Setelah sempat menjadi perbincangan hangat publik karena ditayangkan dan durasinya dipotong tanpa seizin dari pembuatnya oleh Kemdikbud, film dokumenter pendek Sejauh Kumelangkah merambah ruang-ruang digital sebagai media penyebarannya. Tulisan ini sebenarnya harus diakui lebih merupakan refleksi pribadi atas pengalaman mengikuti pemutaran film daring untuk pertama kalinya pada Rabu (27/01) lalu, alih-alih kajian film Sejauh Kumelangkah secara analitik sebagai teks. Ini adalah tentang keberadaan dan ketiadaan, keramaian dan kesunyian, kemampuan dan ketidakberdayaan, juga tabrakan-tabrakan lain yang saya rasakan dari sebuah karya film pendek.

Film yang sempat memenangkan Piala Citra 2019 untuk Kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik tersebut menghadirkan wacana tentang inklusivitas disabilitas melalui penceritaan kisah persahabatan antara dua anak perempuan remaja penyandang tuna netra. Latar tempat memainkan peran penting sebagai penggerak narasi film tersebut, khususnya dalam menampilkan kontras situasi lingkungan masyarakat dan pendidikan di Indonesia dan di Amerika Serikat. Sebagai sebuah entitas karya, Sejauh Kumelangkah dapat dikatakan telah tuntas sebagai sebuah film kampanye. Karya tersebut dihasilkan dari pengetahuan dan kesadaran seorang pencipta–dalam hal ini sutradara–terkait strategi pengkaryaan yang tepat untuk menghadirkan gagasan yang ingin dicurahkan dari kepalanya dan menjadikannya sebagai bahan bacaan publik.

Bagi orang-orang yang bukan penyandang disabilitas, akses terhadap materi audiovisual yang bertebaran di sekitarnya, mulai dari film, video, sampai ke bentuk tayangan-tayangan lainnya tidaklah menjadi soal. Soal yang saya maksud dalam hal ini tentu berkaitan dengan kemampuan material fisiologis dan bukan material historis. Perkembangan teknologi dan industri media mengamplifikasi kemudahan tersebut, dengan pengembangan fitur kamera di telepon genggam (yang pada esensi dasarnya merupakan sarana pendukung komunikasi jarak jauh), dan ruang-ruang di jagat maya untuk menampung jenis materi tersebut. Kehadiran hal-hal tersebut pun dirayakan dengan euforia–lihatlah bagaimana kita saat ini mengenal istilah-istilah seperti vlogger, YouTuber, video content creator, dan semacamnya.

Keriuhan dan percepatan tersebut menyisakan suatu ruang sepi yang jarang ditengok, yang didiami oleh para penyandang disabilitas tuna netra dan tuna rungu. Sulit bagi mereka untuk turut dalam keriuhan tersebut karena tidak banyak yang mengizinkan mereka untuk sekedar hadir di tengah-tengahnya. Dalam hal ini, Ucu Agustin sebagai sutradara Sejauh Kumelangkah berupaya menyisipkan euforia perayaan atas karya seni audio visual kepada penyandang disabilitas tuna netra dan tuna tungu dengan menyediakan deskripsi audio (audio description–AD) dan takarir tertutup (closed caption–CC).

Penggunaan istilah closed caption untuk teks yang terdapat dalam film Sejauh Kumelangkah sebenarnya tidak terlalu tepat. Menurut teorinya, terdapat dua jenis takarir, yakni takarir terbuka dan takarir tertutup. Perbedaan di antara keduanya terdapat pada teknis bagaimana teks bantuan dimunculkan, yakni jika takarir terbuka merupakan teks yang disematkan sebagai bagian dari suatu tampilan sehingga akan selalu dapat ditemukan keberadaannya oleh penonton, takarir tertutup menampilkan teks hanya jika fitur tersebut diakses atau diaktifkan oleh penonton. Dan film yang diputar sebagai rangkaian kegiatan Kampanye Dampak tersebut sebenarnya secara teknis menggunakan open caption, karena tidak ada pilihan bagi penonton untuk mengakses takarir atau tidak, dan takarir tersebut akan muncul di film tanpa ada proses aktivasi.

Teknik tampilan teks takarir tersebut kemudian saya baca memiliki keterkaitan dengan fungsi karya tersebut sebagai film kampanye gagasan inklusivitas. Deskripsi audio dan takarir sebenarnya merupakan fasilitas baru dalam “versi aksesibel” dari film tersebut yang dirilis pada November 2020 setelah pertama kali diluncurkan pada September 2019 di Indonesia Forum Film New York, Amerika Serikat. Kerja sama yang terjalin dengan Minikino pada akhirnya berhasil mewujudkan keinginan sutradara untuk menghadirkan karyanya sebagai film inklusi–cita-cita yang sebenarnya sudah ada sejak film tersebut diproduksi.

Takarir terbuka dan deskripsi audio memiliki fungsi lebih dari memfasilitasi penonton tuna rungu dan tuna netra, karena penonton yang bukan penyandang disabilitas pun dipaksa untuk menonton film versi aksesibel tersebut. Penonton, terlepas apakah dia seorang penyandang disabilitas atau bukan, tidak punya jalan lain yang bisa dijadikan pelarian untuk menghindari fasilitas deskripsi audio dan takarir tersebut. Penonton yang notabene bukan penyandang disabilitas penglihatan dan pendengaran dipaksa untuk merasakan kesunyian dan kegelapan, tapi pada saat yang sama juga keriuhan dan kegemerlapan dengan adanya deskripsi audio dan takarir pada film tersebut, karena kehadirannya bertumpang tindih dengan dialog dan tampilan gambar.

Pemaksaan tersebut bahkan sempat membawa saya pada suatu percobaan, yakni menutup mata dan mematikan audio saat menonton film tersebut. Saya kemudian menilai percobaan tersebut tidak berhasil secara fisiologis, karena bagaimana pun saya telah memiliki imaji dan abstraksi dalam kepala yang mengarahkan pada pembayangan akan banyak hal jika semisal saya hanya bisa mendengar tanpa melihat, atau hanya bisa melihat tanpa mendengar. Semisal ketika saya memejamkan mata saat adegan yang menampilkan lapangan basket dalam ruangan di sebuah sekolah di Amerika Serikat dan hanya bergantung pada deskripsi audio, dengan mudah saya bisa membayangkan lantai kayu mengkilap dan kerangka tiang ring basket dikarenakan pengalaman visual yang saya miliki. Pada saat yang sama, eksperimen tersebut menghadirkan sensasi mengganggu dalam benak.

Deskripsi audio dan takarir terbuka dalam film tersebut mengusik nilai-nilai abilitas yang selama ini agaknya dianggap wajar dan memang sudah semestinya ada, menghadapkan penonton bukan penyandang disabilitas dengan kenyataan yang tidak pernah dialami sebelumnya, atau bahkan sekadar dibayangkan. Dan pada kenyataannya, untuk sejumlah hal, manusia terkadang memang perlu mengalami tabrakan-tabrakan semacam itu untuk sampai pada suatu kesadaran dan pemahaman. Keriuhan dan gemerlapan yang terbit karena kehadiran deskripsi audio dan takarir terbuka dalam Sejauh Kumelangkah tidak sama dengan ramai-ramai perayaan atas kebernasan dunia masa kini dengan materi audio visual yang bertebaran di sekitar kita, karena mampu menarik penonton ke dalam ruang-ruang sepi yang jarang diintip dan ditelusuri, dan lebih jauh lagi memunculkan tanya yang paling mengganggu: sejauh mana kita melangkah untuk membuat diri kita sendiri sadar tentang keberadaan dan kehidupan mereka yang dianggap liyan?