Peran gender sampai hari ini masih menjadi perbincangan (baca: perdebatan) hangat di antara sejumlah kalangan di Indonesia. Terutamanya berkaitan dengan peran gender yang dikonstruksikan sebagai ideal bagi perempuan; mana yang lebih baik, beraktivitas di ruang domestik atau publik? Saat perempuan sejatinya memiliki hak untuk memilih, patriarki telah meracuni sejumlah aspek dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia dari masa ke masa.

Gerakan Perempuan di Era Perjuangan Kemerdekaan

Cita-cita untuk membebaskan diri dari penjajahan dan membentuk negara kesatuan merupakan dasar terciptanya organisasi-organisasi nasionalis. Tentu saja dalam perjalanannya organisasi-organisasi tersebut tidak hanya digerakkan oleh tokoh-tokoh laki-laki. Tetapi, narasi sejarah pergerakan revolusi seringkali menempatkan laki-laki dan perempuan dalam dikotomi aktivisme politik dan sosial. Hal tersebut dikarenakan tokoh revolusi laki-laki kebanyakan berkecimpung dalam dunia politik praktis dengan menjadi pendiri atau anggota partai politik. Sementara itu, tokoh-tokoh perempuan kebanyakan bergerak di bidang pendidikan bagi penduduk lokal.

Baca juga: Memaknai Ulang 'Habis Gelap Terbitlah Terang'

Dikotomi tersebut dapat dibaca sebagai bentuk upaya depolitisasi perempuan pada babak awal pembentukan Indonesia sebagai nasion. Pendirian sekolah-sekolah partikelir yang ditujukan untuk memberikan pendidikan bagi penduduk lokal seperti yang dilakukan Dewi Sartika dan Charlotte Salawati sebenarnya dapat dianggap sebagai aktivisme sosial dan politik. Walaupun pendirian sekolah partikelir tidak didasarkan pada keinginan untuk membentuk massa kelompok atau partai nasionalis, seringkali tokoh-tokoh tersebut juga berhadapan langsung dengan pemerintahan Belanda yang sebagai konsekuensinya mereka pun perlu menerapkan strategi-strategi khusus untuk tetap bisa menjalankan misi mereka. Tetapi narasi sejarah nasional memiliki kecenderungan merekatkan aktivisme politik dengan heroisme laki-laki sementara tokoh pergerakan revolusi perempuan dikonstruksikan sebagai aktivis sosial yang hanya berkecimpung dalam ranah domestik.

Gerakan Perempuan Pasca Kemerdekaan

Pasca pernyataan kemerdekaan Indonesia, aktivisme politik cukup digalakkan, yang terlihat dari terbentuknya sejumlah organisasi yang bergerak di bidang politik. NASAKOM yang menjadi azas politik pada pemerintahan Sukarno mendorong terbentuknya sejumlah organisasi yang berbasis kerakyatan. Gerwani merupakan organisasi perempuan yang terfokus pada isu-isu yang dialami oleh perempuan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, antara lain praktik poligami, penentuan harga kebutuhan pokok, dan rendahnya tingkat pendidikan perempuan.

Konsistensi dalam menjalankan program keorganisasian seperti pelaksanan kongres dan juga program di ranah politik berhasil menjadikan Gerwani sebagai organisasi perempuan yang sukses menjaring massa. Pada tahun 1963, organisasi tersebut memiliki anggota sebanyak 1,5 juta orang dengan cabang-cabang di sejumlah daerah di Indonesia. Selain Gerwani yang berbasis di Jawa, terdapat sejumlah organisasi perempuan lain pada saat itu, yang terlepas dari perbedaan pada pemahaman dasar, (sekuler dan berbasis agama) bergerak untuk mengusahakan kesejahteraan perempuan.

Kehancuran Gerakan Perempuan di Era Orde Baru

Pemerintah Orde Baru telah terbukti tidak hanya meluncurkan propaganda dan memantik perselisihan di masyarakat, namun juga menghancurkan gerakan perempuan yang sempat berkembang sebelumnya. Gerwani juga menjadi salah satu organisasi perempuan yang mengalami penghancuran paling fatal dengan penciptaan kebohongan tentang peran mereka dalam peristiwa G30S. Selain mengalami pelarangan dan pembubaran, Gerwani dikonstruksikan sebagai perempuan-perempuan aktivis yang jahat dan tidak bermoral karena tega mencongkel mata dan memotong alat kelamin para jenderal dan juga menari telanjang pada peristiwa berdarah tersebut. Sebagai konsekuensinya, tumbuh sinisme tertentu terhadap gerakan dan aktivisme perempuan di ranah publik.

Domestifikasi lebih lanjut dilakukan dengan mendirikan Dharma Wanita pada Desember 1999. Dharma Wanita mengangkat kembali narasi tentang kehidupan domestik perempuan seperti menjadi istri yang melayani suami dan rumah tangganya. Perempuan dijauhkan dari peran-peran di ranah publik terutama yang berkaitan dengan pergerakan politik. Meskipun penolakan terhadap poligami diwujudkan melalui aturan negara, hak perempuan untuk memilih perannya tidak dimenangkan.

Pergerakan Perempuan di Era Reformasi

Kejatuhan Orde Baru menandai babak baru dalam berbagai hal, salah satunya isu gender. Pembahasan tentang tubuh dan seksualitas perempuan diangkat ke permukaan oleh sejumlah perempuan penulis melalui karya-karyanya. Kelompok-kelompok yang mengidentifikasikan diri sebagai feminis bermunculan dan bersuara. Pada saat yang sama, berakhirnya pemerintahan otoritarian membuka ruang yang lebar untuk kebangkitan populisme Islam yang terasa makin marak pada tahun-tahun terakhir. Selain itu, media sosial memainkan perannya sendiri yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat.

Baca juga: Tunduk terhadap Kelompok Fundamentalis?

Kita sekarang akan sangat mudah menemukan wacana tentang domestifikasi perempuan yang disebarkan oleh pemuka agama dan media sosial. Ayat suci dan tatanan moralitas biasanya digunakan sebagai pendukung argumen. Gerakan feminisme dipandang oleh sejumlah tokoh agama sebagai suatu bentuk pelanggaran moralitas dengan simplifikasi “pengaruh dari Barat” dan pemberian cap-cap negatif seperti pendukung aborsi, pembenci pernikahan dan anak-anak, dan lain sebagainya. Sebagai akibatnya, terdapat pertentangan di masyarakat tentang hak dan peran perempuan di ruang publik.

Simplifikasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama tersebut menandakan kurangnya kemauan untuk mempelajari feminisme sebagai sebuah ilmu. Di samping itu, hal tersebut juga mengindikasikan masih kuatnya pemikiran patriarki terlepas dari telah lebih terbukanya ruang untuk berekspresi. Berdasarkan tinjauan historiografis yang telah dijabarkan sebelumnya, domestifikasi dan penanaman gagasan ruang domestik sebagai hal yang ideal masih menjadi satu permasalahan dalam wacana pergerakan perempuan di Indonesia.