Dalam satu minggu ini paling tidak ada dua isu yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Tentu saja isu terkait Mandalika dan minyak goreng, yang masing-masing menjadi ranah kebijakan dari Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif, dan Kementerian Perdagangan. Adapun pembicaraan terkait Stadion Mandalika dan turnamen balap motor kelas dunia yang berlangsung di sana sudah menggaung sejak awal wacana perencanaan konstruksi sampai pelaksanaan turnamen Moto GP yang dimulai pada pekan ini. Sementara itu, isu terkait kelangkaan minyak goreng–seperti yang isu-isu lain terkait ketersediaan sembako–mencuat dengan cepat dan berkembang dengan tidak kalah cepat dan masif, dibumbui dan ditunggangi oleh lapisan-lapisan respons dari berbagai pihak yang sifatnya mendukung maupun menegasikan.

Minyak goreng menjadi langka dan mendadak mahal setelah Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mencabut harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang HET Minyak Goreng Sawit. HET yang berlaku sebelumnya adalah Rp11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp13.500 per liter untuk kemasan sederhana, dan Rp14.000 per liter untuk kemasan premium. 

Dicabutnya aturan tersebut selanjutnya berdampak pada peningkatan HET minyak goreng curah menajdi Rp15.000 per liter. Sementara itu harga minyak kemasan premium diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal itu menjadi peluang bagi distributor untuk menahan pasokan minyak goreng hasil obligasi pasar domestik, yang pada akhirnya berdampak pada ketersediaan dan harga minyak goreng di pasaran. Pada satu kesempatan konferensi pers, Kemendag menyebut tentang “mafia”, atau “orang-orang yang tidak sepatutnya mendapatkan hasil dari minyak ini.  Pada kesempatan yang sama Muhammad Lutfi menyatakan bahwa pihak kementerian kesulitan untuk menghadapi apalagi mengatasi para mafia tersebut. 

Sementara itu, masyarakat tentunya menghadapi situasi yang lebih sulit lagi.  Toko-toko di sekitar rumah sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan sehari-hari, jika pun ada, harganya jauh lebih tinggi, yang bagi beberapa orang berarti tidak membeli sama sekali. Kemudian di tengah situasi yang penuh dan karut marut, muncullah sosok Megawati Soekarnoputri untuk  ikut angkat suara. Dalam sambutan yang ia sampaikan di acara ‘Mencegah Stunting untuk Generasi Emas’ yang digelar Tribunnews, Megawati menyatakan keprihatinannya atas apa yang dialami oleh masyarakat Indonesia, khususnya para ibu. Tetapi keprihatinan itu bukan karena kesulitan untuk memperoleh minyak, melainkan karena ketergantungan ibu-ibu dengan minyak goreng, padahal masih ada cara memasak lain seperti merebus dan mengukus–yang tidak membutuhkan minyak goreng. 

Pernyataan Megawati bisa dibilang semakin meramaikan–jika tidak memperkeruh–perputaran isu yang berkembang di masyarakat. Banyak pihak yang menilai pernyataan Megawati menunjukkan berkurangnya atau bahkan matinya kepekaan tokoh elit. Megawati dipandang gagal dalam menyadari fenomena kelangkaan dan peningkatan harga minyak sebagai permasalahan kesejahteraan masyarakat. Konsekuensinya, yang ia lakukan malah menyalahkan “ibu-ibu” sebagai salah satu kelompok golongan  masyarakat atas ketidakmampuan mereka untuk memasak dengan cara-cara lain yang tidak menggunakan minyak goreng. 

Dalam hal ini, menurut saya pernyataan Megawati sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Diversifikasi cara mengolah makanan tidak kalah pentingnya dengan diversifikasi jenis makanan, salah satunya makanan pokok, yang sampai hari ini memang masih sangat diperlukan untuk menghadirkan sistem produksi dan konsumsi yang lebih berkelanjutan, baik dari segi ekologis maupun sosiologis. Yang bermasalah kemudian adalah bagaimana Megawati memaknai dan menempatkan masyarakat, dan lebih spesifik lagi, ibu-ibu, sebagai penyebab dan pendorong dari ketergantungan massal terhadap minyak kelapa sawit. Pernyataan Megawati seakan-akan mengimplikasikan bahwa pemakaian dalam jumlah besar dan ketergantungan terhadap minyak goreng terjadi sesederhana karena orang-orang yang berduyun-duyun ke toko kelontong, ke pasar, atau ke supermarket untuk membeli minyak goreng dan menggunakannya sebagai salah satu bahan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Sementara itu tentu saja yang terjadi tidak sesederhana itu. Sebagaimana yang ditunjukkan sendiri melalui fenomena kelangkaan dan peningkatan harga minyak, jelas-jelas ada sistem lebih besar yang bermain dalam produksi, distribusi, dan konsumsi minyak goreng, yang jika Kementerian saja mengaku tidak sanggup mengendalikannya secara penuh, apalagi masyarakat Indonesia sebagai suatu negara yang sistem ekonominya cukup terpusat. Oleh karena itu, melemparkan tudingan kepada masyarakat sebagai penyebab dari fenomena komodifikasi dapat dibaca sebagai upaya untuk menutupi kegagalan negara dalam memastikan kesejahteraan rakyat.

Poin kedua yang kemudian perlu ditinjau lebih lanjut adalah konteks momentum Megawati menyampaikan pendapatnya, yakni dalam suatu kegiatan yang terfokus pada kesehatan anak, khususnya stunting. Sekali lagi, hanya menempatkan ibu-ibu sebagai satu-satunya penyebab dari permasalahan kesehatan anak merupakan sebuah upaya untuk membersihkan dosa negara dari ketidakmampuan menjalani tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan warga negaranya, terutama anak-anak, yang selalu digadang-gadangkan sebagai generasi penerus bangsa. Sangat disayangkan pernyataan seperti itu harus keluar dari sosok politisi perempuan yang agaknya memang diundang dalam kegiatan tersebut untuk menyampaikan penguatan kepada para ibu di negeri ini.

Isu kelangkaan dan kenaikan harga minyak bukan perkara berapa banyak ibu di Indonesia yang menggoreng, tetapi berapa orang di tampuk kekuasaan yang berusaha mencuci tangan mereka dengan minyak.