Di tengah mulai maraknya pemberitaan tentang elektabilitas tokoh-tokoh politik untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024, muncul kisah lain yang tidak kalah –atau bahkan lebih– menarik perhatian masyarakat umum, yakni spirit doll. Gambar-gambar di media sosial mempertunjukkan para publik figur, yang sebagian besar merupakan selebritis, memiliki spirit doll dengan bentuk dan rupanya masing-masing. Bahkan istilah yang digunakan dalam sejumlah pemberitaan untuk mendeskripsikan relasi manusia dengan boneka yang dimilikinya mengarah hubungan orang tua dengan anak. Hal ini telah membuat beberapa orang –yang berada di luar lingkaran selebritis kelas atas– bertanya, sebenarnya ini fenomena apa?
Argumen pertama saya adalah bahwa fenomena spirit doll ini tidak lebih dari sekadar fad, atau fenomena sosial yang mendapatkan rekognisi publik dengan begitu cepat dan tidak membutuhkan waktu lama untuk kemudian kehilangan daya tariknya dengan tidak kalah cepat. Kita sudah mengalami berbagai fenomena fad, contohnya dalam beberapa tahun terakhir seperti spining wheel dan slime yang sempat tiba-tiba digandrungi oleh anak-anak bahkan orang dewasa, lalu sekarang kita sudah tidak lagi melihatnya di mana pun. Namun ada satu hal mendasar yang membedakan spirit doll dengan spinning wheel atau slime. Kehadiran dan pemberitaan kedua benda tersebut secara umum lebih berkaitan dengan nilai fungsinya sebagai hiburan. Sementara itu, terdapat dimensi lain yang melingkupi spirit doll dalam hal ini, yakni dimensi sosio-ekonomi khususnya dalam konteks budaya selebriti di tengah masyarakat industri-urban.
Spirit doll digadang-gadangkan sebagai boneka yang diisi oleh arwah manusia yang membantu pemiliknya untuk mendapatkan kekayaan. Dalam hal ini, mungkin kecenderungan pandangan saya untuk mengkajinya dalam konteks masyarakat industri-urban dapat dengan mudah dipatahkan dengan argumen bahwa fenomena menempelkan dimensi mistis terhadap benda-benda tentu dengan ekspektasi yang berkaitan dengan aspek-aspek material bukanlah hal yang baru atau asing di masyarakat Indonesia. Bahkan beberapa orang dengan cepat menyebut spirit doll sebagai praktik “pesugihan”, yang jelas-jelas merupakan unsur budaya masyarakat tradisional, khususnya Jawa. Namun sesungguhnya hal itu jugalah yang menjadikan fenomena ini menarik. Kita mungkin akan bisa menerima –atau memaklumi– upaya-upaya tersebut jika dilakukan oleh masyarakat di lingkungan dengan nilai-nilai tradisional yang masih kuat, atau mereka yang tubuhnya saja berkelana di perkotaan tapi alam bawah sadarnya masih berisi kepercayaan-kepercayaan yang mungkin berkembang di tempat kelahirannya. Ambil sebagai contoh adalah para politikus kecil dengan ambisi besar untuk mendapatkan tempat di kursi pemerintahan. Kita sering mendengar bagaimana mereka memanfaatkan hal-hal semacam ini untuk mendukung upaya mereka meraup suara.
Baca juga: Meta, Babak Lanjutan Kaburnya Nyata dan Tak Nyata
Sementara itu para pemilik spirit doll adalah para selebritis yang selama ini telah mengonstruksi identitasnya sebagai masyarakat urban yang dikelilingi modernitas dan teknologi, dan jarang (atau bahkan tidak pernah) menunjukkan ketertarikan mereka pada nilai-nilai lokal atau tradisional. Ditambah lagi benda yang disebut spirit doll secara material fisik berbeda dengan boneka jelangkung, jenglot, atau apapun yang selama ini dikenal memiliki dimensi gaib. Spirit doll adalah boneka bergaya bisque doll, yakni jenis boneka yang pertama kali berkembang di Jerman dan Prancis antara 1860 sampai 1900. Sejak pertama kali muncul, bisque doll memang dikenal dengan karakteristiknya yang khas, yakni representasi rupa yang mirip dengan manusia, terutama bayi dan anak-anak. Oleh karena itu, fenomena spirit doll secara material maupun konteks sosio-ekonominya didominasi oleh aspek-aspek modernitas, industri, dan urban yang membuatnya berbeda dengan praktik pesugihan dalam konteks masyarakat tradisional.
Lalu pertanyaannya tentu mengapa? Mengapa manusia industri-urban, terutama para selebritis ini melakukan cara-cara yang terkesan jauh dari modernitas? Fenomena ini menurut saya berkaitan dengan bagaimana industri popularitas saat ini bekerja dengan kelindan budaya selebritis, fast journalism, dan media sosial. Pada artikel sebelumnya saya pernah membahas tentang bagaimana tuntutan pertukaran informasi yang cepat tidak hanya mendorong fast journalism, tetapi juga fast idolism, terutama kini dengan semakin dominannya peran media sosial sebagai kanal ekspresi dan penyebaran informasi dengan segala algoritmanya. Hal tersebut pada awalnya hanya memberikan dampak bagi publik umum sebagai penerima informasi, di mana mereka mengalami banjir informasi sampai kesulitan untuk menemukan mana informasi yang valid dan mana yang tidak valid. Namun sesungguhnya kecenderungan tersebut juga berdampak –bahkan mungkin lebih parah– pada orang-orang yang kini disebut dengan “influencer“. Di tengah semua persaingan pamor yang semakin ketat dan mencekik ini, para influencer perlu mencari cara-cara untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan popularitas mereka.
Baca juga: Budi Darma, Media Sosial, dan Fast Idolism
Saya pribadi tidak memiliki kepercayaan pada dimensi mistis yang dilekatkan pada boneka-boneka tersebut. Menurut saya para selebritis itu tidak lebih dari menjual jiwa mereka pada fenomena-fenomena fad agar tetap berada dalam radar perhatian publik yang saat ini beralih dan berganti dengan semakin cepat. Penjualan jiwa manusia bukanlah hal yang aneh dalam konteks masyarakat industri-urban, di mana bunuh diri kelas tidak akan membawa keuntungan apapun sementara menggadaikan ideologi dan tunduk pada industrialisasi bisa menjaga kita tetap mengapung di permukaan. Mengapung dengan cukup udara dan sinar matahari, tapi hanya bergerak terbawa arus.
Dan fenomena ini tidak akan menjadi yang terakhir. Kita telah mengetahui bagaimana media sosial selanjutnya akan memasuki babak pengaburan realitas berikutnya –dengan kehadiran Metaverse– yang berpotensi besar mendorong dijajakannya jiwa-jiwa manusia untuk ditukar dengan jumlah pengikut, juga tingkat interaksi dan engagement.