Di sela-sela narasi sosiohistoris Indonesia yang cenderung mengagung-agungkan peran militer sebagai pembela Pancasila dan penjaga kesatuan negara, bukan hal yang aneh jika kita kemudian menemukan wacana tentang pemuda. Narasi sejarah tentang kemerdekaan Indonesia menempatkan pemuda sebagai golongan yang mendorong Sukarno –yang pada saat itu sudah masuk golongan tua– untuk mendeklarasikan kedaulatan negara yang sudah diperkosa asing selama ratusan tahun. Sukarno kemudian juga dikenal dengan kalimat-kalimat dalam pidatonya yang mengakui pentingnya peran pemuda dalam pembangunan bangsa dan negara. 

Masih basah juga dalam ingatan masyarakat Indonesia bagaimana mahasiswa memainkan peran penting dalam menggulingkan rezim Orde Baru yang telah merampas kebebasan dan menggelorakan kejahatan kemanusiaan atas rakyatnya sendiri. Sampai hari ini pun gagasan tentang generasi muda sebagai pemegang estafet masa depan Indonesia sampai masih terus menggema dan menjadi narasi yang terus dipercaya oleh masyarakat umum. Bahkan kehadiran pemuda sering dipertanyakan dan dicari-cari ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan atau aturan yang dianggap tidak menguntungkan atau bahkan mengorbankan masyarakat, menandakan harapan akan peran pemuda sebagai jembatan antara rakyat dengan pemerintah. 

Pada saat yang sama, mendampingi glorifikasi atas peran pemuda sebagai penentu nasib bangsa negara, hadir narasi-narasi tentang karakterisasi generasi. Kita mengenal istilah-istilah seperti generasi baby boomers, generasi milenial, generasi Z, sampai generasi Alpha, yang pengelompokannya ditentukan berdasarkan tahun kelahiran, tetapi juga diwarnai oleh penilaian-penilaian subjektif terkait masing-masing kelompok generasi tersebut. Penilaian tersebut pada gilirannya memunculkan konsep-konsep sampingan seperti snowflake generation, strawberry generation, dan lain-lain yang mengarah pada ejekan terhadap generasi kelahiran pasca 1980-an dan 1990-an yang dianggap “lemah” dibandingkan generasi sebelumnya. Sementara itu, generasi baby boomers juga tidak kalah sering dianggap sebagai generasi yang menyebabkan kerusakan pada dunia karena pandangan-pandangan patriarki dan rasis yang menjalar di antara mereka. 

Saling penilaian (baca: penyerangan) lintas generasi seperti yang terjadi saat ini bukanlah hal yang baru. Seperti yang sempat disinggung di awal tulisan ini, narasi tentang kemerdekaan Indonesia sering digambarkan dalam konstruksi semangat dan spontanitas generasi muda versus kehati-hatian generasi tua. Dan saat ini, di balik jendela-jendela kantor, tirai panggung, atau — sering terdengar keluhan-keluhan tentang ageism atau hal-hal lain terkait tidak terbentuknya jembatan antara si tua dengan si muda. Di tengah segala ambivalensi cara pandang dan penilaian terhadap generasi muda, muncullah apa yang disebut dengan flex culture, atau budaya memamerkan kekayaan di media sosial, yang mulai didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z. 

Dalam hal ini, saya menyadari bahwa bukanlah hal yang bijak untuk sekonyong-konyong menyalahkan media digital serta generasi milenial dan generasi Z atas fenomena flex culture, karena keinginan untuk tampil sebagai sosok yang berhasil dan dikagumi –atau bahkan dipuja– karena keberhasilan yang dicapai bukanlah suatu hal yang baru. Namun kita perlu menyadari bagaimana industrialisasi dan konsumerisme mendorong budaya ini lebih lanjut, yang kemudian ditambah dengan kehadiran media sosial yang mengamplifikasi dan menormalisasi penilaian kesuksesan berdasarkan representasi benda-benda yang mewah dan bukan merupakan konsumsi masyarakat pada umumnya. 

“Masyarakat pada umumnya” menjadi frasa lain yang menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam hal ini. Untuk memahami bahwa ada representasi media sosial dan realitas masyarakat pada umumnya, dibutuhkan jarak yang membuat kita tersadar bahwa keduanya tidak selalu sejalan, atau bahkan terkadang berlawanan dan bertubrukan. Sementara itu, semakin ke sini, batas atau jarak yang memisahkan keduanya semakin tipis dan terus berkurang dikarenakan intensnya penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan media sosial telah mendapatkan panggungnya sebagai penentu kecakapan sosial manusia abad ke-21 dengan semua kategori metriksnya. Pada satu titik, metriks-metriks tersebut dibenarkan sebagai cara untuk membaca kualitas relasi sosial, dan apa yang muncul di beranda media sosial pun dipahami sebagai realitas alih-alih representasi. 

Kesulitan untuk membedakan dua ruang ini sekarang agaknya memang menjadi misi dari perusahaan penyedia media sosial, sebut saja Metaverse dengan segala hal yang ada dalam semestanya. Sebagai konsekuensinya, pengguna media sosial mengalami desentitasi atas apa yang tadi saya sebut dengan “masyarakat pada umumnya”. Khususnya bagi generasi Z yang mengalami paparan terhadap media sosial sejak usia masih sangat muda, sehingga mereka tidak mendapatkan atau paling tidak hanya mendapatkan sedikit kesempatan untuk mengetahui dunia di luar layar telepon pintar mereka. Hal tersebut lebih lanjut diperparah dengan kenyataan bahwa pelaku flex culture semakin didominasi oleh generasi muda juga, menguatkan kepercayaan bahwa keberhasilan di usia muda didefinisikan melalui kepemilikan benda-benda yang sulit dimiliki masyarakat umum. 

Lebih lanjut kemudian ada juga pepatah fake it until you make it yang berkembang di kalangan anak-anak muda, yang menjustifikasi hadirnya kepalsuan di ranah media sosial. Hal tersebut sudah menjadi salah satu strategi yang umum dimanfaatkan oleh para pembuat konten di media sosial. Menariknya, meskipun sudah banyak yang membuka bagaimana kepalsuan tersebut bermain di media sosial, masih banyak juga yang memercayai representasi tersebut sebagai realitas yang patut untuk dipercaya, bahkan menjadi tujuan yang perlu dicapai dengan cara apapun. Hal ini akan mengarah pada pemikiran dan tindakan-tindakan lain yang bisa jauh lebih merugikan, salah satunya tindakan korupsi. (Jangan lupa bahwa beberapa bulan lalu kita sempat dibuat heboh dengan adanya kasus “koruptor termuda”) 

Pada titik inilah kita dapat kembali apa yang menjadi pembahasan di awal tulisan ini, yakni terkait peran pemuda sebagai penerus harapan negara dan bangsa. Saya membayangkan para pemuda yang digadang-gadangkan akan membawa Indonesia ke babak berikutnya terjebak dalam kegamangan membedakan antara representasi indah yang menyala di layar telepon pintar mereka dengan realitas yang benar-benar dihadapi oleh manusia Indonesia di belakang rumah mereka; disibukkan dengan keinginan untuk memperkaya diri sendiri sebagai bekal untuk menciptakan dan menggelorakan babak kepalsuan berikutnya; terlupa dengan tanggung jawab kolektif yang menggelayut di bahunya.