Kota menjadi tema yang diangkat dalam dua pertunjukan teater dalam perhelatan Djakarta Teater Platform bertajuk “Kekuasaan dan Ketakutan”. Setengah Komplek-X oleh Teater Alamat dan Suara-Suara Gelap: Dari Ruang Dapur oleh Teater Kala adalah dua pertunjukan yang mengangkat isu perkotaan dengan strategi penceritaan yang berbeda. Dramaturgi yang tidak sama persis untuk mengangkat satu tema serupa menjadi kajian menarik untuk dibahas.

Sutradara Teater Alamat, Budi Yasin Misbach, menyampaikan pada sesi diskusi biografi penciptaan bahwa penulisan dan penggarapan naskah Setengah Komplek-X sebenarnya tidak jauh berbeda dengan produksi-produksi sebelumnya. Naskah dirancang berdasarkan observasi yang dilakukan oleh tim terhadap kehidupan masyarakat kota yang bertempat tinggal di kompleks perumahan. Teknik observasi semacam itu menurut Budi Yasin merupakan cara yang sering digunakan oleh Teater Alamat untuk menyusun dan menampilkan naskah mereka.

Pendekatan realisme merupakan strategi dramaturgi yang digunakan Teater Alamat dalam menggarap Setengah Komplek-X. Properti ditata sedemikian rupa untuk menghasilkan penggambaran yang sangat mendekati kompleks perumahan di daerah perkotaan. Rumah dihadirkan dalam bentuk nyata, bahkan sepeda motor pun digunakan dan dikendarai oleh para pemain. Pergantian hari dengan rutinitas yang sama mewarnai jalannya cerita sejak awal sampai akhir pertunjukan. Absurditas rutinitas merupakan bagian dari kehidupan manusia kota dengan tuntutan untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, Setengah Komplek-X berupaya menghadirkan kembali realitas yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan melalui tata panggung dan perjalanan alur cerita.

Komplek X adalah sebuah kompleks perumahan yang setengahnya terdiri dari empat rumah. Salah satu rumah ditinggali oleh sepasang suami istri yang masing-masing disibukkan dengan rutinitas kerja sebagai penyedia jasa servis elektronik dan ibu rumah tangga. Rumah tersebut merupakan titik tengah dari panggung dan tempat yang menyimpan penyebab konflik cerita, yakni tandon air.

Tandon tersebut menjadi penampung air sumur yang menjadi kebutuhan para warga komplek X. Pemilik rumah tempat tandon tersebut berada memiliki kuasa yang lebih besar daripada penghuni komplek yang lain. Merekalah yang mengendalikan mati atau nyalanya sumur bor dan mengalirnya air ke rumah-rumah. Kekuasaan tersebut yang melahirkan konflik antara penghuni rumah yang mengendalikan aliran air dengan penghuni komplek X lain yang rumahnya berada di belakang (panggung). Para penghuni komplek X yang merasa telah dimonopoli beberapa kali muncul dari pintu pagar dan menyampaikan protes mereka, tetapi pemilik rumah yang mengendalikan aliran air tidak mau ambil pusing.

Tata panggung realis pertunjukan Setengah Kompleks X
(Sumber: dokumentasi pribadi)

Secara umum, Setengah Komplek X berhasil dalam menghadirkan realitas sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat kota di era kontemporer. Dewasa ini, sebagian dari kita hanya memiliki sedikit pilihan dalam menentukan ruang untuk berdomisili selain tinggal saling berhimpitan di komplek perumahan. Dalam ruang yang terbatas tersebut, sulit untuk menghindari pertentangan di antara sesama penghuni komplek yang disebabkan oleh hal-hal yang sebenarnya dapat dibicarakan untuk memecahkannya. Permasalahan tersebut disebabkan oleh kegagalan komunikasi yang dialami oleh masyarakat kota karena rutinitas dan kurangnya ruang untuk bertemu dan saling mengenal.

Pementasan berdurasi satu setengah jam tersebut dibangun dengan kejutan-kejutan konflik kecil dan dialog-dialog komedi. Di samping konflik utama tentang perebutan aliran air, konflik-konflik kecil yang dimunculkan antara lain suara klakson kendaraan yang memekakkan telinga, pemadaman listrik, dan perdebatan antara pasangan suami istri. Keduanya dimunculkan secara berselingan pada momentum yang tepat, sehingga berhasil menjadikan pertunjukan tersebut terkesan mengalir dengan alami; seperti kehidupan manusia yang dipenuhi dengan letupan permasalahan dan peristiwa-peristiwa yang membuat manusia menertawakan hidupnya sendiri.

Terlepas dari keberhasilan pada penggarapan dramaturgi untuk menghadirkan realitas masyarakat kota, terdapat beberapa hal yang perlu dicatat dari pertunjukan Setengah Kompleks X terkait alur cerita dan konstruksi penokohan. Narasi tentang pertentangan kuasa atas aliran air tidak dipertahankan secara konsisten sampai akhir cerita. Pertunjukan tersebut malah ditutup dengan permasalahan cinta segitiga di antara penghuni komplek yang melibatkan dua penghuni kos laki-laki dan seorang janda. Sementara itu, konflik terkait perebutan aliran air menguap begitu saja dan tidak terselesaikan dengan logis.


Pertunjukan yang kedua, Suara-Suara Gelap: Dari Ruang Dapur oleh Teater Kala menawarkan strategi yang berbeda untuk mengirimkan pesan tentang kebobrokan kehidupan kota, khususnya dalam konteks kota Makassar. Shinta Febriany selaku sutradara Teater Kala menyatakan bahwa pertunjukan tersebut merupakan bagian dari proyek teater berbasis riset yang mengangkat isu-isu di kota Makassar yang direncanakan berjalan selama sepuluh tahun. Data yang digunakan sebagai materi penulisan naskah diambil melalui wawancara terhadap 100 lebih responden perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau pelecehan seksual selama tinggal di Makassar. Data mentah tersebut kemudian digodok dengan sentuhan artistik untuk menciptakan sebuah pertunjukan surealis.

Jika Setengah Komplek-X berupaya membawa latar kompleks perumahan senyata mungkin di atas panggung, Suara-Suara Gelap: Dari Ruang Dapur menyuguhkan unsur-unsur simbolik baik untuk tata panggung maupun keaktoran. Pertunjukan tersebut memanfaatkan panci sebagai properti utama panggung dan tata rias pemain. Sejumlah panci digantung dan dihubungkan satu sama lain dengan kawat sebagai properti dan dipakai oleh lima orang pemain sebagai penutup wajah mereka. Gerak tubuh dan olah vokal menjadi aspek keaktoran utama.

Pemanfaatan properti dan olah gerak tubuh oleh pemain pementasan
Suara-Suara Gelap: Dari Ruang Dapur
(Sumber: dokumentasi pribadi)

Bunyi dan suara menjadi unsur krusial dalam pertunjukan Suara-Suara Gelap: Dari Ruang Dapur. Penonton disuguhi dengan narasi kekerasan dan pelecehan yang dialami perempuan di Kota Makassar melalui pemutaran rekaman penuturan responden dan gejolak batin para korban melalui suara-suara yang mereka buat baik melalui vokal, gerak tubuh, dan pemanfaatan properti utama. Strategi tersebut menghasilkan teknik penceritaan yang lebih menggigit dibandingkan dengan hanya memanfaatkan aspek visual. Pada saat yang sama, media bunyi dan suara berhasil digarap dengan baik untuk menciptakan suasana gelap yang memang menjadi narasi utama yang diangkat dalam pertunjukan tersebut.

Gedung pementasan juga menjadi hal yang perlu untuk dicatat dalam kaitannya dengan proses penyampaian pesan kepada penonton dalam pertunjukan Suara-Suara Gelap: Dari Ruang Dapur. Bertempat di Gedung Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta, ruang tersebut memungkinkan leburnya batas dan jarak antara panggung dengan penonton. Panggung berada dalam jarak yang dekat dan memiliki ketinggian yang sama dengan tempat duduk penonton. Posisi tersebut menjadikan komunikasi menjadi lebih intim dan memungkinkan infiltrasi pesan yang lebih efektif.

Secara umum, Teater Kala dapat dikatakan berhasil dalam mengolah data hasil observasi menjadi sebuah pertunjukan. Kelompok teater tersebut telah menjadikan tubuhnya sebagai sebuah laboratorium artistik untuk menarasikan ulang suara-suara gelap yang diredupkan oleh rutinitas masyarakat dan gemerlap lampu kota. Dan terlepas dari pengambilan data yang terbatas pada publik kota Makassar, fenomena kekerasan dan pelecehan berbasis gender yang diangkat dalam pementasan tersebut dapat ditarik ke konteks masyarakat kota di daerah lain. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa ketimpangan kekuasaan berbasis gender dapat kita temukan hampir di semua kota, termasuk Jakarta, terlepas dari perkembangan kota tersebut sebagai daerah kosmopolit.


Dua pementasan teater berjudul Setengah Komplek-X dan Suara-Suara Gelap: Dari Ruang Dapur yang dihadirkan dalam perhelatan Djakarta Teater Platform telah menjadikan realitas sosial masyarakat kota sebagai inspirasi pengkaryaan. Kota dijadikan sebuah arsip penghasil data yang digali melalui observasi lapangan dan wawancara untuk dinarasikan ulang melalui pementasan di atas panggung dengan sentuhan artistik. Kedua pementasan tersebut menunjukkan bahwa seni pertunjukan dapat menjadi media untuk membongkar narasi-narasi tersembunyi yang tersimpan dalam ruang domestik masyarakat kota dan mengajak para penikmatnya mengkaji atau mempertanyakan ulang sisi lain dari pertumbuhan ekonomi yang pesat serta sibuknya lalu lalang obsesi dan mimpi para penghuni kota.