Menuntaskan menonton film Sexy Killers bagi saya pribadi adalah suatu perjuangan. Begitu banyak hal yang terusik dalam benak saya, dan mungkin juga benak beberapa orang penonton yang lain. Kemampuannya untuk mengusik dan mengganggu kenyamanan itulah yang menurut saya membuat film ini menjadi salah satu karya yang paling hangat dibahas akhir-akhir ini.

Tulisan ini bukan yang pertama mengkaji film garapan Dandhy Laksono dan Suparta Arz tersebut. Bahkan cuitan-cuitan di media sosial yang dikirimkan oleh mereka yang sudah menonton–dan belum menonton–bisa juga dianggap sebagai kajian terhadap film tersebut. Maka saya pun sebenarnya lebih tertarik untuk mengkaji ulang kajian-kajian kecil yang berserakan di kiriman-kiriman dan komentar-komentar para pengguna media sosial tersebut. Walaupun dalam perjalanan tulisan ini nantinya akan tumpang tindih dengan sudut pandang kajian film yang berlaku secara umum untuk genre film dokumenter.
Salah satu respon menarik yang saya baca di Twitter pada malam hari pelaksanaan Pemilu Presiden berisi sinisme terhadap gerakan aktivisme–lingkungan hidup–yang kemudian dibalas dengan ‘ucapan rasa syukur’ karena belum menonton film tersebut. Respon itu menarik bagi saya yang secara pribadi tidak berafiliasi dengan kelompok aktivisme lingkungan hidup namun berupaya untuk tidak menutup mata dari isu lingkungan. Saya mencium adanya ketakutan untuk dianggap sebagai aktivis, dan sinisme tertentu terhadap gerakan aktivisme dari sejumlah komentar serupa.
Baca juga: Media Sosial, Kebebasan Berekspresi, dan Labelisasi
Komentar ini menurut saya sangat tidak kontekstual dengan substansi intrinsik film, karena selama menonton film tersebut, saya sama sekali tidak mendapati adanya pesan-pesan provokatif atau persuasif yang mengarah pada ajakan untuk tergabung dalam gerakan aktivisme, khususnya lingkungan hidup. Selain itu, menganggap isu lingkungan hidup semata sebagai program organisasi-organisasi aktivisme adalah sebuah bentuk apatisme yang tidak bertanggung jawab. Karena kita sebagai pengguna media sosial hampir dapat dipastikan telah menjadikan listrik sebagai kebutuhan sehari-hari, contohnya dengan mengisi daya baterai perangkat gawai.
Oleh karena itu, saya pikir tidak perlu menjadi seorang aktivis atau tergabung dalam kelompok aktivisme tertentu untuk mau mengakui peran kita dalam eksploitasi bumi. Yang diperlukan adalah kemauan untuk mengakui dan melakukan evaluasi-evaluasi yang bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti menghemat penggunaan listrik sehari-hari atau mencari sumber daya lain yang lebih ramah lingkungan. Menuduh penonton film Sexy Killers dan orang-orang yang melakukan kampanye perlindungan bumi sebagai “aktivis yang suka gaya-gayaan” merupakan manifestasi ego manusia sebagai pelaku eksploitasi bumi.
Respon lain yang cukup banyak disampaikan oleh para pengguna media sosial berhubungan dengan penilaian objektivitas/subjektivitas film ini. Beberapa dari mereka menganggap film Sexy Killers bersifat sangat subjektif, ditungggangi misi propaganda golput pada Pemilu Presiden 2019. Kealpaan rekaman wawancara langsung antara penggarap film dengan pihak pabrik batu bara juga menjadi dasar tudingan karya tersebut tidak bersifat objektif sebagai sebuah film dokumenter.
Perdebatan tentang objektivitas/subjektivitas memang masih saja hangat di kalangan penikmat atau pembaca atau kritikus karya di Indonesia. Padahal film dokumenter memang tidak seharusnya objektif, karena penggarap film setidaknya berdiri di satu posisi tertentu dan memiliki pengetahuan spesifik atas suatu subjek pembahasan yang kemudian akan memengaruhi pilihan-pilihan mereka. Pilihan-pilihan yang dimaksud di sini misalnya sudut pandang siapa yang digunakan, penuturan siapa yang ditampilkan (jika menggunakan teknik wawancara), hal-hal apa saja yang dinarasikan, dan lain sebagainya. Kajian terhadap pemilihan subjek yang dibahas, direkam, dan ditampilkan dalam Sexy Killers dapat mengantarkan kita pada posisi film tersebut.
Berdasarkan pembacaan atas pilihan-pilihan tersebut, terdapat kecenderungan bahwa film Sexy Killers ingin menggugah kesadaran penonton tentang hal-hal yang terlewatkan dari pemikiran kita sehari-hari. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di daerah perkotaan, listrik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan agaknya telah menjadi hal yang banal. Seperti yang ditunjukkan pada adegan pertama film tersebut, pasangan yang sedang berbulan madu dapat dibaca sebagai representasi dari diri kita sendiri yang seringkali tidak berpikir dua kali untuk menghidupkan banyak perangkat listrik secara bersamaan dan dalam waktu yang lama. Dan adegan-adegan selanjutnya yang berisi tayangan-tayangan tentang situasi di beberapa daerah di Indonesia seperti Kalimantan, Jawa Tengah, Bali, Jakarta, dan Palu beserta wawancara dengan masyarakat lokal menjadi strategi tekstual yang digunakan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana listrik dialirkan ke bangunan-bangunan yang kita tinggali atau tempati?”
Perbandingan yang dilakukan
Baca juga: Mengenal Orde Baru: Genosida
Dalam film Jagal, Anwar Congo
Maka menurut saya keputusan penggarap film Sexy Killers untuk tidak menampilkan wawancara langsung dengan pihak pemilik atau pemegang saham pabrik penambangan batu bara yang dikonstruksikan sebagai karakter antagonis dalam karya tersebut adalah hal yang sah-sah saja. Film tersebut ingin menggugah penontonnya bahwa sejumlah kelompok masyarakat harus mengalami kerugian dalam pencapaian ambisi pembangunan infrastruktur negara yang diwarnai dengan penimbunan harta oleh kelas elit tertentu dan banalitas pemanfaatan energi listrik oleh sebagian dari kita. Mengharapkan sebuah film dokumenter bersifat objektif agaknya serupa dengan menilai karya sastra yang bagus dan patut dibaca adalah karya yang menyimpan nilai moral; yakni mempertahankan kacamata analisis yang sudah usang di tengah perkembangan ilmu pengetahuan.
Masih berhubungan dengan pemilihan subjek pokok pembahasan dalam film Sexy Killers, sejumlah penonton mengkritik kecenderungan film tersebut sebagai karya propaganda golput. Tudingan ini didasari oleh sejumlah hal, antara lain penampilan potongan tayangan debat capres yang kedua, pembeberan data-data yang menunjukkan keterlibatan masing-masing capres dalam konglomerasi pertambangan batu bara, dan peluncuran film yang mendekati pemilu. Dua hal yang menyangkut isi film tersebut menurut saya juga masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, yakni posisi penggarap film dan pesan yang ingin disampaikan oleh karya tersebut.
Perusahaan pertambangan batu bara yang ada di Indonesia tentu saja tidak terbatas pada yang disebutkan dalam film Sexy Killers. Kenyataan ini yang menghasilkan pertanyaan besar bagi beberapa orang, “mengapa hanya menyoroti perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan Jokowi dan Prabowo?” Tetapi sekali lagi, film ini difokuskan untuk menunjukkan kepada masyarakat tentang bercokolnya sistem oligarki di negeri ini, yang di dalamnya terdapat peran kedua calon presiden tersebut. Data-data yang ditampilkan dalam film tersebut secara substansial tidak mengarah pada ajakan untuk golput.
Baca juga: Mengenal Orde Baru: Golongan Putih
Selain itu, tidak ditemukan juga pesan yang mengajak penonton untuk tidak memberikan suara kepada salah satu calon presiden saat pemilu di dalam film tersebut. Oleh karena itu, saya pikir tudingan yang menuduh film Sexy Killers sebagai propaganda golput tidak lain merupakan respon ketakutan beberapa kelompok masyarakat atas kenyataan bahwa kedua calon pemimpin pemerintahan dan negara Indonesia memiliki peran dalam pelanggaran hak asasi manusia.
Terlepas dari penjabaran di atas, film Sexy Killers tentu tidak bisa dikatakan sebagai karya yang sempurna–dan tidak perlu menjadi sempurna–terutama pada aspek teknis atau sinematografi. Penggambaran adegan pasangan yang sedang bulan madu sebagai pembuka film ini perlu diapresiasi karena mampu mengantarkan ke pokok permasalahan dengan cara yang halus dan membuat penonton–muda–untuk tetap duduk di kursinya dan meneruskan kegiatan menontonnya. Selain itu, penggabungan rekaman di lapangan dengan tayangan-tayangan berita, debat calon presiden, dan wawancara dengan beberapa tokoh besar memang mengingatkan saya dengan beberapa film yang digarap oleh Michael Moore. Teknik tersebut masih jarang digunakan di film-film dokumenter garapan sineas Indonesia, sehingga juga perlu diapresiasi.
Aspek-aspek tersebut pun menjadikan film Sexy Killers tidak lagi bisa dianggap sebagai “film data” yang mati. Dalam sejarah perkembangannya, para kreator film dokumenter memang memanfaatkan teknik-teknik sinematografis artistik yang tidak bersifat “destruktif” terhadap upaya pencapaian tujuan penggambaran realitas. Kecenderungan penggunaan teknik-teknik artistik untuk film dokumenter sudah dapat ditemukan sejak tahun 1930-an seperti pada film Olympia: Festival of Nations (1938) yang tidak bisa dianggap semata-mata sebagai rekaman dokumentasi dari Summer Olympics keenam di Jerman. Film Sexy Killers menerapkan teknik-teknik artistik yang ditunjukkan melalui variasi shot kamera, suara latar, dan penambahan narasi tentang pasangan berbulan madu. Penggarapan film tersebut bisa dinilai cukup matang karena berhasil menghadirkan suasana tertentu melalui pemanfaatan teknik-teknik sinematografis artistik.
Sayangnya saya mendapati redundasi pada penggunaan narator sejak awal sampai akhir film tersebut. Hal tersebut dapat membuat penonton bosan dan merasa “diarahkan” oleh narator. Banyak bagian yang sebenarnya tidak lagi memerlukan peran narator, misalnya dengan menggunakan teks untuk menunjukkan nama-nama dan pekerjaan informan yang diwawancarai. Selain itu, penggunaan narator untuk menjelaskan diagram berisi data yang muncul cukup sering dalam film tersebut juga terkesan berlebihan karena narator seringkali hanya membaca teks yang ditampilkan, sesuatu yang bisa dibaca sendiri oleh penonton.
Terkadang menonton film dokumenter memang tidak membuat kita lebih bahagia seperti setelah kita menonton film-film fiksi. Agaknya kita perlu menikmati kegelisahan, ketakutan, dan kemarahan yang menyeruak dalam benak saat atau setelah menonton film Sexy Killers. Tapi sepertinya