Judul: Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan
Penulis: Mia Bustam
Tahun: 2008
Penerbit: sp@si
Jumlah Halaman: 273

 

 

 

 

Jatuhnya rezim Orde Baru memungkinkan beberapa kelompok masyarakat merasakan sedikit angin segar untuk sekedar mengekspresikan dan membagi kisah pengalamannya yang telah lama disimpan dan dirahasiakan. Salah satu kelompok tersebut adalah mereka yang pernah menghabiskan usia mereka di dalam penjara sebagai tahanan politik. Masing-masing dari mereka punya kisah sendiri yang khas dan unik satu dengan yang lain. Oleh karena itulah penulisan memoar yang dilakukan oleh para eks-tapol merupakan satu pencapaian dalam ranah kebebasan berekspresi yang perlu dihargai dan diapresiasi.

Secara umum, akan lebih mudah mencari buku-buku atau kisah yang menceritakan pengalaman eks-tapol laki-laki. Sebut saja Hersri Setiawan dengan Memoar Pulau Buru, Tangis Sunyi Seorang Bisu yang disusun oleh Pramoedya Ananta Toer, Kresno Saroso yang menceritakan pengalamannya dalam Dari Salemba ke Pulau Buru: Memoar Seorang Tapol Orde BaruSuparman dengan Sebuah Catatan Tragedi 1965: Dari Pulau Buru sampai ke Mekah, dan lain-lain. Sementara itu, kisah yang ditulis oleh eks-tapol perempuan dalam bentuk memoar tidak terlalu banyak yang diketahui publik.

Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya jumlah tahanan politik laki-laki yang memang lebih banyak. Namun juga dapat dipengaruhi oleh faktor dominasi laki-laki dalam proses kreatif maupun apreasiasi kesusastraan Indonesia yang sebagai imbasnya menempatkan perempuan penulis berada dalam posisi yang cenderung subordinat. Oleh karena itu, beberapa tokoh perempuan penulis Indonesia pun sampai sekarang masih banyak yang tidak diketahui dan dipelajari secara mendalam.

Mia Bustam merupakan salah satu eks-tapol perempuan Orde Baru yang menuliskan pengalamannya selama berada di dalam tahanan, yakni dalam tulisannya Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan. Buku ini merupakan lanjutan dari publikasi sebelumnya oleh Mia yang berjudul Sudjojono dan Aku yang diterbitkan pada tahun 2006. Jika pada buku pertamanya Mia menceritakan pengalamannya sebagai istri Bapak Pelukis Indonesia Modern, Sindoedarsono Soedjojono sampai akhirnya harus bercerai karena menolak dimadu, pada bukunya yang kedua ia membagi kisahnya sebagai tahanan politik rezim Orde Baru.

Karya ini, jika dikaji menggunakan kacamata analisis sastra dengan sudut pandang adiluhung, mungkin tidak akan masuk ke dalam daftar tulisan yang kuat secara sastrawi. Karena jika dibandingkan dengan tulisan dengan tema serupa oleh Pramoedya, pembaca tidak akan menemukan gaya penulisan yang terlalu memukau dalam aspek pemilihan kata, alur, dan juga pesan yang disampaikan. Hal tersebut juga merupakan salah satu hal yang seringkali menjadi bahan kritik terhadap karya sastra yang ditulis perempuan, yakni cenderung tidak memiliki kompleksitas yang tinggi.

Namun terlepas dari metodologi analisis karya sastra tersebut, sosok Mia sendiri yang sebenarnya memiliki latar belakang sebagai pelaku seni, yakni pelukis, perlu ditinjau lebih baik dalam membaca karyanya ini. Dapat dikatakan mungkin pengetahuan Mia tentang perangkat sastra tidaklah sehebat Pram atau Hersri, apalagi H.B. Jassin. Dan barangkali hal tersebut bahkan menjadi nilai lebih dari karya ini, yakni menyajikan pembaca sebuah tulisan yang jujur dan enak untuk diikuti.

Mia menggunakan diksi yang sederhana untuk menceritakan ulang pengalamannya mendekam di penjara selama 13 tahun sampai akhirnya dilepaskan pada 27 Juli 1978. Selama lebih dari satu dekade itu, Mia ‘menjajal’ beberapa penjara, salah satunya kamp tahanan politik perempuan buatan Orba, yakni Plantungan. Ada satu hal yang perlu saya garisbawahi dalam proses pembacaan Dari Kamp ke Kamp, sesuatu yang menurut saya tidak dapat ditemukan pada memoar serupa yang ditulis oleh laki-laki.

Hal tersebut adalah penggambaran tentang female bonding, atau ikatan antara tahanan politik perempuan yang dipenuhi dengan rasa kasih sayang dan saling melindungi. Jika pada memoar lain cenderung ditekankan bagaimana beratnya hukuman yang harus diterima oleh tapol, tulisan Mia dengan gaya penulisan yang sederhana, membawa pembaca berpikir tentang sisi lain dari gelapnya penjara buatan Orde Baru kala itu. Misalnya saat Mia menceritakan pengalaman salah seorang tahanan yang hamil saat ditangkap dan harus melahirkan sebagai seorang pesakitan.

Selain itu, para tahanan politik perempuan juga diceritakan bisa bekerjasama dalam keadaan yang sulit. Seperti menggunakan peralatan seadanya untuk memasak demi memenuhi kebutuhan gizi yang tidak bisa didapatkan semata dari ransum penjara. Juga cerita tentang pohon melati di teras penjara yang mati-matian mereka rawat untuk memberikan sedikit sentuhan manis di tengah kehidupan pahit mereka terpisah dari orang-orang yang dicintai.

Cara penceritaan yang digunakan dalam buku ini membuat pembaca tidak merasa jenuh dalam mengikuti kisah pengalaman Mia. Rasanya seperti membaca buku harian yang ditulis dengan jujur. Namun rupanya, seperti yang telah saya sebutkan di atas, kesederhanaan tersebut menjadi nilai lebih dari buku ini, karena seakan kesederhanaan itu bisa lebih mendekatkan pembaca dengan sosok Mia yang merupakan seorang ibu dari tujuh anak.

Memoar ini tidak memberikan implikasi menghakimi, mengeluh, ataupun mengutuk atas segala hal yang harus dihadapi oleh penulisnya. Dari Kamp ke Kamp memiliki kekuatannya sendiri di antara semua memoar yang pernah ditulis oleh mantan tahanan politik dengan kesederhanaan dan kejujurannya. Maka menghakimi karya ini sebagai tulisan yang ‘tidak kuat’ pun saya pikir bukanlah penilaian yang bijak dalam proses pembacaannya.