Meskipun sudah banyak isu lain yang bermunculan belakangan ini, mulai dari kelangkaan minyak goreng, praktik pawang hujan di perlombaan balap MotoGP Mandalika, sampai dipecatnya Terawan dari Ikatan Dokter Indonesia, isu tentang Jokowi tiga periode masih saja terus diperbincangkan (baca: diperdebatkan). Dilansir oleh sejumlah pemberitaan media, usulan Jokowi tiga periode muncul pertama kali pada acara Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Daerah Seluruh Indonesia (APDESI) yang dilaksanakan pada Maret lalu. Salah satu perwakilan daerah diberitakan meneriakkan “Jokowi 3 Periode!” disusul dengan pertanyaan yang mengarah pada ajakan persetujuan kepada peserta kegiatan yang lain. Sampai akhirnya kabar tersebut menjadi konsumsi publik dan menuai beragam respons.
Sejumlah organisasi masyarakat menyatakan dukungannya atas usulan tersebut dengan berbagai alasan yang membawa-bawa nama masyarakat tapi pada dasarnya berat di politis jua. Sebuah strategi laten yang akan terus dimanfaatkan selama politik dukungan masih berlaku di dunia ini. Pada saat yang sama, muncul sejumlah respons penolakan terhadap usulan tersebut, yang menurut saya jauh lebih menarik daripada dukungan-dukungan penuh tabir kepentingan itu.
Salah satu respons penolakan masyarakat dilandasi oleh alasan kepatuhan dan ketaatan terhadap konstitusi negara. Argumen sama yang digunakan Jokowi pada pernyataan publiknya (31/3) bahwa ia menolak duduk di kursi presiden untuk periode yang ketiga. “Ketaatan terhadap konstitusi” bagi saya adalah sebuah gagasan yang menarik, bukan semata sebagai tindakan yang semerta-merta harus dilakukan karena kita adalah warga negara Indonesia yang baik dan tunduk pada negara.
Baca juga: Meretas (Omong Kosong) Elektabilitas
Hampir bisa dipastikan bahwa yang dimaksud dengan ‘konstitusi’ dalam pernyataan publik Jokowi maupun penolakan masyarakat atas usulan Jokowi tiga periode adalah Undang-undang Dasar 1945 yang mengandung 16 bab berisi 37 pasal, serta tiga pasal Aturan Peralihan, dan dua pasal Aturan Tambahan. Secara khusus, aturan terkait ruang lingkup peran dan tugas presiden diatur di Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah, dan Pasal 7 mencantumkan aturan terkait lama jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 7 UUD 1945 berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Beberapa pihak yang menyatakan penolakan juga menggunakan landasan historis, yaitu pengalaman Indonesia dipimpin oleh satu orang presiden selama enam periode, yaitu Soeharto di masa Orde Baru. Pada saat itu, memang Pasal 7 UUD 1945 tidak membatasi berapa lama presiden menjabat:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Tidak disebutkannya secara jelas pembatasan masa jabatan presiden itulah yang ditengarai menjadi kesempatan bagi Soeharto untuk bisa terus duduk di puncak kekuasaan selama lebih dari tiga puluh tahun. Jatuhnya Orde Baru kemudian ditandai dengan sejumlah perubahan, termasuk pada aspek konstitusional, yang dilakukan melalui amandemen yang dilakukan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Momentum tersebut juga menandai kembalinya peran utama dari UUD 1945 sebagai konstitusi negara, dimana jalannya pemerintahan dan penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan tidak boleh melanggar atau menyalahi UUD 1945.
Kembali pada usulan Jokowi tiga periode dengan mengingat sejarah yang pernah dilakoni oleh masyarakat Indonesia, menurut saya usulan tersebut perlu dibaca tidak hanya terbatas pada “ketaatan terhadap konstitusi”, tetapi juga dengan mempertimbangkan implikasi dari Pasal 7 UUD 1945 beserta semua perubahannya. Masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru sejatinya sama-sama memiliki kecenderungan pemusatan kekuasaan oleh kepala negara, dimana Sukarno didapuk sebagai Presiden Seumur Hidup dan Soeharto dengan segala strateginya untuk memenangkan pemilihan umum presiden.
Amandemen dari Pasal 7 UUD 1945 sejatinya merupakan upaya untuk menghindarkan praktik pemusatan kekuasaan terulang kembali, karena bangsa Indonesia sudah belajar dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Masyarakat Indonesia telah mengalami rasanya hidup di bawah pemerintahan yang kebijakan-kebijakannya membatasi dan mematikan hak bicara, yang memberikan ruang selapang-lapangnya bagi militer untuk menguasai berbagai lini kehidupan, yang presidennya membangun kamp-kamp untuk memenjarakan rakyatnya sendiri.
Oleh karena itu, menyikapi usulan presiden tiga periode hari ini hanya dalam kacamata “ketaatan konstitusi” akan menjadi tidak ada bedanya dengan orang yang memakai helm saat mengendarai motor atau berhenti saat lampu merah menyala karena takut ditilang polisi, atau seseorang yang membantu orang lain dengan ayat kitab suci tentang perhitungan pahala dirapal dalam kepalanya.
Baca juga: Keppres 2/2022 dan Implikasi Sosial Produk Hukum
Suatu dokumen aturan atau undang-undang tidak akan mampu menyatakan atau menjelaskan semuanya secara eksplisit, terutama hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang lahirnya aturan tersebut. Namun ia semestinya tidak menjadi entitas mati yang mendapatkan kesaktiannya secara sekonyong-konyong dan tidak tergoyahkan. Amandemen itu sendiri bahkan menunjukkan bahwa konstitusi sekali pun memiliki ruang interpretasi dan negosiasi. Itulah yang mungkin belum benar-benar terasa sampai saat ini demokrasi hampir berumur seperempat abad, yakni bahwa bernegara adalah proses belajar, bukan (lagi-lagi) hanya mengangguk-angguk patuh kepada atasan atau bahkan aturan, tanpa memahami logika mengapa suatu instruksi harus diikuti.