Sejak pertama kali muncul dan menjadi perbincangan hangat pada tahun 1970-an, kelompok yang menolak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum dan kemudian diberi nama golongan putih selalu berada di posisi tengah; tidak kalah juga tidak menang. Banyak yang mendukung, tidak kalah banyak pula yang tidak setuju, dan bahkan mengecam. Bahkan di negara-negara yang katanya menerapkan sistem dan ideologi politik reformasi, mereka sering dianggap sebagai pemberontak.
Arief Budiman merupakan salah satu tokoh yang mendukung kelahiran Orde Baru namun juga mengkritik pemerintahan yang pada perjalanannya berevolusi menjadi rezim otoriter tersebut. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang mencetuskan gerakan politik menentang pemilu 1971. Pemilihan umum pertama semenjak naiknya Orde Baru ke kursi kekuasaan pada 1966 tersebut terbukti menjadi gelanggang pengukuhan supremasi Golongan Karya atau Golkar.
Baca juga: Mengenal Orde Baru: Golkar
Layaknya media massa yang ada saat ini, pada saat itu juga banyak pemberitaan yang membahas gerakan politik ini. Kelompok golongan putih diartikan sebagai mereka yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos bagian putih di luar gambar partai-partai yang tercantum pada kertas suara. Cara tersebut akan membuat pencoblos otomatis menyumbangkan suara yang tidak sah. Oleh karena itu, kelompok tersebut pada awalnya hanya dikhususkan bagi mereka yang ‘aktif’ dan bukan yang tidak memilih karena tidak datang ke TPS dengan alasan apapun.
Bentuk protes yang disampaikan untuk Orde Baru oleh gerakan yang didominasi oleh mahasiswa tersebut juga dilakukan dengan membuat ‘partai kesebelas’. Pada pemilu 1971, jumlah peserta partai politik yang bertarung untuk mendapatkan suara jauh lebih sedikit daripada pemilu pertama tahun 1955. Hal ini karena pemerintah Orde Baru telah melakukan pelarangan terhadap beberapa partai dan membatasi jumlah peserta pemilu menjadi hanya 10 partai.
‘Partai kesebelas’ pun dibentuk sebagai simbol penolakan untuk memberikan dukungan kepada 10 partai yang berkompetisi di pemilu tahun 1971. Bahkan mereka yang tergabung dalam gerakan protes tersebut juga membuat ‘simbol’ partai kesebelas yang berbentuk segi lima seperti lambang beberapa partai, termasuk Golkar. Simbol tersebut berwarna putih dan tidak memiliki logo atau gambar apapun. Pamflet pun turut dipasang oleh para anggota protes di beberapa titik di Jakarta sebagai cara mereka ‘berkampanye’.
Pemerintah Orde Baru yang represif tentu tidak bisa membiarkan begitu saja adanya kelompok seperti itu. Sempat terjadi penangkapan saat para peserta protes berjalan kaki dari gedung Balai Budaya ke Bapilu Golkar. Alasan penangkapan itu menurut Kodim adalah karena mereka telah menyebarkan pamflet. Selain itu, rencana pelaksanaan diskusi tentang golput juga dihentikan dan acara tersebut tidak jadi berlangsung.
Baca juga: Sisi Gelap Pemilihan Umum
Represi pemerintah Orde Baru terhadap kelompok protes dan juga upaya aktif mereka menggenjot suara dukungan untuk Golkar pada akhirnya tetap membuahkan kemenangan pada Pemilu 1971. Bahkan pada Pemilu yang dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya, Golkar terbukti selalu menang telak dibandingkan sejumlah partai lain yang seakan memang hanya diikutsertakan dalam pemilu sebagai topeng demokrasi.
Seperti yang telah disebutkan di atas, keberadaan kelompok ini memang terus ada sampai hari ini, dan posisi mereka tidak pernah benar-benar berubah. Selalu ada yang memutuskan untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai golongan putih (dengan alasan ideologis maupun praktis), dan di saat yang sama juga selalu ada yang berusaha mendepaknya dari gelanggang kehidupan perpolitikan. Dan ceritanya pun juga tidak jauh berbeda sejak dulu, yang pada akhirnya menikmati kekuasaan adalah mereka yang punya uang.