Marcos Sr. menjabat sebagai presiden, ia menyatakan bahwa ia merupakan “most decorated war hero in the Philippines“, atau pahlawan Perang Dunia II dengan tanda jasa terbanyak. Pernyataan tersebut pada kenyataannya merupakan sebuah kebohongan besar, tetapi berhasil menjadi salah satu pembenaran atas implementasi strategi militerisme di bawah kepemimpinannya. Cara serupa dilakukan oleh Marcos Jr. dengan memanipulasi publik terkait riwayat pendidikannya. Marcos Jr. menyatakan bahwa ia berhasil lulus dan mendapatkan gelar dari Universitas Oxford. Benar bahwa Marcos Jr. memang tercatat pernah berkuliah di kampus St. Edmund Hall dan mengambil jurusan filsafat, politik, dan ekonomi (philosophy, politics and economics – PPE). Namun, ia tidak mendapatkan gelar S1 karena hanya berhasil menuntaskan filsafat dan gagal di politik dan ekonomi. Pihak kampus telah menyampaikan klarifikasi atas klaim Marcos Jr., tetapi ia masih terus menggunakan kebohongan tersebut sebagai salah satu materi kampanyenya untuk posisi wakil gubernur dan gubernur Ilocos Norte.
Apa yang tertulis di atas baru sebagian kecil dari semua hal yang dapat dan perlu dikritisi terkait kepemimpinan Marcos Sr. sebagai presiden dan sosok Marcos Jr. sebagai putra seorang diktator yang juga sempat bertahun-tahun menjabat posisi penting di tingkat daerah dan kini melenggang ke gelanggang nasional. Dengan mengingat semua itu, agaknya sulit untuk membayangkan bagaimana Marcos Jr. bisa mendapatkan dukungan luar biasa dalam pemilihan presiden. Di sisi lain, sulit juga untuk menentang betapa besar dan signifikannya peran yang dimainkan oleh media sosial dalam strategi komunikasi politik dan propaganda di abad ini. Buku-buku sejarah dengan semua catatan data faktual tidak berkutik di hadapan algoritma, sehingga ingatan Marcos Sr. dan keturunannya sebagai dinasti yang menghancurkan Filipina tidak hanya tersisihkan, tetapi juga terputihkan seperti layaknya prosesi pengakuan dosa di hadapan pendeta.
Baca juga: Pewarisan Ingatan dan Perjuangan Rehumanisasi
Dalam hal ini, Marcos Jr., tidak lama setelah kemenangannya, meminta kepada publik untuk tidak menilai dirinya dengan bayang-bayang tentang ayahnya. Menurut saya pernyataan tersebut tidak lebih dari strategi gaslighting yang membuat masyarakat Filipina, yang mungkin beberapa di antaranya merupakan generasi kedua atau ketiga dari korban dan penyintas, meragukan memori atas segala kejahatan yang telah dilakukan oleh Marcos Sr. selama menjadi kepala negara. Anggapan bahwa tidak semestinya kita “main hakim sendiri” terhadap Marcos Jr. dan menilainya secara lebih adil akan mengorbankan puluhan ribu jiwa yang dibohongi dan dilukai.
Kembali pada pertanyaan pembuka dari tulisan ini, sekali lagi tidak mudah untuk menjawab bagaimana Marcos Jr. bisa memenangkan pemilihan presiden dengan semua latar belakang pribadi dan keluarga semacam itu. Namun paling tidak kita diingatkan kembali tentang pentingnya mengingat dan mengisi ruang-ruang yang tak kasat mata tetapi mulai menemukan kekuatan latennya dengan kebenaran, meski sekecil apapun.