Saya tidak bisa mengingat dengan persis kapan terakhir kali saya membaca Jalan Tak Ada Ujung sebelum bersentuhan lagi dengannya pada awal bulan Agustus ini. Sepertinya saat masih menjadi siswa SMA jurusan Bahasa yang diwajibkan membaca karya-karya “klasik” sastra Indonesia. Dulu saya memaknai novel ini semata sebagai penggambaran ulang dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia satu tahun setelah pembacaan teks proklamasi kemerdekaan. Namun, sekarang saya malah bertanya-tanya, bagaimana jika Guru Isa tidak lain adalah personifikasi Indonesia? 

Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. Indonesia Maju. Menuju Indonesia Unggul.

Iya, tiap tahun berganti, kita punya slogan baru untuk peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Bahkan sudah ada Indonesia Emas untuk menandai seratus tahun kemerdekaan Indonesia. Bukan sebuah masalah sebenarnya. Toh memang negara ini lahirnya juga berdiri di atas slogan-slogan. 

Tidak mudah memang mempertahankan apa yang disebut dengan NKRI ini jika mengingat kondisi geografis dan demografi masyarakatnya, sehingga tidak heran jika pemangku kepentingan –yang dalam hal ini berperan sebagai produsen narasi dan pengetahuan– terus membuat slogan-slogan sebagai upaya menyeragamkan wacana. 

Namun, terkadang mungkin kita akan memikirkan slogan-slogan itu lebih lanjut. Sekali dua kali waktu kita mempertanyakan kemampuan dan kepercayaan diri kita sendiri di balik selimut kosa kata nan gagah itu. Atau paling tidak itulah yang mampir dalam kepala saya ketika membaca Jalan Tak Ada Ujung beberapa hari lalu. 

Dan tentu saja karakter utama dalam novel itu, yakni Guru Isa, selalu menarik perhatian. Keputusan Mochtar Lubis untuk menjadikan seorang laki-laki yang jauh dari definisi “pahlawan” dalam konteks perang revolusi pada dasarnya sudah menarik untuk dikaji. Guru Isa terbaca sebagai gugatan atas konstruksi maskulinitas yang sering muncul dalam narasi peperangan dengan ambisi untuk menguasai, keberanian yang meluap-luap, dan biasanya juga diwarnai dengan dominasi atas perempuan. Semua hal tersebut tidak ada pada diri Guru Isa, yang sekali lagi merupakan karakter utama dalam novel yang menjadikan perang sebagai latar waktu dan konteks sosial. 

Guru Isa adalah laki-laki yang “tidak akan berani juga melawan” jika tubuh Fatimah, istrinya, digerayangi anggota pasukan ubel-ubel karena “perasaan takut matinya juga yang akan menang”, padahal “selamanya ia tidak bisa meladeni kebutuhan istrinya” karena impotensi yang dideritanya. Lelaki yang “membiarkan dirinya dibawa arus” dengan “hari-hari depan yang kabur dan menakutkan” karena ia “belum pernah bikin satu sukses dalam hidup–tidak dengan menjadi guru–tidak dengan menjadi suami–tidak dengan menggesek biola”. Satu-satunya hal yang benar-benar menjadi nilai seorang Guru Isa adalah kedamaian. Ia “sungguh-sungguh manusia damai. Manusia penyuka damai dan penerima damai.” 

Tepatkah menjadi manusia damai di tengah situasi perang revolusi yang membuat semua orang maju menantang kematian atas nama kemerdekaan? Guru Isa tidak tahu jawabannya, dan mungkin memang tidak ingin tahu. Ia terlalu sibuk dengan ketakutannya, keputusasaannya, dan ketidakmampuannya. Namun, ia tidak pernah benar-benar menunjukkannya. Guru Isa masih terlibat dalam gerakan perjuangan, dan itu pun tidak lebih dari sekadar upayanya menyelamatkan diri. Karena jika ia tidak menunjukkan solidaritas dan bergabung dalam perjuangan yang juga digerakkan oleh Hazil, sobat karibnya, ia sendirilah yang akan menjadi bulan-bulanan masyarakat.

Impotensi Isa bukan karena kondisi fisiologis yang tidak bisa disembuhkan. Melainkan menurut dokter, disebabkan oleh kondisi psikologisnya. Guru Isa dilemahkan oleh dirinya sendiri, membiarkan dirinya kalah dalam pertarungannya dengan dirinya sendiri. Kemudian diceritakan pada akhir novel bahwa setelah Guru Isa mendapatkan siksaan dari penjaga penjara, kelaki-lakiannya telah kembali. Kelesuan itu musnah setelah Guru Isa menghadapi langsung ketakutannya dan mengalami tekanan fisik yang sebenarnya. 

Namun, apakah benar Guru Isa benar-benar mentas dari impotensinya? Mengapa penulis tidak memberikan kesempatan lebih bagi Guru Isa untuk merayakan hal tersebut? Novel Jalan Tak Ada Ujung berakhir dengan Guru Isa “berdiri di depan jendela, memegang jeruji besi dengan kedua tangannya”. Saat mendengar derap sepatu prajurit, ia “tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi” karena “dia sudah bebas”. Bukankah itu hanya ada dalam kepala Guru Isa? Pada kenyataannya ia masih berada dalam penjara. Bahkan tidak ada pembuktian bahwa benar impotensinya sudah sembuh. Ia hanya ‘merasakannya’. 

Bagaimana jika impotensi itu tidak pernah sembuh dari tahun pertama kemerdekaan sampai 100 tahun Indonesia Emas nanti? Dan yang kita lakukan hanya memoles kelesuan dengan balsam jargon yang terdengar manis dan meyakinkan? Bagaimana jika kita sebenarnya selama ini hanya berdiri di depan jendela dengan jeruji besi di hadapan kita? Dan yang kita kerjakan selama ini hanya memandang keluar, melihat orang lain memarkir stasiun luar angkasanya di orbit atau merumuskan cara sebaik mungkin untuk memastikan glasier di Antartika tidak meleleh lebih cepat? 

Jika “dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan”, seperti hemat Hazil, mungkin sudah cukup kita meracik berbotol-botol balsam dan mulai menyadari bahwa ini adalah perjalanan tak ada ujung yang membutuhkan keberanian sebenar-benarnya untuk meniti langkah.