Setelah jarang menjadi buah bibir selama beberapa waktu lamanya, nama Budi Darma kembali ramai diperbincangkan. Mungkin lebih tepatnya: setelah jarang menjadi buah bibir selama beberapa waktu lamanya, dan selepas kematiannya, nama Budi Darma kembali ramai diperbincangkan. Hal seperti itu memang bukan hal yang baru dalam sastra dan seni, bahkan juga sains. Beberapa orang bahkan benar-benar baru dikenal setelah kematiannya, sebut saja Vincent Van Gogh, Emily Dickinson, dan Gregor Johann Mendel yang sekarang baru diakui penemuannya sebagai muasal dari teori genetika modern.

Ilustrasi: The New Yorker

Budi Darma memang tidak sepenuhnya seperti itu. Ia tidak menjadi terkenal setelah kematiannya. Sepanjang hidupnya ia telah mendapatkan beragam penghargaan karena tulisannya, dan memperoleh pengakuan dari masyarakat luas. Hanya saja namanya sempat redup beberapa tahun terakhir. Hal yang agaknya lumrah saja, mengingat kontestasi kapital yang dimiliki seorang individu atau suatu kelompok juga sangat erat kaitannya dengan konteks zamannya. Namun fenomena menarik kemudian terjadi setelah kematiannya pada 21 Agustus lalu. Dan dalam hal ini media sosial menjadi faktor eksternal pendorong yang penting. 

Saya telah menulis beberapa artikel tentang sosial media, bagaimana fitur-fitur di dalamnya memungkinkan produksi informasi yang cepat. Tidak seperti proses menerbitkan buku yang harus berdebat dengan editor, menyimpan berjilid-jilid manuskrip revisi, sebisa mungkin substansi dan redaksional teks dapat terjaga. Kemudian fungsi fitur tersebut terekskalasi dengan perilaku pengguna. Dalam konteks teknologi digital, pengguna memang memainkan peran yang sangat penting. Oleh karenanya para pengembang aplikasi dan platform digital saat ini memberikan perhatian khusus pada user interface, user behavior, dan user experience dalam proses perancangan dan pengembangan suatu media digital. 

Baca juga: Nyawa Manusia di Tangan Algoritma

Kemudahan yang dimungkinkan oleh fitur media sosial untuk memproduksi suatu narasi secara cepat didukung oleh perilaku pengguna dalam menyebarkan suatu informasi melalui media sosial. Dengan satu klik, kini suatu informasi dapat muncul di beranda media sosial orang-orang yang berinteraksi, atau bahkan kini dengan algoritma pemelajaran mesin, informasi itu bisa diakses oleh lebih banyak pengguna. Bandingkan dengan proses penyebaran informasi melalui media cetak yang lebih dikontrol oleh realitas ruang dan waktu. Semua itu kemudian mengarah pada apa yang disebut dengan “jurnalisme cepat” atau fast journalism yang dianggap oleh beberapa orang ekuivalen dengan jurnalisme modern. 

Namun, tulisan ini tidak akan membahas lebih mendalam tentang jurnalisme cepat dalam perbandingannya dengan jurnalisme lamban. Konsep jurnalisme cepat ini pengantar dari apa yang kemudian saya sebut dengan fast idolism, berdasarkan fenomena di media sosial yang baru-baru saja terjadi semenjak kematian Budi Darma. 

Seperti layaknya tokoh-tokoh besar lain, kematian Budi Darma kemudian menjadi bahan kiriman para pengguna media sosial dengan beragam latar belakang. Pembaca dan penikmat karya Budi Darma, kelompok-kelompok yang bergerak di dunia literasi dan kesusastraan, sampai mereka yang kini juga bergerombol dalam kerumunan dunia literasi dan kesusastraan (yang sebenarnya tidak terlalu ramai juga) khususnya para penulis. Kiriman-kiriman tersebut sebagian besar berisi pesan-pesan nostalgik ke arah positif: besarnya peran dan dedikasi Budi Darma untuk sastra Indonesia, kalimat-kalimat quotable dari karya-karyanya, sampai harapan ingin jumpa yang pupus disalip kematian. 

Baca juga: Ambivalensi Media Sosial bagi Perempuan dan Gender Non-Biner

Pada titik ini saya membayangkan efek yang ditimbulkan dari persebaran informasi tentang Budi Darma selepas kematiannya ini. Saya cukup yakin ada sejumlah anak-anak generasi muda yang sebelumnya belum pernah mengenal tulisan Budi Darma atau sekadar mendengar namanya menjadi terpapar dengan sedikit informasi tentangnya. Mereka menjadi tahu bahwa drama percintaan tidak selalu semanis Dilan karena pernah ada relasi rumit antara Fanton Drummon dengan Olenka. Mungkin mereka juga menjadi tahu bahwa Orang-Orang Bloomington yang terdengar seperti karya terjemahan sebenarnya ditulis dalam bahasa Indonesia oleh seorang Indonesia. Dalam waktu sekejap, nama Budi Darma kembali bangun dari tidurnya, bahkan kemudian dibaca dan diingat oleh sosok-sosok baru dalam medan sastra Indonesia. 

Kemudian muncullah satu suara “sumbang” di tengah hiruk pikuk eulogi-eulogi tersebut. Yakni kiriman Soe Tjen Marching tentang dukungan penolakan terhadap Dede Oetomo dari IKIP yang sempat diberikan Budi Darma karena orientasi seksualnya, yang juga dikonfirmasi oleh Dede sendiri. Pada kiriman yang sama, sebagai bentuk respons, Dede menambahkan bahwa Budi Darma juga pernah mengatakan di Konferensi 25 Tahun Orde Baru pada Desember 1989 di Australia National University bahwa Pramoedya Ananta Toer memang pantas ditahan dan dibuang di Pulau Buru. 

Baca juga: Jaringan Media Sosial = Jaringan Impunitas

Publik media sosial tercengang. Mungkin mereka tidak membayangkan seseorang yang pernah memotret isu sosial masyarakat Surabaya –dalam novelnya Rafilus– ternyata punya cara pandang yang tidak sejalan dengan nilai-nilai humanisme. Saya tidak tahu, apakah kemudian beberapa pengguna media sosial yang sempat mengunggah kiriman dengan pesan romantik tentang Budi Darma kemudian menghapus kirimannya atau bagaimana. Namun inilah yang kemudian saya baca sebagai fast idolism dengan media sosial sebagai faktor pendorongnya. 

Serupa dengan jurnalisme cepat, fast idolism secara dominan bergantung pada kecepatan pergerakan suatu informasi alih-alih kebenaran atau kedalaman informasi tersebut. Dalam hal ini, tentu sulit untuk disangkal besarnya peran Budi Darma dalam kesusastraan Indonesia khususnya pada periode tahun 1970-an sampai 1990-an. Namun, pernyataan dan sikap Budi Darma terkait orientasi seksual dan pelanggaran HAM 1965–66 bukanlah sesuatu yang sering muncul ke permukaan, hanya diketahui dan disimpan oleh segelintir orang. Media sosial telah mendorong terbentuknya fast idolism atas Budi Darma pascakematiannya, karena hanya ada satu narasi yang diproduksi dan disebarkan dalam pergerakan informasi, yakni narasi kepahlawanannya dalam kesusastraan. Sementara narasi kedua baru terangkat kemudian.

Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi digital yang masih berlangsung, bukan tidak mungkin, atau cukup besar kemungkinannya, akan ada kecenderungan-kecenderungan “cepat” yang lain. Yang wujudnya lebih banal, lebih mengasingkan manusia dari apa-apa yang semestinya ia ketahui, bukan saja apa-apa yang disuguhkan agar ia mengetahui. Kita sepertinya memang perlu melamban. Melamban dalam membaca, melamban dalam mewarta, melamban dalam mencinta dan memuja.