Desember tahun lalu, saya sudah sempat menulis tentang drama elektabilitas politik dalam konteks pemilihan umum, khususnya pemilu presiden 2024. Bukan kebetulan saya kemudian kembali menulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut kali ini. Alasannya tentu saja karena media pemberitaan terus menerus menggempur kita semua dengan kabar tentang koalisi partai politik, nama-nama yang muncul ke permukaan, manuver-manuver politik yang dimainkan tokoh berpengalaman ataupun sosok-sosok baru. Semua itu bertebaran di media-media yang jamak digunakan saat ini untuk memperoleh informasi, menjadi tajuk utama media massa, bertengger di beranda media sosial.

Para pencari berita dan pembuat konten mungkin akan memanfaatkan kesempatan emas ini untuk menggelontorkan redaksional-redaksional yang berkaitan dengan pembahasan tentang pemilu. Dan hampir dapat dipastikan bahwa para politisi pun tidak akan melewatkan momentum ini untuk menggalang suara dukungan sebanyak mungkin. Namun sesungguhnya tidak semua orang merasa senang dengan situasi ini. Di tengah-tengah obrolan di warung kopi atau selipan-selipan perjumpaan singkat, saya mulai menangkap celetukan-celetukan yang bernada cukup sinis: “Pemilu kan masih dua tahun lagi, kenapa sudah ramai sekali di media sosial?” “Sampai malas buka media sosial isinya pemilu terus!” Hal ini, paling tidak dalam kepala saya, menunjukkan paradoks dari gagasan pemilu itu sendiri, yang seringkali digadang-gadangkan sebagai pesta demokrasi, bancakannya para rakyat, momentum penuh harapan untuk membangun Indonesia yang jauh lebih sejahtera. Dan kenyataannya, belum juga pemilu tersebut dilakukan, hak masyarakat umum akan rasa nyaman dalam mengakses informasi di media sudah terganggu.

Lebih jauh berbicara tentang paradoks, agaknya masih basah dalam ingatan kita bagaimana beberapa momentum pemilu, baik di tingkat nasional maupun daerah, telah melahirkan letupan-letupan konflik horizontal, yang beberapa di antaranya merembes sampai periode pascapemilu. Seakan tidak belajar dari kondisi tersebut, kemunculan pemberitaan dan pembahasan tentang pemilu 2024 yang terlalu pagi dapat membuka celah konflik horizontal dengan lebih lebar. Karena pada dasarnya wacana yang digunakan sebagai landasan adalah gagasan perbedaan dan persaingan sehingga masyarakat–baik secara sadar ataupun tidak–terus terpapar dengan wacana tersebut bahkan tiga tahun sebelum perhelatan pemilu diadakan.

Namun, secara fundamental, perbedaan merupakan karakteristik mendasar dari kehidupan sosial masyarakat demokrasi. Bandingkan dengan Jika kita membayangkan sebuah dunia ideal dimana semua orang dapat menyampaikan pendapat dan melakukan tindakan sesuai keinginan dan kepentingannya masing-masing dan tidak ada konflik yang muncul dari hal tersebut, masyarakat demokrasi tidak mampu memberikan jawabannya.

Baca juga: Kecerdasan Demokrasi: 404 Not Found

Dalam pemaknaan umum, ketika muncul kata ‘konflik’, yang terbit dalam kepala kita kemungkinan adalah peristiwa-peristiwa besar yang dirasakan secara nyata oleh indera kita, seperti misalnya kerusuhan yang pecah dalam suatu demonstrasi, atau bahkan perang fisik, jika kita ingin menariknya lebih jauh. Sementara itu, konflik sebenarnya tidak terpaku pada fenomena-fenomena tersebut. Sebagaimana telah dikaji oleh Lewis Coser, ada dua jenis konflik: realistik dan non-realistik. Konflik realistik adalah ketika terdapat satu hal nyata yang sedang dipertaruhkan, contohnya seperti konflik antara buruh dengan pemilik perusahaan dimana hak kesejahteraan pekerja–yang bisa meliputi jam kerja, gaji, jaminan kesehatan dan lain sebagainya–menjadi satu hal yang dipertentangkan.

Sementara itu, konflik non-realistik memiliki fungsi psikososial dan secara substansial tidak mengandung hal-hal tertentu yang menjadi pertaruhan. Jenis konflik yang kedua ini dapat dikatakan semakin sering terjadi di sekitar kita, atau bahkan kita turut ambil bagian di dalamnya, tanpa sepenuhnya menyadari. Salah satu contoh paling dekat dan familiar dari jenis konflik yang kedua adalah trolling yang sekarang dapat dibilang menjadi elemen relasi sosial dalam konteks media sosial. Kita tentunya sering melihat sebuah kiriman di media sosial yang mendapatkan begitu banyak komentar dari para pengguna, yang bisa mencapai ribuan. Perdebatan tersebut seringkali lebih mengarah pada upaya menjatuhkan seseorang atau kelompok tertentu, melontarkan ujaran-ujaran kebencian, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan budaya pengenyahan (cancel culture). Dibandingkan dengan konflik realistik dimana misalnya kelompok buruh berada di posisi melawan pihak pemilik modal dan konflik terbangun (kadang dibangun) sebagai cara untuk menuntut kenaikan gaji atau pemberian jaminan keselamatan kerja, konflik non-realistik, khususnya dalam konteks media sosial, tidak menunjukkan secara jelas kubu yang sedang dalam konfrontasi dan tidak mengandung tuntutan yang spesifik.

Baca juga: Jaringan Media Sosial = Jaringan Impunitas

Sekilas, konflik non-realistik, khususnya yang terjadi di semesta media sosial terkesan sebagai satu hal yang tidak perlu terlalu diambil pusing. Toh tidak ada orang yang terluka atau terbunuh, toh tidak ada fasilitas umum yang dirusak, toh tidak ada penjarahan atau penyerangan. Khususnya dalam konteks media sosial, konflik non-realistik seringkali dipandang sebagai sebuah fenomena yang ringan dan dekat dengan generasi muda, sehingga kurang disadari sebagai sebuah konflik dan potensinya untuk berkembang menjadi hal yang destruktif. Padahal sebenarnya kita tidak bisa meremehkan konflik-konflik yang mungkin terkesan “remeh temeh” tersebut jika dibandingkan dengan pertarungan politik para tokoh-tokoh besar. Meskipun kondisi materialnya kurang memungkinkan di Indonesia untuk terjadi SWAT-ing layaknya yang terjadi di Amerika Serikat–melakukan panggilan palsu ke tim SWAT untuk melakukan penangkapan atas seseorang atau menjarah rumah seseorang–dari fenomena tersebut kita bisa belajar bagaimana konflik non-realistik di semesta media sosial bahkan bisa meminta nyawa manusia.

Dalam hal ini, kita bisa kembali pada pembahasan awal tentang memborbardirnya pemberitaan tentang manuver politik di media sosial, jauh-jauh tahun sebelum pelaksanaan pemilu. Konflik realistik terbentuk di kalangan politisi dan pihak-pihak lain yang berkepentingan karena adanya kebutuhan berkompetisi mendapatkan dukungan publik. Sementara konflik non-realistik terjadi di kalangan ‘masyarakat biasa’ yang terpapar dengan pemberitaan yang datang membanjir secara riuh dan terlalu pagi. Kedua konflik ini pada satu titik tidak bisa dihindari dan akan menjadi karakteristik dari kehidupan masyarakat demokrasi di era digital seperti saat ini, dan pada sisi lain harus bisa dikendalikan dan diorkestrasikan dengan baik untuk menghindari konsekuensi destruktifnya.

Baca juga: Sisi Gelap Pemilihan Umum

Yang terjadi saat ini agaknya kita semua masih belum memiliki kacamata yang fokus dan benteng yang kuat, khususnya dalam menyambut pemilu 2024 dengan segala potensi konfliknya. Para politikus sibuk sendiri dengan manuvernya untuk mendapatkan dukungan, media pemberitaan tidak menawarkan wacana yang kritis, dan masyarakat terseret oleh arus yang menyesatkan.

Menuju 2024, berbagai kemungkinan masih bisa terjadi terkait siapa yang akan memenangkan kursi kekuasaan. Menuju 2024, kita perlu memikirkan kembali konflik seperti apa yang kita butuhkan sehingga demokrasi tidak menggerogoti daging dan tulang belulangnya sendiri.