Setelah mengalami penundaan selama satu tahun karena pandemi Covid-19, Olimpiade Tokyo 2020 seakan menjadi angin penyemangat bagi warga dunia. Paling tidak kecemasan dan ketakutan yang dirasakan masyarakat dalam taraf berbeda-beda tiap individunya bisa sedikit reda dengan berita-berita keberhasilan dan kemenangan. Namun, di antara gempita di tengah nestapa, ada juga hal lain yang perlu ditelusuri lebih lanjut, yakni terkait partisipasi perempuan dalam turnamen olahraga dan isu gender yang meliputinya.

Partisipasi perempuan dalam ajang Olimpiade memiliki sejarah yang cukup panjang. Saat pertama kali diadakan di Athena pada 1896, pendiri Komite Internasional Olimpiade, Baron Pierre de Coubertin melarang atlet perempuan untuk berpartisipasi. Empat tahun kemudian, pelaksanaan Olimpiade di Prancis menandai pelibatan perempuan untuk pertama kalinya. Sejumlah 22 atlet perempuan mengikuti lima cabang turnamen yang khusus dirancang bagi perempuan. Sementara itu, terdapat lebih dari seribu atlet laki-laki yang bertarung pada Olimpiade Paris 1990. 

Pelaksanaan Olimpiade Tokyo 2020 mencatat rekor baru sebagai Olimpiade dengan persentase atlet perempuan mencapai 49%. Jumlah tersebut lebih besar dari partisipasi atlet perempuan pada Olimpiade Rio 2015 sebesar 45%, Olimpiade Los Angeles 1984 sebesar 23%, dan pelaksanaan olimpiade Tokyo yang sebelumnya pada 1964 dengan partisipasi atlet perempuan sebesar 13.2%.

Panitia Olimpiade Tokyo 2020 membuka lebih banyak cabang olahraga untuk diikuti oleh atlet perempuan sehingga meningkatkan partisipasi mereka dalam turnamen tersebut. Dibandingkan semua perhelatan sebelumnya, Olimpiade Tokyo 2020 membuka lebih banyak nomor ganda atau kelompok yang mengharuskan partisipasi seimbang antara atlet perempuan dan laki-laki. Pelaksanaan berikutnya pada 2024 di Paris pun diperkirakan akan mencetak rekor baru terkait keterseimbangan porsi dan partisipasi gender.

Baca juga: Perempuan di Kumparan Pendidikan–Agama–Politik

Namun, terlepas dari capaian positif pada perhelatan Olimpiade Tokyo 2020, pemberitaan terkait penyelenggaraan turnamen olahraga internasional akhir-akhir ini diwarnai dengan kabar dan pengakuan atlet perempuan yang mengalami diskriminasi berbasis gender. Pengalaman mereka sebagian besar berkaitan pilhan pakaian yang mereka kenakan saat bertanding. 

Pada turnamen Euro 2021, tim nasional voli pantai putri dari Swedia diganjar denda oleh European Handball Association Disciplinary Commission karena menolak memakai bikini. Tim nasional Swedia dinyatakan telah melanggar ketentuan terkait seragam atlet voli perempuan karena mereka mengenakan celana pendek ketat saat pertandingan melawan tim nasional Spanyol akhir Juli lalu. Sementara itu, atlet laki-laki diperbolehkan untuk mengenakan celana pendek dengan panjang maksimal 10 cm dari lutut dan tidak gombrong. 

Masih di bulan Juli, Olivia Breen, seorang atlet paralimpik cabang lari, mengaku tidak akan mengubah caranya berpakaian setelah mendapatkan peringatan dari panitia English Championships. Ia mendapatkan peringatan karena celana yang dikenakannya dianggap terlalu pendek dan terbuka. Padahal Olivia telah mengenakan model celana yang sama sejak ia pertama kali memulai kariernya sebagai pelari cepat jarak pendek. 

Perlawanan atas diskriminasi yang dialami atlet perempuan kemudian digaungkan oleh tim nasional senam dari Jerman pada perhelatan Olimpiade Tokyo 2020. Seragam yang biasanya dikenakan oleh atlet senam perempuan adalah pakaian berjenis leotard, tapi tim nasional Jerman memilih untuk memakai pakaian ketat yang menutupi seluruh badan mereka saat bertanding. Menurut mereka, atlet perempuan punya hak untuk memilih jenis pakaian yang digunakannya untuk bertanding berdasarkan pertimbangan rasa nyaman.


Fenomena yang dialami tim nasional voli Jerman dan Olivia Breen sebenarnya bukanlah hal baru. Diskriminasi berbasis gender yang berkenaan dengan pilihan pakaian cukup sering dialami atlet perempuan yang menggeluti cabang olahraga lain di samping voli, lari, dan senam, seperti renang, tinju, dan seluncur es. Aturan terkait seragam tanding biasanya sudah diatur oleh federasi cabang olahraga masing-masing, yang sampai hari ini masih didominasi oleh laki-laki. Dibandingkan dengan aturan seragam atlet laki-laki yang cenderung lebih bebas, aturan seragam atlet perempuan cenderung berkenaan dengan bagaimana mereka “dilihat”, bukan semata berdasarkan pertimbangan keamanan dan kenyamanan.

Baca juga: Sikap Positif terhadap Tubuh Bukan Budaya Kita

Hal tersebut sejalan dengan pemberitaan atlet perempuan di media massa populer saat ini yang seringkali masih menyertakan pembahasan tentang karakteristik-karakteristik fisik, seperti misalnya “atlet muda cantik”. Sementara itu, pemberitaan terkait atlet laki-laki secara umum bersifat lebih profesional dan terfokus pada pembahasan tentang capaian mereka sebagai seorang olahragawan. Atlet perempuan dituntut berpenampilan yang memuaskan nilai-nilai heteronormativitas yang secara umum masih mendominasi dan dibenarkan sampai hari ini.

Namun, kasus pemberian hukuman denda kepada tim nasional voli pantai Swedia mengimplikasikan kecenderungan penilaian standar ganda atas pakaian dan tubuh atlet perempuan. Pusaran standar ganda atas tubuh sebenarnya juga sudah lama menjadi bagian dari kehidupan perempuan, salah satunya bagaimana puting payudara dimaknai secara biologis sebagai organ yang dimiliki oleh mamalia dan pada saat yang sama juga dikonstruksikan dan dimaknai sebagai objek seksual.

Pencapaian rekor partisipasi atlet perempuan pada perhelatan Olimpiade Tokyo 2020 sekilas terasa seperti angin segar. Namun, tidak seperti aturan dalam pertandingan olahraga dimana kemenangan ditentukan berdasarkan nilai dan agregat skor, peningkatan jumlah partisipasi perempuan dalam turnamen olahraga bergengsi tidak selalu berarti kemenangan.