Respon masyarakat terhadap konten-konten video Kimi Hime di kanal YouTube sampai panggilan oleh Kominfo bukanlah kasus pertama upaya pencekalan suatu media yang berhubungan dengan seks dan tubuh di Indonesia. Sepanjang tahun ini, masyarakat disibukkan dengan membuat atau mengisi petisi untuk mencekal iklan yang dibintangi Black Pink, film Kucumbu Tubuh Indahku dan Dua Garis Biru. Fenomena ini saya baca sebagai sebuah periode ketakutan yang terus bergulir di kalangan masyarakat Indonesia.

Selepas periode pra-sejarah, seks dan tubuh tidak lagi bisa dinilai atau ditinjau semata dari ilmu eksakta, terutama biologi. Peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan menyumbangkan penilaian kultural terhadap keduanya. Seks tidak lagi semata dipandang sebagai aktivitas biologis reproduksi, dibumbui dengan konstruksi moralitas dan kepantasan yang sarat dengan kepentingan. Dalam The History of Sexuality, Michel Foucault berpendapat bahwa ‘seksualitas’ merupakan produk dari relasi kuasa yang digagahi oleh para ilmuwan dan agamawan yang lahir di periode abad ke-17 Eropa.

Terciptanya diskursus seksualitas mengubah cara pandang manusia terhadap seks, beberapa di antaranya terkait identitas seksual dan penilaian kepantasan: siapa dan bagaimana seks dilakukan. Foucault percaya bahwa hubungan sesama jenis telah dilakukan manusia sejak masa pra-sejarah, namun baru pada era modern-lah kecenderungan seks menjadi identitas yang melekat pada diri manusia: gay, lesbian. Begitu pun dengan pandangan yang mengatur siapa yang dinilai pantas untuk melakukan seks, yakni pasangan dengan usia tertentu yang terikat hubungan pernikahan.

Baca juga: (Toksisitas) Wacana Dominan Heteroseksualitas

Argumen-argumen Foucault dalam bukunya tersebut tidak sepenuhnya bisa diterima oleh kalangan akademisi yang menganggap tulisan tersebut kurang didukung dengan data empiris. Terlepas dari hal tersebut, Foucault telah diakui sebagai seorang pemikir posmodernis yang membangkitkan partisipasi ilmuwan dan akademisi humaniora di bidang seksologi.

Sementara itu, diskursus tentang tubuh juga bukan merupakan suatu hal yang ajeg. Sebagai contoh, bra bukanlah teknologi yang diciptakan oleh manusia pra-sejarah. Penciptaannya lahir berdasarkan mitos tentang perlunya menutup anggota tubuh tertentu karena timbangan moralitas atau penilaian artistik. Payudara perempuan pun diberi standar penilaian ganda, yakni sebagai bagian tubuh yang mendukung reproduksi dan objek seksual. Penilaian ganda tersebut bertahan sampai sekarang, biasanya diturunkan melalui pendidikan ibu ke anak perempuannya, sehingga sampai hari ini perempuan masih harus kebingungan menutupi puting payudara mereka yang dianggap tidak pantas untuk ditunjukkan.

Perkembangan ilmu pengetahuan alam terkait tubuh manusia pada awal era modern telah diakui cenderung menempatkan laki-laki sebagai entitas yang lebih unggul daripada perempuan. Para filsuf dan ilmuwan Yunani sangat terobsesi dengan rahim dan alat kelamin perempuan. Mereka menyatakan bahwa vagina perempuan adalah penis yang tumbuh dengan tidak sempurna, dan rahim adalah anggota tubuh yang menyebabkan perempuan memiliki kekuatan fisik yang lebih rendah daripada laki-laki. Argumen-argumen tersebut mungkin telah berhasil dipatahkan oleh para ilmuwan pada abad-abad berikutnya dengan teknik kajian yang lebih canggih, namun diskursus keunggulan laki-laki masih dipercayai oleh sejumlah individu atau kelompok masyarakat sampai hari ini.


Upaya-upaya pencekalan konten dengan narasi seks dan tubuh di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari bagaimana dua hal tersebut dikonstruksi dan direkonstruksi di masyarakat. Dalam kasus Indonesia, agaknya wacana ‘nilai ketimuran’ dan moralitas agama menjadi faktor kultural yang sangat menentukan. Saya bisa menjamin bahwa saya bukanlah satu-satunya perempuan yang pernah dicekoki dengan nasihat tentang nilai ketimuran agar berpakaian dan bertindak yang ‘pantas’. Narasi tersebut disebarkan, dikuatkan, dan diturunkan oleh agen-agen dalam masyarakat sampai terkesan sebagai sebuah kenormalan yang terwujud secara natural.

Pencekalan yang dialami oleh Kimi Hime baru-baru ini, dan juga kritik masyarakat terhadap iklan Black Pink beberapa bulan yang lalu merupakan ekspresi ketakutan atas goncangan terhadap konstruksi dan timbangan moralitas yang telah berusaha dinormalisasikan selama berlipat-lipat generasi. Mereka sesungguhnya tidak takut dengan paha atau belahan dada yang ditunjukkan oleh para perempuan tersebut, namun lebih takut dengan para perempuan tersebut. Hal ini serupa dengan persepsi masyarakat tentang perempuan yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).

Prostitusi dapat dikatakan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat hampir di seluruh dunia, dan pandangan negatif terhadap perempuan yang terlibat dalam dunia tersebut bukanlah hal yang baru pula. Hal tersebut dikarenakan munculnya pertentangan antara narasi besar perempuan sebagai entitas domestik, pasif, dan dikendalikan dengan narasi yang dibawa oleh perempuan pekerja seks. Sampai saat ini, terlepas dari gencarnya upaya sejumlah pihak untuk mengkritik konstruksi-konstruksi ideal perempuan, hal tersebut agaknya telah menjadi satu nilai dasar yang memengaruhi relasi sosial di masyarakat.

Baca juga: Kerentanan Ruang Personal dan Publik Perempuan

Begitu pun dengan protes terhadap penayangan sejumlah film–terlepas dari kualitas dan pengakuannya dari publik pengamat sinema–yang juga merefleksikan ketakutan massal terkait standar moralitas dalam hubungannya dengan seks. Wacana tentang seks ‘yang pantas’ di lingkungan masyarakat Indonesia masih berkutat dalam heteroseksualitas dan hubungan legal pernikahan, yang masing-masing ditantang oleh Kucumbu Tubuh Indahku dan Dua Garis Biru.

Selain itu, terkait atribut pakaian atau pilihan representasi diri dari Kimi Hime, menurut saya, bukan lagi perkara benar atau salah. Ini lebih pada bagaimana publik mengolah pola pikirnya untuk menilai cara seorang individu, terutama perempuan, berpakaian. Perempuan sudah sejak lama mendapatkan perlakuan khusus terkait tubuh, terutama cara mereka mengekspresikannya. Otoritas institusi agama dan moralitas yang dibumbui dengan cara pandang patriarkis memainkan peran penting dalam mengatur apa yang pantas untuk ‘dilihat’ dari perempuan, terutama di ruang publik.


Periode ketakutan yang ditunjukkan sejumlah kelompok masyarakat Indonesia merupakan respon terhadap pencapaian otoritas individu atau golongan tertentu terkait seks dan tubuh. Sejumlah konstruksi dan timbangan moralitas yang dibentuk oleh agen-agen dalam wadah kekuasaan dinormalisasikan dan diturunkan sampai hal tersebut dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Agaknya hanya revolusi pemikiran yang dapat mengubah cara pandang masyarakat dari yang didominasi dengan tabu menjadi lebih berterima, walaupun sejumlah kelompok masyarakat masih akan terus meresapi dan membenarkan tatanan yang membelenggu. Tetapi jika tatanan tersebut tidak lagi menjadi wacana dominan, maka periode ketakutan dapat mencapai titik akhirnya.