Pemilihan umum presiden berikutnya baru akan dilakukan pada 2024, tetapi beberapa pekan terakhir kita telah mendapati pemberitaan tentang hasil survei elektabilitas sejumlah tokoh yang diprediksikan akan maju bertarung memperebutkan kursi pemimpin paling tinggi. Nama-nama yang muncul sejauh ini dapat dikatakan bukanlah nama yang asing, meskipun beberapa baru berkiprah di ring politik tingkat daerah. Menyadari bahwa pemilu masih akan dilaksanakan kurang dari tiga tahun ke depan, dalam kepala saya muncul sejumlah pertanyaan terkait apa sebenarnya “elektabilitas” dan mengapa wacana tentang elektabilitas sudah dimunculkan oleh media di penghujung tahun ini.

Sejarah pemilu di Indonesia telah mencatat dinamika wacana dan praktik politik. Pencarian identitas sebagai negara yang menjunjung asas demokrasi telah berlangsung sejak pemerintahan Sukarno, salah satunya ditandai dengan pelaksanaan pemilu ketika Indonesia baru berusia sepuluh tahun sebagai negara republik. Babak pemerintahan selanjutnya telah dibaca mengendarai gagasan Demokrasi Pancasila sebagai kendaraan untuk melanggengkan kepemimpinan otoriter. Kehadiran satu tokoh yang memegang kendali penuh dan tak terbantahkan kekuasaannya sebagai kepala negara tidak memungkinkan adanya pilihan. Keberadaan partai atau pihak lain di samping Golongan Karya dan Soeharto pada saat itu tidak lebih dari justifikasi palsu demi nama demokrasi.

Kejatuhan Orde Baru selanjutnya ditandai dengan Indonesia muncul sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Pemilihan umum diberlakukan untuk menentukan kepala daerah mulai dari wali kota–wakil wali kota, bupati–wakil bupati, gubernur–wakil gubernur, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sampai pimpinan di tingkat nasional yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden–Wakil Presiden. Demokratisasi juga terlihat dari segi partai politik yang berlaga pada pemilu pertama yang dilaksanakan pasca Orde Baru. Setelah pembatasan ketat yang hanya mengizinkan tiga partai untuk berlaga pada pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, jumlah partai yang mengusung kandidatnya pada pemilu 1999 mencapai 48 partai politik.

Baca juga: Kontestasi Penerimaan dan Penolakan Politik Dinasti

Dalam hal ini, melemahnya tekanan dan batasan untuk menentukan pilihan pasca Orde Baru yang dikombinasikan dengan kesempatan lebih besar untuk mendirikan partai politik dan mengadu nasib melalui pemilu memunculkan ruang berkembangnya wacana “elektabilitas”. Istilah tersebut semakin sering digunakan di media massa memasuki tahun politik atau mendekati waktu pelaksanaan pemilu. Kini kita juga dapat dengan mudah mendapati angka-angka persentase dan infografis-infografis hasil survei yang menunjukkan tingkat elektabilitas orang-orang yang bertarung di pemilu melalui kiriman media sosial.

Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Pemilu presiden 2016 di Amerika Serikat juga sampai hari ini masih sering dikaji dalam hal wacana elektabilitas. Karena pada momentum tersebut, Donald Trump yang pada awalnya memiliki tingkat elektabilitas paling rendah dibandingkan calon lain pada akhirnya berhasil memenangkan pemilu dan memegang kendali di kursi kekuasaan paling puncak. Fenomena tersebut membuat sejumlah pengamat dan akademisi di bidang politik untuk mempertanyakan kembali definisi “elektabilitas” yang mungkin sebelumnya dianggap sebagai salah satu indikator kuat akan keberhasilan seorang kandidat untuk memenangkan pemilu.

Arti “elektabilitas” berkenaan dengan kapabilitas seseorang untuk dipilih dalam pemilu dan memiliki kualifikasi untuk mengikuti pemilu. Pada praktik penggunaannya, makna elektabilitas tidak terbatas pada kapabilitas, tetapi hal-hal yang ada pada diri kandidat atau partai politik yang membuatnya dipilih dalam pemilu. Penilaian tersebut sifatnya sangat subjektif, karena setiap individu bisa saja memiliki preferensinya masing-masing terkait kualitas semacam apa yang diharapkan dari seorang pemimpin. Namun sayangnya preferensi subjektif tersebut seringkali dikonstruksikan atau dikomunikasikan layaknya fakta, sebuah indikator penentu hasil pemilihan umum. Publik masyarakat menerima pesan itu, menganggap hasil survei elektabilitas sebagai landasan yang akan sepenuhnya menentukan nasib mereka sebagai warga negara, padahal pertempuran yang sebenarnya belum juga dimulai.

Baca juga: Pemakzulan, Makar atau Demokrasi?

Cara mengomunikasikan dan memahami elektabilitas sebagai fakta alih-alih kecenderungan bukan tidak memiliki konsekuensi. Saya berargumen bahwa kekeliruan itu memperuncing persaingan politik dan meningkatkan kemungkinan dilakukannya tindakan-tindakan curang untuk meraup suara dukungan. Persaingan politik di level atas seringkali menjadi pembahasan di media massa selama beberapa hari jika tidak minggu, menjadi bahan pemberitaan utama yang menyita perhatian masyarakat. Pada beberapa kasus hal tersebut mengesampingkan hal-hal penting lain yang perlu diketahui oleh publik masyarakat, apalagi dalam konteks jejaring komunikasi saat ini yang bergantung pada algoritme. Gunakan tagar #elektabilitas atau #pemilupresiden, cantumkan judul yang bombastis, dan lihat bagaimana pemberitaan itu mengalahkan kabar tentang tindak korupsi yang dilakukan pejabat A.

Sementara di level masyarakat, konflik horizontal yang disebabkan oleh perbedaan pilihan bukanlah hal yang baru. Pemilu presiden 2019 telah mencatat cukup banyak pertengkaran dan keributan yang terjadi di antara anggota masyarakat hanya karena perbedaan pilihan, bahkan ada yang sampai menelan nyawa. Meskipun belum ada penelitian yang menjelaskan secara definitif adanya kausalitas antara hasil survei elektabilitas dengan konflik horizontal yang berkaitan dengan pemilu, kita dapat membayangkan masyarakat yang termakan dengan “fakta palsu” survei elektabilitas dan tidak ragu untuk melakukan apapun untuk mendukung sosok yang dianggapnya pantas menjadi pemimpin.

Baca juga: Sisi Gelap Pemilihan Umum

Begitu pun dengan kecurangan yang dapat terjadi di level daerah sampai nasional. Berbekal hasil survei elektabilitas, klientelisme dilakukan dengan politik uang atau dengan membeli perut masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tingkat elektabilitas dapat memengaruhi pilihan yang diambil kandidat untuk meraup suara, dari kampanye yang lumrah sampai yang dibumbui kecurangan, sebab tentu semua dari mereka ingin memenangkan pemilu.

Jika hasil survei elektabilitas tidak lebih dari sekadar penggambaran kecenderungan dan tidak dapat dianggap sebagai fakta, lalu mengapa kita sudah melihat data-data itu di akhir tahun 2021, sementara pemilu presiden baru akan dilaksanakan pada 2024? Mungkin saja ada yang berpendapat bahwa hal ini akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang iklim politik dan partisipasi publik dalam pemilu, salah satu hal yang akhir-akhir ini juga sering menjadi perbincangan para pengamat politik dalam negeri. Alasan tersebut tidak dapat membenarkan kecenderungan media massa saat ini dalam mengonstruksikan hasil survei elektabilitas sebagai fakta, tiga tahun sebelum pelaksanaan pemilu. Saya pikir terdapat begitu banyak faktor yang mendasari keenganan untuk berpartisipasi dalam apa yang digadang-gadangkan sebagai pesta demokrasi tersebut. Dan menghadirkan data dan grafik preferensi personal bukanlah metode edukasi politik yang tepat untuk menanggulangi permasalaan tersebut (jika itu benar-benar sebuah masalah).

Menjelang pemilu presiden 2024, masih banyak hal yang dapat dan akan terjadi. Membaca dan mempercayai hasil survei elektabilitas sebagai jawaban dari pertanyaan kita akan siapa pemimpin tertinggi selanjutnya dari negeri ini tidak akan menjadikan pemilu lebih LUBER atau JURDIL atau frasa dan akronim apapun yang dijadikan sebagai slogan atau moto oleh pemerintah. Kita perlu membaca setiap fenomena dengan lebih kritis, meretas ilusi-ilusi yang dikonstruksikan sebagai realitas.