Dhianita Kusuma Pertiwi

Kata, Frasa, dan Rasa

Dinamika Ideologi dalam Kumpulan Cerpen Debur Zaman (2019)

Tiga periode yang menjadi latar waktu penciptaan karya dalam kumpulan cerpen Debur Zaman (2019) oleh Putu Oka Sukanta mengimplikasikan dinamika pada ideologi teks yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Dinamika ideologi dalam tulisan ini diasumsikan dipengaruhi oleh sejumlah faktor ekstrinsik seperti medan sastra, situasi politik, dan pengalaman pribadi penulis. Tulisan ini akan mengkaji dinamika ideologi dari tiga periode linimasa kepenulisan dengan urutan paling lama sampai terbaru–terbalik dari yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen tersebut– dengan membaca situasi sosial, politik, dan ekonomi pada masing-masing periode kepenulisan.

(more…)

Memaknai Ulang ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’

Terlepas masih ‘menariknya’ hari Kartini sampai hari ini, akhir-akhir ini sedikit sekali adanya pembahasan tekstual tentang Door duisternis tot licht (Through Darkness into Light [pen. Agnes L. Symmers] –  Habis Gelap Terbitlah Terang [pen. Armijn Pane]). Sosok Kartini dan karyanya dewasa ini disebut-sebut setiap tahun semata karena kita ingin terlihat turut merayakan Hari Kartini. Sementara itu, apakah kita benar-benar memahami makna dikotomi ‘gelap-terang’ yang disampaikan oleh Kartini pada tulisannya?

(more…)

Dosa Iqbaal ‘Dilan’ dan Kelupaan Kita untuk Berkaca






Berita tentang pengumuman para aktor dan aktris yang akan memerankan tokoh-tokoh dalam film adaptasi Bumi Manusia yang disutradari Hanung Bramantyo memenuhi beranda media sosial saya. Rata-rata dibumbui dengan kritik, celaan, dan ungkapan kekecewaan terkait pemilihan Iqbaal sebagai pemeran tokoh Minke. Sayangnya, seperti biasanya, yang diserang adalah pribadi Iqbaal yang menurut saya tidak berdasar.

(more…)

Euforia dan Utopia Pram






Saya tidak akan mengatakan bahwa saya mengenal pribadi seorang Pram, pernah menjabat tangannya, atau bertatap muka dengannya. Saya juga tidak akan mengatakan bahwa saya turut bersuka cita dengan ulang tahunnya yang jatuh pada hari ini dengan membagi kalimat-kalimat mutiara yang pernah ditulis dalam bukunya melalui akun media sosial. Karena menurut pendapat saya pribadi, kesemuanya itu tidak lain hanya sebuah euforia yang menjadi ritual seremonial di masyarakat teknologi saat ini. Dan semuanya tidak akan menjadikan utopia Pram tiba-tiba menjadi kenyataan yang gamblang di depan mata.

(more…)

Masih Perlukah Membaca The Communist Manifesto?






Anggaplah Marx memiliki sebuah mimpi utopis yang rasa-rasanya semakin sulit terwujud di abad ke-21 di mana komoditas menjadi semakin lebih penting daripada harga diri dan hampir segala aspek kehidupan manusia menjadi barang dagangan, mulai anggota tubuh sampai agama. Fenomena ‘kebangkitan’ wacana-wacana Marxisme dan sosialisme di Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru mungkin bisa dianggap sebagai suatu langkah maju, walaupun tidak bisa dikatakan mampu mengubah kondisi masyarakat sekarang ini. Maka muncullah pertanyaan-pertanyaan terkait apakah masih penting membaca tulisan-tulisan Marx termasuk The Communist Manifesto di era postmodern seperti sekarang ini.

(more…)

Kritik Sastra Marxisme






 

Karena memikirkan rencana tesis yang mau tidak mau akan saya hadapi juga, saya jadi teringat dengan dosen pembimbing skripsi saya yang berambut gondrong, mengajar dengan ‘sesajen’ segelas penuh kopi hitam dan -waktu itu- rokok Magnum, dan senyum juga kata-kata penuh sarkasme. Membahas tentang motif politik dari tindakan sensor terhadap karya sastra, selama masa-masa bimbingan dosen saya itu menjadi tidak lebih sarkasme.

(more…)

Diskriminasi dalam Lingkungan Pendidikan






Beberapa hari tumbang karena gangguan kesehatan, saya melewatkan satu hari ‘penting’ atau kalau menurut redaktur media pemberitaan populer disebut dengan ‘momen viral’, yakni Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei. Tapi saya rasa karena situs ini pun bukan media pemberitaan yang menjual keviralan, maka tidak ada salahnya menuliskan gerundelan saya tentang pendidikan di tanggal 5 Mei.

(more…)

Orde Baru dan Naturalisasi Tionghoa






Jika dianalisis dari kacamata sosial sejarah, masyarakat kita ini seakan tidak pernah berhenti dari penjajahan. Kita bisa membaca kisah seorang Minke yang dibuat oleh Pramoedya Ananta Toer atau cerita percintaan Hanafi dan Corrie di pembuka Salah Asuhan tentang perbedaan kelas sosial yang memisahkan kaum ‘barat’ dengan kaum ‘pribumi’. Pada masa kolonial itu dikenal sebutan atau julukan berkonotasi negatif untuk merujuk inferioritas orang-orang asli kelahiran Indonesia, yakni ‘dasar inlander!’

(more…)

Menikah: Muda, Tua, Kita Sama-Sama Korban!






Sebenarnya saya bukan seseorang yang terlalu tertarik untuk membahas isu hubungan kasih-kasihan ke dalam tulisan, karena menurut sudut pandang pribadi saya menikah pun bukanlah suatu tujuan hidup utama bagi saya. Bahkan teman-teman yang mengenal saya dengan cukup baik sudah tahu kalau saya bukan tipe orang yang suka menggalaukan urusan percintaan. Namun apa yang saya lihat sekarang ini adalah fenomena ‘perpecahan ideologi’ yang terjadi di kalangan kawan-kawan seusia tentang suatu bahasan yakni Pernikahan.

(more…)

Menstruasi, Fenomena Alami atau Terkonstruksi?






Bagi para pembaca yang sudah pernah mempelajari perbedaan antara hal-hal yang sifatnya alamiah dan terkonstruksi dalam lingkaran sosial manusia tentunya akan menjawab dengan yakin bahwa menstruasi merupakan fenomena alamiah yang dialami perempuan. Secara biologis jawaban tersebut memang tepat, karena menstruasi pada perempuan didukung dengan ada dan berfungsinya organ-organ tubuh yang berhubungan dengan sistem reproduksi. Bahkan menstruasi pun tidak hanya dialami oleh manusia, namun juga binatang mamalia lain seperti gajah, tikus, hamster, babi, kuda, dan lain-lain, semakin menegaskan bahwa menstruasi secara substansial adalah suatu fenomena alamiah.

(more…)

Follow Us