Sejumlah penulis telah menyampaikan dengan cukup apik analisis mereka terhadap fenomena ‘pertempuran’ antara kelompok Kampret-Cebong. Dua istilah tersebut mungkin tidak akan terdengar saat kita berbincang politik secara tatap muka di sudut sebuah di kedai kopi, tapi merupakan hal yang dapat kita temui hampir setiap hari di jaringan media sosial. Setelah merasakan sendiri berada dalam ‘lingkaran maya’ yang (begitu mudahnya) memberikan label, berikut adalah sedikit catatan saya.

Secara pribadi, saya tidak pernah ikut dalam partai atau golongan poiltik tertentu, tidak pernah tertarik akan ikut, dan tidak pernah memikirkannya sebagai bagian dari rencana masa depan. Bukan karena sok idealis, tetapi saya pikir pekerjaan politik praktis terlalu memuakkan melelahkan bagi saya yang lebih suka membaca buku atau menulis sendirian di dalam kamar. Selain itu, saya lebih suka berdiri di luar lingkaran kemelut dan sesekali melontarkan kritik.

Saya tidak akan berbicara tentang moralitas atau kesopanan memberikan komentar di media sosial, karena itu tidak lain sudah melukai gagasan kebebasan berekspresi. Tetapi saya akan membahas seberapa sehat sebenarnya kebebasan berekspresi di media sosial di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan menjadi pendukung dari tokoh politik tertentu. Sebenarnya gagasan dalam tulisan ini juga berhubungan dengan obrolan terakhir yang saya lakukan dengan salah seorang penulis puisi besar di Indonesia yang juga seorang eks-tapol Orde Baru (yang tidak perlu saya sebut namanya di sini).

Baca juga: Mengenal Orde Baru: Eks-Tapol

Berakhirnya rezim Orde Baru -secara politik- membawa perubahan yang cukup besar terhadap atmosfer penyampaian pendapat secara publik. Dalam ranah sastra, bermunculan penulis-penulis yang menawarkan wacana-wacana yang sebelumnya terlarang atau mengarah pada resiko penangkapan atau pemenjaraan. Perkembangan teknologi dan informasi pada saat yang sama memiliki peran yang besar dalam wacana kebebasan berekspresi dan berbicara pasca kejatuhan Orde Baru. Media sosial merupakan salah satu alat yang telah terbukti efektif untuk menjadi wadah penyampaian komentar terhadap semua fenomena yang ada, baik berhubungan dengan panggung politik praktis maupun tidak.

Istilah cebong dan kampret yang saya sebut dalam tulisan ini sebagai ‘label’ merupakan salah satu fenomena penyampaian ekspresi di media sosial yang berhubungan dengan panggung politik praktis. Kita bisa mendapati betapa mudahnya para pengguna media sosial terpengaruh dengan kemunculan istilah penggolongan tersebut. Beberapa di antara mereka menggunakannya sebagai senjata virtual untuk melabeli pengguna media sosial lain yang dianggap berseberangan pilihan atau pandangan politik.

Sebelumnya, saya tidak pernah terlalu ambil pusing dengan fenomena pelabelan tersebut, sampai akhirnya label tersebut diberikan secara langsung melalui komentar oleh salah satu pengguna media sosial yang menanggapi komentar saya terhadap suatu berita. Perlu digarisbawahi bahwa saya tidak mau dan memang secara sadar tidak pernah menggolongkan diri dan pandangan politik saya dengan kelompok tertentu. Saya memilih untuk menjadi komentator bagi siapa pun di atas panggung tersebut. Dan konflik horizontal, apapun bentuknya, bukanlah sesuatu hal yang menarik dan menguntungkan bagi saya.

Sehingga saat label tersebut diberikan kepada saya, muncul sensasi menarik dalam benak. Geli, prihatin, kecewa, bercampur jadi satu. Menggelikan bagaimana satu komentar yang saya rasa sangat netral bisa mengarah ke labelisasi. Memperihatinkan dan mengecewakan untuk menyadari apa yang menjadi pembicaraan saya beberapa minggu sebelumnya dengan seorang penulis itu benar-benar terjadi pada saya pribadi.

Penulis yang sudah kehilangan pigmen hitam di setiap helai rambutnya itu sempat menceritakan pengalamannya berkarya di era Orde Lama, di tengah-tengah 3 jam pembicaraan kami. Deklarasi kemerdekaan Indonesia memberikan suntikan semangat yang cukup besar bagi hampir semua golongan masyarakat pada saat itu, termasuk para penulis atau sastrawan. Pergerakan kebudayaan bermunculan, salah satunya yang paling besar dan berpengaruh adalah Lekra. Pria yang pernah berada di ‘lingkaran luar’ dari Lekra tersebut mengaku sudah menggeluti dunia tulis menulis sejak masih duduk di bangku sekolah, dan jurnalisme merupakan wadah yang dianggapnya tepat untuk menyampaikan komentar dan kritiknya.

Penggambarannya tentang pergerakan jurnalisme di Indonesia pasca kemerdekaan mengarah pada satu kesimpulan. Pada saat itu, penyampaian kritik disampaikan dengan cara yang sehat, tidak menjatuhkan pihak yang dikritik secara personal, dan tidak berbuntut pelabelan. Ia mengaku bisa mengkritik pemerintah dengan berkaca pada kehidupan masyarakat miskin tanpa perlu khawatir dicap sebagai golongan tertentu. Jika kritik disampaikan terhadap seorang individu, ia bisa saja mengomentari kembali kritik tersebut dengan tetap menjaga etika penyampaian kritik.

Menghabiskan hari tuanya dengan tetap menulis, pria itu juga masih menaruh perhatian terhadap fenomena sosial dan politik pasca kejatuhan Orde Baru saat ini. Perlu diingat bahwa ia adalah salah satu penyintas pelanggaran kemanusiaan Orde Baru yang dikenal sebagai rezim yang memiliki agenda sensor paling masif dalam sejarah modern Indonesia. Dan ia sungguh menyayangkan adanya labelisasi golongan di tengah-tengah periode pemerintahan yang lebih memungkinkan penyampaian kritik dibandingkan 20 tahun yang lalu.

Baca juga: Sepak Terjang Kejaksaan Agung dalam Praktik Pelarangan Buku

Kembali pada pengalaman saya yang diberi label sebagai salah satu pengikut golongan cebong-kampret, saya pun agaknya mengamini apa yang disampaikan oleh eks-tapol Orde Baru tersebut. Beberapa pengguna media sosial sepertinya tidak mau susah-susah membaca dan berpikir merefleksikan suatu komentar yang muncul di halaman linimasa mereka. Memantik konflik horizontal dengan pemberian label memang sepertinya lebih mudah, sekali lagi tanpa mau susah payah memikirkan resiko yang dapat muncul karena pemberian label tersebut.

Kecenderungan ini bisa saja masih terus berlangsung bahkan pasca pemilihan umum atau pada tahun-tahun pemilu berikutnya. Jika pengguna media sosial masih tidak mau mendewasakan diri dalam memberikan penilaian atas suatu pendapat, maka konflik horizontal yang dibumbui dengan pelabelan akan terus menghiasi utopia kebebasan berekspresi di negeri ini.