Dengan judul yang saya pilih untuk artikel ini, mungkin para pembaca akan membayangkan cuplikan adegan dari film fiksi ilmiah/distopia yang menggambarkan kehancuran peradaban manusia karena robot-robot yang rakus telah menggantikan para teller di bank atau para pekerja lain di bidang keuangan. Sayangnya tulisan ini tidak seimajinatif itu. Sayangnya tulisan ini mungkin akan membuat para pembaca berpikir dua kali untuk menjual “karya seni” di belantara kripto seperti yang telah dilakukan Ghozali.

Karya NFT Beeple yang terjual US$69 juta

Kehebohan Ghozali berhasil meraup miliaran rupiah dari menjual swafoto sebenarnya bukan fenomena baru. Tahun lalu masyarakat di belahan dunia Amerika khususnya sempat dikejutkan dengan terjualnya karya Beeple, seorang seniman digital dari Amerika, dengan harga $69 juta setelah dipamerkan di Christie’s. Dengan harga jual tersebut, karya Beeple menduduki peringkat ketujuh karya seni paling mahal di dunia yang dibuat oleh seniman yang masih hidup.

Hal tersebut tentu direspons secara beragam oleh publik yang sebelumnya sudah disibukkan dengan perdebatan terkait mata uang kripto, di mana beberapa pihak melihatnya sebagai demokratisasi finansial –karena sistem keuangan tidak lagi didefinisikan oleh negara– yang akan menggoncang sistem kapitalis saat ini. Sementara pihak lain membaca mata uang kripto tidak lebih dari arena permainan para teknokrat muda untuk menjadi semakin kaya raya.

Baca juga: UU Cipta Kerja, Pertanda Ekonomi Fasisme

Terjualnya karya Beeple –dan beberapa seniman lain– sebagai NFT kemudian juga dianggap sebagai demokratisasi seni. Kita tentu tidak asing dengan kemelut relasi seniman dengan galeri dan sistem kuratorialnya, bahkan antara seniman “kelas atas” yang karyanya masuk di galeri dan menjadi pencarian para kolektor dengan seniman yang tidak masuk dalam bursa kuratorial galeri mewah. Belum lagi keberjarakan antara “masyarakat umum” dengan “kelompok seniman” yang menyebabkan karya dan wacana seni terasa seperti aktivitas onani berkepanjangan. Fenomena ini telah berlangsung sangat lama dan seakan belum ada cara yang benar-benar jitu untuk menuntaskannya.

Mata uang kripto dan jual beli karya seni digital sebagai NFT kemudian digadang-gadangkan sebagai “sumbangan” dunia teknologi yang dapat menjadi solusi dari persoalan tersebut. Berbicara tentang teknologi, internet pada mulanya memang dirancang sebagai suatu cara untuk meruntuhkan hirarki dan batasan, khususnya dalam produksi dan penyebaran pengetahuan. Kehadiran mata uang kripto dan sistem keuangan yang tidak bergantung pada negara pada satu titik dapat dibaca sebagai tingkatan berikutnya dari upaya demokratisasi tersebut. Namun tidak membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengetahui sisi-sisi negatif dari mata uang kripto baik dari aspek ekonomi sosial maupun lingkungan.

Baca juga: Bencana "Alam" Sudah Punah

Beberapa anggapan bahwa mata uang kripto tidak lebih dari permainan para teknokrat pada beberapa titik mulai terbukti. Kita bisa lihat sendiri siapa nama-nama di balik Bitcoin, Dogecoin, Ethereum, tiga di antara sejumlah mata uang kripto yang paling dikenal dan banyak digunakan saat ini. Argumen bahwa mata uang kripto dapat memberikan kesempatan bagi pebisnis pemula atau generasi muda yang baru membuka start-up memang benar-benar dialami oleh beberapa orang. Namun hal tersebut kemudian tidak berhasil membuktikan asumsi bahwa mata uang kripto mendemokratisasi sistem keuangan, sebab pada akhirnya muncullah kelas borjuis baru, yakni bukan lagi laki-laki tua pemilik modal atau alat produksi perusahaan besar, tetapi generasi muda yang pada awalnya membangun studio kerjanya di garasi dan kemudian berevolusi menjadi direktur perusahaan yang memeras para pekerjanya.

Sama halnya dengan fenomena karya seni NFT, yang sempat digadang-gadangkan akan mampu mendekatkan seni dengan masyarakat yang lebih luas, memberikan kesempatan bagi “seniman kecil” untuk mendapatkan apresiasi –baik dalam bentuk uang maupun pengakuan– yang selama ini sudah direnggut oleh para seniman besar yang sudah punya relasi dekat dengan kurator galeri. Pada kenyataannya, dan hal ini diakui sendiri oleh Beeple, transaksi karya seni sebagai NFT hanya “membuat yang kaya menjadi lebih kaya”. Persaingan antara seniman juga terkesan tidak terselesaikan tetapi hanya sekadar dipindahkan, dari galeri fisik yang dibangun dengan semen dan bata ke galeri digital dalam jaringan internet yang kasat mata.

Belum lagi jika kita membahas tentang autentisitas. Baik, mungkin kita bisa berdebat panjang lebar tentang autentisitas karya seni. Namun kita bisa merujuk pada tulisan Walter Benjamin, “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” untuk membahas lebih lanjut terkait hal ini. Walter telah membaca bagaimana berkembangnya teknologi mekanik, di antaraya kamera dan mesin cetak, pada 1900-an telah mengubah reproduksi karya seni. Reproduksi mekanis telah menghadirkan perubahan yang luar biasa dalam bagaimana karya seni tersebar di kalangan masyarakat yang lebih luas. Contohnya adalah reproduksi foto satu lukisan Mona Lisa yang membuat rupa dari karya tersebut dapat dilihat dan diketahui oleh orang-orang di seluruh dunia tanpa harus datang ke Museum Louvre. Muncullah pertanyaan tentang autentisitas dari karya seni yang telah mengalami reproduksi massal dengan adanya teknologi.

Baca juga: Skenario Ekonomi di Masa Pandemi

Pertanyaan serupa juga mulai dilontarkan dalam bisnis kurasi dan jual beli karya seni NFT, dimana karya yang terjual mahal tersebut sebenarnya juga sudah direproduksi melalui jaringan internet dan dapat diakses dan diunduh secara gratis. Pembahasan tentang autentisitas karya seni semakin kompleks dalam konteks dunia digital saat ini. Jika kita dapat membuktikan autentisitas suatu karya lukisan melalui fisik materialnya, bagaimana dengan karya digital yang bisa dengan mudah melayang-layang di jaringan internet dengan pusaran informasi yang berputar dengan luar biasa cepat? Dan jika kita berpendapat bahwa seniman kontemporer saat ini tidak lagi terlalu memusingkan tentang autentisitas dan hak cipta, jangan lupa bahwa Banksy, yang digadang-gadangkan sebagai seniman pendobrak politik hak cipta, baru-baru ini juga mengangkat hal tersebut di meja hijau.

Lalu akan ke mana arahnya karya seni NFT ini? Pertanyaan itu lebih sulit untuk dijawab. Jika teknologi kamera yang mulai berkembang dari 1900-an sampai sekarang masih terus berkembang menjadi bentuk-bentuk lain (yang semakin mendukung pengaburan realitas), adalah hal yang sulit hari ini untuk membayangkan sejauh mana inovasi di abad ke-21 akan bergerak. Namun jika keberuntungan yang dialami Ghozali kemudian menggerakkan sejumlah pihak untuk menggalakkan mata uang kripto –seperti yang dilakukan Ridwan Kamil saat ini– tanpa pertimbangan yang kuat dan matang, distopia demokratisasi bukanlah hal yang terlalu jauh untuk terjadi.