Judul: Rosa Luxemburg: Sosialisme dan Demokrasi (Buku 1)
Penulis: Dede Mulyanto
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: 2019

Dibandingkan dengan tokoh-tokoh pemikir sosialis Eropa yang lain seperti Fourier, Bakunin, Marx dan Engels, nama Rosa Luxemburg memang jarang disebut-sebut, terutama dalam kalangan ilmuwan dan penulis di Indonesia. Seperti yang dicatat sendiri oleh penulis berdasarkan penuturan Ibarurri Soedarsono, belum ada risalah pemikiran Rosa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan mencantumkan permasalahan tersebut di catatan pembuka buku, penulis seakan menjanjikan suatu hal yang besar kepada pembaca tentang karyanya ini sebagai pengisi kekosongan tersebut.

Karya ini menjabarkan data dengan metode yang umum digunakan pada buku-buku pemaparan pemikiran tokoh, yakni dengan model riwayat. Pemikiran-pemikiran dimunculkan dan dibahas dengan didahului atau dibarengi dengan latar belakang linimasa sang tokoh. Metode tersebut tepat untuk digunakan pada buku yang memiliki tujuan untuk mengenalkan tokoh yang menjadi subjek bahasan utama dari segi biografis dan pemikiran. Dan metode tersebut digunakan dengan cukup baik dalam karya ini yang sejatinya ingin membuat pembaca Indonesia mengenal lebih dekat seorang Rosa Luxemburg mengingat kurangnya literatur tentangnya.

Rosa Luxemburg: Sosialisme dan Demokrasi adalah buku yang sesuai untuk pembaca dengan pemahaman perkembangan teori sosialisme tingkat menengah. Hal tersebut disebabkan oleh paling tidak tiga alasan. Yang pertama, buku ini tidak menggunakan garis penjabaran linear yang hanya terfokus pada sosok dan pemikiran Rosa. Pembaca yang semata-mata hanya ingin mencari tahu tentang Rosa harus tahan mengikuti penjabaran cukup panjang dan mendalam tentang tokoh-tokoh sosialis lain yang hidup di masa perjuangan Rosa. Sebagai contoh adalah Eduard Bernstein, salah seorang anggota senior Partai Demokrasi Sosial Jerman (Sozialdemokratische Partei Deutschlands atau SPD) yang menganggap teori keruntuhan kapitalisme Marx keliru. Buku ini menjelaskan secara rinci dan panjang lebar pandangan-pandangan revisionis dan oportunis Bernstein yang kemudian baru diikuti dengan pertentangannya dengan Rosa.

Kemudian alasan kedua berkenaan dengan pemaparan sejarah perkembangan sosialisme demokrasi di Eropa dalam buku ini. Buku ini tidak menyediakan glosarium istilah dan singkatan dalam bagian khusus. Selain itu, pembaca juga tidak akan menemukan penjabaran mendalam terkait konsep-konsep mendasar Marxisme dan sosialisme atau organisasi-organisasi sosialis yang muncul dan berkembang sebelum atau selama linimasa perjuangan Rosa. Catatan kaki yang tersedia hanya mencantumkan rujukan literatur yang digunakan dalam buku ini. Oleh karena itu, buku ini kurang sesuai untuk dibaca oleh pembaca awam atau pemula yang belum memiliki pemahaman mendalam dan luas terkait perkembangan teori dan organisasi sosialis di Eropa. Terlepas dari hal tersebut, penulis sepertinya berupaya untuk membantu pembacanya kembali ke jalur utama dengan memberikan satu bagian khusus berisi rangkuman riwayat pemikiran Rosa yang sebelumnya telah dijabarkan dengan melibatkan konteks sosial yang cukup luas. Pencantuman sumber literatur yang cermat pada bagian catatan kaki juga dapat membantu pembaca yang ingin mencari tahu lebih lanjut terkait isu pokok dari buku ini, yakni teori sosialisme demokratis yang diperjuangkan oleh Rosa.

Hal lain yang menjadikan buku ini lebih tepat untuk dibaca untuk pembaca dengan pemahaman tingkat menengah terkait dengan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis. Secara umum, karya ini masih terkesan seperti hasil terjemahan buku-buku teori sosialis yang telah cukup banyak diterbitkan sebelumnya. Terlihat ada upaya untuk menghindari penggunaan istilah-istilah asing, namun belum ditemukan pendekatan khusus untuk membuat kalimat-kalimat dalam buku ini lebih mudah untuk dicerna dalam satu kali duduk. Buku ini memang pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai karya hiburan, namun pembaca dituntut untuk memusatkan konsentrasi penuh untuk bisa benar-benar memahami pembahasan di dalamnya.

Sementara itu, sebagaimana yang diakui sendiri oleh penulis, Rosa Luxemburg: Sosialisme dan Demokrasi tidak memberikan kajian kritis terhadap pemikiran-pemikiran Rosa Luxemburg. Dan seperti yang sempat dibahas di atas, buku ini masih menggunakan metode penjabaran data dan informasi yang umum digunakan, sehingga tidak akan memuaskan keinginan pembaca dengan pemahaman sejarah dan perkembangan teori sosialisme yang tinggi yang mengharapkan pembacaan analitis terhadap pemikiran Rosa.

Kecenderungan yang sering muncul dalam buku-buku yang bertujuan memaparkan pemikiran seorang tokoh yang secara umum jarang diteliti atau jarang diperbincangkan adalah melambungkan subjek kajian dan mencitrakannya sebagai seorang pahlawan. Kecenderungan itu rupanya mampu dihindari oleh penulis yang secara umum tidak menyelipkan pandangan-pandangan moralisnya dalam menjabarkan keterlibatan Rosa dalam perkembangan organisasi dan teori sosialisme demokratis, termasuk juga terkait emansipasi kelas dan gender. Walaupun hal tersebut sempat tercium di bagian catatan pembuka di mana penulis mencatut pernyataan Tan Malaka yang menyarakan “agar bertauladan kepada Rosa Luxemburg” kepada seorang murid perempuannya, tidak ada tendensi untuk merepresentasikan Rosa sebagai seorang pahlawan elit yang sulit untuk dijangkau oleh pembaca Indonesia saat ini dalam konteks sosial politik dan tentu saja, kultural yang berbeda. Bahkan pada salah satu bagian buku ini menunjukkan kesalahan tafsir Rosa terhadap Bund, atau Perserikatan Umum Pekerja Yahudi di Rusia yang dituduhnya “mengotak-ngotakkan kelas pekerja dan mengiris-iris daya juangnya ke ke dalam kantong-kantong identitas etnik atau nasional.

Pada saat yang sama, buku ini dengan baik mampu menonjolkan karakteristik-karakteristik unik dari pemikiran Rosa sebagai seorang ekonom perempuan. Rosa memiliki latar belakang pendidikan ekonomi yang mumpuni, mendapatkan gelar Doctor Juris Publici et Rerum Cameralium dari Fakultas Hukum Universitas Zurich sebagai perempuan pertama yang menyandang gelar akademis tersebut. Dengan berpegang teguh pada gagasan internasionalisme, dalam disertasi dan tulisan-tulisannya tercium kecenderungan anti-nasionalisme. Pada pembacaan pertama, kita sebagai masyarakat Indonesia yang dibesarkan dengan narasi sejarah perjuangan pembebasan atas penjajahan yang dibumbui semangat nasionalisme mungkin akan menganggap Rosa tidak patut untuk dicontoh, apalagi dikagumi.

Selain itu, berkaitan dengan konsep emansipasi gender, Rosa juga memiliki pandangan yang berbeda dari pemahaman umum pada saat itu. Bahkan juga mungkin dengan pemahaman umum berkembang di Indonesia saat ini. Dalam hal ini, Rosa sepenuhnya mempertahankan posisinya sebagai pendukung kelas proletar dan penyerang kelas borjuis. Dasar pemikiran yang berakar dari perbedaan dan pertentangan kelas tersebut tidak menjadi pandangan umum dalam kajian gender di Indonesia dewasa ini, sehingga sekali lagi dapat memunculkan perdebatan ideologis dalam benak pembaca. Dalam hal inilah buku ini kemudian memiliki peran penting untuk mampu tidak hanya menjabarkan pemikiran seorang Rosa Luxemburg, namun juga mendudukkan sebuah pemahaman meskipun tidak memberikan analisis kritis terhadapnya.


Pada bagian akhir buku penulis juga memberikan petunjuk kepada pembaca terkait subjek pembahasan pada karya selanjutnya yang masih akan membicarakan Rosa Luxemburg. Petunjuk tersebut menyiratkan bahwa penulis masih akan menggunakan metode penyajian data dan informasi yang sama dan tidak akan memberikan analisis kritis lebih lanjut. Secara umum, buku pertama ini mampu membantu pembaca Indonesia sejengkal lebih dekat dengan Rosa Luxemburg. Pembaca seakan diajak untuk berada di sebuah taman, duduk di salah satu bangkunya dan mengamati Rosa yang sibuk menyuarakan pemikiran-pemikirannya. Kita belum diizinkan untuk duduk berhadapan atau bersebelahan dengan Rosa di atas satu bangku dan berdialog langsung dengannya.