Saya akan memulai tulisan ini dengan melakukan refleksi terhadap dan tentang diri saya sendiri, sebagai seseorang yang terlahir dalam cakupan dan batasan geografis yang “sengaja” dinamakan Indonesia. Iya, Indonesia yang digadang-gadangkan sebagai negara dengan kekayaan dan keragaman budayanya. Indonesia dengan masyarakatnya yang saling menghargai dan bertenggang rasa terlepas dari semua perbedaan. Indonesia dengan semua jargon-jargonnya yang sekelebat menenangkan.

Dalam kacamata esensialis, saya bisa saja disebut sebagai orang Jawa totok. Lahir dari orang tua yang juga berlatar belakang budaya Jawa, saya tumbuh dewasa dengan mempelajari bahasa Jawa krama, turut serta dalam upacara selamatan, dan mengambil cukup banyak pelajaran dari pemikiran masyarakat Jawa. Pada saat yang sama, saya dengan sadar mengambil studi Bahasa dan Sastra Inggris, dilanjutkan dengan Ilmu Susastra di mana alih-alih saya menggunakan karya Sastra Indonesia sebagai korpus penelitian tesis, saya memilih lakon wayang kulit purwa sebagai bahan kajian. Bukan untuk mencari nilai-nilai luhur di dalamnya, tetapi untuk mengkajinya seperti layaknya karya sastra dalam konteks budaya lain yang perlu untuk dibaca lebih mendalam untuk dikritisi. Saya juga punya pendapat dan posisi tersendiri dalam melihat batik sebagai apa yang disebut-sebut dengan ‘produk kebudayaan’, dengan lebih memilih mengenakan pakaian hitam polos daripada batik hanya untuk mencentang kebutuhan untuk tampil rapi dan melupakan kerja-kerja produksi yang dilakukan para pembatik. 

Belum lagi jarak spasial dengan lingkungan keluarga selepas kepindahan saya ke Jakarta belum genap lima tahun yang lalu yang pada akhirnya menjauhkan saya dari praktik-praktik kebudayaan yang sempat menjadi bagian tidak terpisahkan dengan hidup saya selama kira-kira dua puluh satu tahun. Pasca kepindahan, pertemuan dengan budaya-budaya lain tidak terelakkan, yang pada beberapa titik mengantarkan saya ke sejumlah pertanyaan dan upaya-upaya untuk melihat lebih dalam apa-apa yang diangkat sebagai–produk, praktik, pemikiran, representasi–budaya. 

Pada titik inilah saya akan masuk ke pembahasan tentang satu pementasan yang baru saja saya tonton sekitar satu pekan lalu, bertajuk ‘Pagelaran Sabang Merauke’, bertempat di salah satu gedung mewah di kawasan Jakarta Pusat. Dalam sekali baca, judul tersebut tentunya langsung menggugah imajinasi kita tentang sebuah pertunjukan yang menampilkan unsur-unsur kebudayaan dari daerah-daerah di Indonesia (yang secara politis dibayangkan dan dikonstruksikan meliputi daratan dan perairan dari kota Sabang sampai Merauke). Pada saat yang sama, desain undangan dari kegiatan tersebut akan membuat dahi orang-orang yang cukup sensitif dengan isu representasi budaya berkerut. ‘Pertunjukan Sabang Merauke’ dengan gambar gunungan khas wayang kulit Jawa di antara kata ‘Sabang’ dan ‘Merauke’–ya, sekali lagi JAWA. Kali ini saya harus menulisnya dengan huruf kapital dengan mempertimbangkan paradoks-paradoks yang sempat saya sebutkan di pembuka tulisan ini. Terkait hal ini, seberapa menyebalkannya, praktik ini memang bisa dibilang masih sangat umum terjadi–dan diterima! Apa yang disebut dengan budaya Nusantara disederhanakan sebagai wayang, baju daerah disimplifikasi sebagai batik corak Jawa atau kebaya, sampai penggambaran orang Indonesia sebagai karakter yang gaya berbicaranya sarat dengan logat Jawa. Upaya-upaya untuk mengkritik lebih lanjut praktik-praktik representasi budaya seperti ini pada satu sisi terus dilakukan dan pada saat yang sama juga dibiarkan. 

Pada titik tersebut saya sebenarnya sudah tidak ingin terlalu berharap bahwa pertunjukan yang akan saya tonton tersebut mampu menyuguhkan representasi budaya Nusantara dalam sudut pandang yang kritis dan penuh pertimbangan. ‘Pertunjukan ini tidak akan lebih dari pengukuhan pandangan bahwa unsur-unsur budaya Jawa bisa dengan mudah disamadengankan dengan budaya Indonesia atau sebaliknya’, batin saya. Namun hal tersebut tidak menghentikan niatan saya untuk datang dan menonton, karena saya selalu percaya dengan ‘keajaiban’ dari pertunjukan. 

Tiba di lokasi pertunjukan, saya sejurus merasa asing dan sendirian di tengah keramaian pengunjung yang terlihat sangat memikirkan pakaian yang mereka pakai untuk hadir di agenda tersebut. Sebagian besar berpenampilan apa yang sering disebut dengan ‘kebaya modern’ atau setelan pesta a la Barat. Keberagaman yang cukup membuat saya–yang pada saat itu hanya mengenakan rok terusan selutut hitam, sepatu kets hitam, dan selembar kain tenun ikat–merasa kikuk dan teralienasi. Siksaan itu berlangsung selama hampir lebih dari satu jam karena pintu gedung pertunjukan tidak kunjung dibuka. Saya semakin tidak bisa membayangkan pertunjukan semacam apa yang akan saya tonton setelah ini. Seharusnya rasa tersiksa itu bisa mendorong saya untuk meninggalkan tempat itu dan melakukan aktivitas lain dan berada bersama orang lain yang lebih menerima dan berterima dengan saya. Namun, suara dalam kepala saya mengatakan untuk saya tetap berada di sana, menunggu pintu itu dibuka, menonton pertunjukan dari awal sampai akhir, lalu meninggalkan tempat dengan apapun yang nanti bisa saya jadikan bahan tulisan. 

Akhirnya pintu gedung pertunjukan dibuka. Tempat tersebut pada dasarnya bukan dirancang untuk pertunjukan teater, sehingga penonton tidak punya pilihan selain duduk dalam jejeran kursi-kursi yang standar digunakan untuk pesta pernikahan dalam gedung; tidak ada undakan, tidak ada ‘titik terbaik’, kecuali Anda merupakan bagian dari orang-orang penting yang dipersilakan duduk di baris terdepan. Setelah menunggu lagi selama beberapa menit, lampu ruangan akhirnya dipadamkan dan muncullah di panggung penyanyi keroncong Endah Laras. Penampilannya berhasil menjadi pembuka pertunjukan yang manis, seketika mengesampingkan perasaan-perasaan yang mengganjal benak saya sejak pertama melihat surat undangan sampai merasa terasing di tengah keramaian. Sembari terus memfokuskan pandangan saya yang mulai terhalang oleh kepala penonton lain, dalam benak saya terus bermunculan ekspektasi-ekspektasi tentang akan dibawa ke mana pertunjukan ini. Pada satu sisi, menghadirkan Endah Laras semakin mengukuhkan gagasan Nusantara sama dengan Jawa yang mengganggu kesadaran saya. Di sisi lain, memunculkan seorang seniman yang telah dikenal mampu mendobrak batas-batas antara kesenian hiburan berbasis budaya Jawa dengan wacana seni kontemporer pada satu dan beberapa titik mulai menumbuhkan kembali optimisme saya terhadap pertunjukan tersebut. 

Pada kenyataannya, optimisme tersebut terus terkikis seiring berjalannya pertunjukan. Rupanya apa yang disebut dengan ‘Pagelaran Sabang Nusantara’ tidak lebih dari kolase penampilan lagu dan tari daerah dari provinsi-provinsi di Indonesia, bermula dari Aceh dan berujung di Papua, melalui sudut pandang penguasa. Saya akan kembali pada pembahasan tentang penguasa menuju akhir tulisan ini, dan untuk titik ini mari berfokus dengan apa yang saya sebut dengan lagu dan tari daerah di sini. Yaitu bentuk-bentuk kesenian yang selama ini ‘cukup beruntung’ untuk dilibatkan sebagai materi dalam mata pelajaran seni budaya atau yang lebih beruntung lagi untuk dipopulerkan melalui media-media populer, sebut saja Bungong Jeumpa, Sinanggar Tulo, Kampuang Nan Jauah di Mato, Soleram, Tokecang, Ondel-Ondel, Rek Ayo Rek, Janger, Ampar-Ampar Pisang, Anging Mamiri, Si Patokaan, Gemu Famire, Yamko Rambe Yamko. Lagu-lagu tersebut ditampilkan dengan aransemen modern dan dinyanyikan oleh para penyanyi top yang terlalu terkenal untuk tidak kita ketahui rupa dan namanya. Mereka tampil, selalu di tengah panggung, dengan riasan dan tata busana mewah, diiringi para penari yang mengenakan ‘pakaian adat’ dan menampilkan ‘tarian daerah’. 

Pada titik ini kita dibuat semakin sadar betapa arbitrer-nya istilah ‘lagu daerah’ atau ‘tari daerah’ yang selama ini begitu sering kita gunakan. Arbitrer dalam hal pemilihan, mana yang bisa dan tidak bisa masuk dalam kategori tersebut, dan bahkan apa sebenarnya yang menjadi indikator A bisa dikatakan sebagai lagu dan tari daerah sementara B tidak. Sebut saja misalnya Bungong Jeumpa yang menurut beberapa catatan sudah dipopulerkan sejak abad ke-7 ketika Kesultanan Aceh masih berkuasa, dibandingkan dengan Gemu Famire yang jelas-jelas baru ‘dilahirkan’ (alih-alih ‘diciptakan’–istilah ini meminjam perkataan Nyong Franco sendiri selaku penyusun aransemen dan liriknya) pada tahun 2011. 

Sifat arbitrer ini secara logika mencegah kita untuk melakukan pembenaran atau penyalahan sepihak atas upaya-upaya pengelompokkan atau pengategorisasian produk-produk seni budaya. Lagipula menghadirkan sosok Endah Laras sebagai pembuka sebenarnya bisa menjadi satu peringatan awal bahwa pertunjukan ini tidak akan menampilkan sesuatu yang sering disebut dengan ‘pakem tradisi’, dan ada kecairan pada pembagian tidak tertulis antara yang pakem dengan yang kontemporer. Namun, kecairan tersebut bukan berarti dapat membenarkan kreasi yang sembarangan dan serampangan. Saya akan mengambil satu contoh, yakni penggambaran punakawan sebagai tentu saja, unsur budaya Jawa. 

Karakter Punakawan memang menarik. Mereka dipercaya sebagai karakter dalam pewayangan yang dikembangkan dalam konteks tradisi pedalangan di Jawa dan bukan berasal dari tokoh yang ada di epos India seperti layaknya Pandawa yang bisa ditelusuri jejaknya ke teks Mahabharata dari era India Kuno. Dalam pertunjukan wayang, Punakawan muncul di babak Gara-Gara, salah satu babak dalam pertunjukan wayang purwa (wayang kulit) atau wayang orang yang menceritakan keadaan dunia yang sedang dilanda oleh bencana yang pengaruhnya dirasakan sampai ke kayangan. Pada situasi ini, Pandawa sebagai tokoh yang dikonstruksikan sebagai pahlawan biasanya akan merasakan kegamangan di tengah upaya mereka menyelamatkan dunia, dan Punakawan hadir untuk menjadi pendamping mereka di masa-masa yang sulit. Perkembangan dan perubahan dalam tradisi pedalangan telah cukup mengubah cara Punakawan dimunculkan dalam pertunjukan wayang, terutama dalam hal peran mereka sebagai tokoh yang menghadirkan dialog humor di tengah-tengah rentetan peristiwa dalam pertunjukan wayang. 

Foto: Tabloid Bintang

Meskipun begitu, sosok Punakawan, khususnya Semar, tetap memiliki perannya dalam pertunjukan wayang dan dalam alam pemikiran orang Jawa sebagai pendamping setia dan penasihat Pandawa. Dan dalam hal ini, ‘Pagelaran Sabang Nusantara’ telah mereduksi karakter Punakawan menjadi tidak lebih dari badut-badut bodoh tanpa agensi, apalagi kemampuan untuk memainkan peran sebagai penasihat. Tentu dalam membicarakan ini saya juga memahami keinginan kreator untuk menambahkan unsur komedi dalam pertunjukannya untuk menghibur para penonton yang notabene memang bukan penikmat wayang kulit semalam suntuk. Namun, praktik ini menurut saya merupakan sebuah kecerobohan yang cukup fatal. Menghadirkan unsur komedi dalam suatu karya, entah itu yang ditujukan untuk dibaca atau dipertunjukkan, memiliki metodenya sendiri yang menjadikan unsur tersebut berterima dalam keseluruhan struktur logika cerita. Yang terbaca dari kemunculan Punakawan dalam ‘Pagelaran Sabang-Merauke’ sebagai badut adalah menghadirkan komedi slapstick tanpa ada motivasi yang kuat dan jelas-jelas menelanjangi semua nilai yang dibentuk dalam karakter Punakawan tersebut. Satu praktik yang bagi saya pribadi cukup jahat. 

Namun, itu bukan satu-satunya kejahatan dalam pertunjukan ‘Pagelaran Sabang Merauke’. Hal yang paling mengganggu kesadaran saya adalah bagian akhir dari pertunjukan tersebut, tepatnya ketika perjalanan pagelaran itu mencapai Papua. Seperti yang saya sebut sebelumnya, lagu yang dipertunjukkan pada sekuen ini adalah Yamko Rambe Yamko yang sampai hari ini asal muasalnya pun masih menjadi perdebatan. Namun sekali lagi media populer kadung menarasikan lagu tersebut sebagai lagu daerah Papua dan seakan hampir tidak ada ruang untuk mempertanyakannya kembali. Cukup ekuivalen dengan bagaimana media pemberitaan menguatkan narasi tentang konflik di Papua sebagai bukti dari ketertinggalan daerah tersebut, begitu prevalen sampai tidak sedikit yang memercayainya begitu saja. 

Foto: Liputan 6

Babak terakhir dari pertunjukan ini menghadirkan para penari dalam busana koteka, seragam aparat keamanan, dan seragam pekerja proyek. Adegan yang muncul kemudian benar-benar menyesakkan–penari dalam busana koteka dihadang oleh seragam pekerja proyek dan kemudian dilerai oleh aparat keamanan. Setelah terlihat berdiskusi dan mencapai mufakat, mereka semua menari dengan ekspresi wajah penuh kegembiraan. Saya yakin semua orang di ruangan tersebut bisa memahami fenomena apa yang ditampilkan sebagai penutup dari pertunjukan tersebut, dan yang mengerikan adalah bagaimana tepuk tangan riuh terdengar membahana dalam ruangan tersebut. Ini bukan hanya tentang gerak tari atau lirik lagu yang bisa dihapalkan siapa saja, bukan hanya tentang definisi kebudayaan yang begitu rentan dan jauh dari kata ajek, ini tentang matinya sensitivitas akan tragedi kemanusiaan yang dialami orang-orang yang digadang-gadangkan sebagai ‘saudara kita’ di bawah bendera ‘toleransi’ dan ‘keberagaman’.

Pada titik itulah saya tidak lagi bisa menahan desakan yang timbul dari ulu hati, perasaan yang teramat pedih. Dan ketika bendera merah putih dikibarkan dari segala sisi dan confetti merah putih ditaburkan dari langit-langit gedung pertunjukan, air mata saya turut ditarik oleh gravitasi. 

***

Keluar dari gedung pertunjukan tersebut, saya mencari ruang lapang untuk merokok. Satu batang yang saya nyalakan dan hisap malam itu terasa begitu melegakan, melepaskan beban yang benak saya sudah tidak lagi mampu membendung. Kepala saya sibuk, bertanya pada diri sendiri: ‘Apa yang kau harapkan dari pertunjukan yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan telekomunikasi berbasis industri dan profit? Sebuah sendratari dengan detail artistik yang dirancang dengan teliti? Pertunjukan teater dengan dialog-dialog yang satir dan kritis?’ Tidak, mungkin itu harapan yang terlalu jauh. Yang saya harapkan sesederhana mereka bisa punya memiliki cukup uang untuk melakukan riset yang lebih mendalam untuk mencari tahu metode representasi budaya yang jauh lebih tepat, yang tidak menjadikan karakter-karakter penuh nilai menjadi badut-badut bodoh, yang tidak–lagi-lagi–menggambarkan masyarakat lokal sebagai kelompok tertinggal dan tidak beradab dan pembangunan beserta aparat penegak hukum sebagai penyelamat mereka. Bukan lagi cara pandang penguasa yang duduk di singgasananya, memicingkan mata ke bawah dengan leher penuh lemak bahkan tidak tertunduk sedikit pun, dalam kepalanya tergambar rencana-rencana dan strategi-strategi penaklukan. 

Setengah rokok itu saya hisap, saya kemudian teringat dengan hal lain yang masih berkaitan. Metode yang digunakan oleh pertunjukan tersebut dalam menggelar Sabang sampai Merauke seketika mengingatkan saya pada cara yang dipakai Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dalam menghadirkan Indonesia melalui miniatur-miniatur ‘rumah adat’ dan ‘pakaian daerah’. Bangunan yang sejak awal pembangunannya sudah bermasalah itu sempat dibombardirkan sebagai sarana wisata plus edukasi budaya yang paling representatif ketika membicarakan tentang budaya Indonesia. Unsur-unsur yang populer dan ‘benar secara politik’ (dalam hal ini politik Orde Baru) dikumpulkan dalam satu tempat yang sama, ditata sedemikian rapi dan apiknya untuk menguatkan gagasan stabilitas–ekonomi, politik, budaya, sosial–yang berhasil kita capai bersama karena pemerintahnya yang amat bijak dan berkeadilan. TMII saya piker sekarang tidak lagi menjadi pilihan utama sebagai media edukasi budaya, tetapi saya baru saja melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana cara pandang tersebut masih bercokol, diterapkan oleh para pemilik modal, dirayakan dengan tepuk tangan riuh masyarakat yang terhibur oleh badut Punakawan dan penari berbusana koteka.

Rokok tersisa barang empat atau tiga hisap lagi, dan saya memutuskan untuk menghubungi seorang kawan lama. Saya ingin kembali ke kebudayaan yang benar-benar hidup, tanpa riasan wajah penutup bekas jerawat atau payet berkilap yang membuat bintang malu berpendar: duduk di tepi jalanan ibu kota sambil menyesap anggur, mendengarkan keluhan para perantau dan lulusan perguruan tinggi ternama yang menerima gaji di bawah aturan upah minimal.