Sebenarnya sudah cukup lama saya menjadi salah satu orang yang cukup sinis dengan gagasan wellness yang semakin menjamur akhir-akhir ini khususnya dengan fenomena pandemi yang menghadirkan segala bentuk ketidakpastian dan keraguan, bahkan bagi beberapa orang sampai pada titik yang terburuk. Namun sebuah pernyataan yang langsung ditujukan kepada saya oleh salah seorang kerabat: “coba lah sekali-sekali wisata wellness” membuat saya merasa harus benar-benar menulis tentang hal tersebut. Tentu saya akan menunjukkan sisi gelap dari semua gagasan indah dan damai dari wellness, tetapi pada separuh akhir tulisan ini saya akan membagikan juga tentang apa yang saya percayai tentang wellness.

‘Bayangkan hidup di kota besar dengan tuntutan pekerjaan yang mencekik, kemacetan jalanan yang membuat darah mendidih, gedung-gedung pencakar langit menggagahkan keangkuhannya tanpa malu-malu’. Siapa yang tidak pernah mendengar narasi seperti itu, bahkan beberapa dari kita mungkin saat ini sedang mengalaminya dan sering mengutarakan hal tersebut, entah kepada diri sendiri ataupun jika ada orang-orang yang mau mendengarkan keluh kesah kita. Lalu muncullah gambaran diri sendiri berada di suatu tempat yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk– gaduh dan sesak, matahari menyiarkan sinarnya dengan cukup–tidak terik tapi juga tidak ragu, dan wajah kita berseri karena senyuman tulus–bukan karena riasan yang dipakai setiap hari ke tempat kerja. Mengapa gambaran itu bisa muncul dalam kepala kita? Mengapa spesifik gambaran seperti itu? Apakah kita lahir dengan prekonsepsi semacam itu tersembunyi dalam neuron otak kita?

Berterima kasihlah pada media iklan industri wellness yang telah mematri gagasan tersebut di belakang kepala kita, yang pada beberapa waktu–bisa dua sampai tiga kali dalam sebulan, seminggu, atau bahkan setiap malam–muncul ke permukaan dan menjadi kegundahan. Kita juga dibuat percaya bahwa kegundahan tersebut harus segera diatasi, karena jika tidak akan memengaruhi kondisi tubuh kita, baik secara fisik maupun mental. Caranya adalah dengan mengonsumsi makanan dan minuman tertentu, mengikuti kelas dan pelatihan anu, memesan tiket untuk lalu dari absurditas kesibukan, membeli barang-barang a, b, c, sampai z. Tidak lupa disampaikan juga bahwa adalah siapa pun Anda, berhak untuk menjadi manusia bahagia.

Dan di sinilah permasalahan yang pertama. Gagasan wellness yang ditawarkan industri saat ini tidak ekuivalen dengan hak asasi manusia yang secara fundamental mengesampingkan identitas dan kelas. Digerakkan oleh industralisasi dan ekonomi kapitalistik, wellness berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi. Siapa kita menentukan apa yang bisa kita lakukan. Masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas mungkin tidak perlu berpikir dua kali untuk melakukan hal-hal yang dikonstruksikan bisa membantu mewujudkan wellness, dan mereka tidak perlu lagi peduli dengan kondisi masyarakat kelas lain, karena semuanya adalah tentang aku sebagai diri yang bahagia. Industri wellness dalam hal ini disokong oleh kapitalisme dan pada gilirannya memberikan timbal balik positif berupa penguatan cara pandang individualistik.

Kemudian, seperti layaknya industri lain yang merespons dengan baik fitur-fitur yang disediakan oleh media sosial, industri wellness juga memanfaatkan kanal, sistem, dan tren media sosial sebagai strategi pemasaran. Tentu kita sudah mengenal selebritis-selebritis kesehatan sejak beberapa dekade lalu, misalnya para pelatih aerobik yang menjadi bintang melalui CD senam yang menjadi tren pada era 1980-an. Namun, internet dan media sosial menawarkan lebih dari gerakan aerobik yang disetel di televisi layar tabung dan ditirukan di rumah sebagai solusi dari ketidakmampuan membagi waktu antara olahraga dan pekerjaan. Media sosial melahirkan sosok-sosok idol baru dengan politik audience engagement yang culas.

Sejumlah pakar telah mengkaji bagaimana para selebritis media sosial menciptakan kedekatan palsu dengan para pengikutnya melalui berbagai cara yang disebut dengan “strategi komunikasi”. Dibandingkan dengan televisi yang hanya memungkinkan komunikasi audio visual satu arah, ataupun telepon dengan komunikasi audio dua arah, ponsel pintar menghadirkan keduanya, dan kemudian semakin didukung oleh internet yang memungkinkan terbentuknya “komunitas” pengguna. Para selebritis media sosial masa kini sering mengunggah konten-konten yang seakan-akan berbicara langsung atau melibatkan partisipasi aktif dari audiensnya dalam jalinan komunikasi mereka, atau bahkan membuat para audiensnya percaya bahwa mereka dikenal oleh selebriti tersebut. Padahal semuanya tidak lebih dari sekadar strategi pemasaran yang tujuannya untuk mendorong penjualan produk.

Bersanding dengan semakin menguatnya cara pandang individualistik, kemunculan idol-idol baru dalam industri wellness dengan semua strategi beserta targetnya akan semakin mendorong penerimaan, bahkan pemujaan, atas representasi media, dan pada gilirannya menggelorakan konsumerisme. Kita tidak lagi memikirkan apakah sesuatu itu benar-benar kita butuhkan, tetapi selama produk tersebut diiklankan oleh selebriti yang kita sukai, maka sudah pasti akan memiliki nilai jika dibeli dan dikonsumsi. Dan sekali lagi, hal ini juga akan berkaitan dengan permasalahan pertama terkait kelas sosial ekonomi dimana bisa saja masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini juga merupakan pengguna internet dan media sosial tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk membeli produk yang diiklankan para endorser. Pada beberapa titik hal ini mendorong juga terjadinya tindak kriminal yang dilakukan demi memperoleh modal untuk mendapatkan akses ke industri wellness yang sedang moncer-moncernya.

Kita bahkan juga bisa berbicara lebih lanjut tentang kaitan industri welness dengan isu gender. Seperti yang kita ketahui, konsep kecantikan bukanlah suatu hal yang baru. Ia sudah berkembang paling tidak sejak perkembangan spesies manusia sampai pada titik dimana kita bisa membayangkan dan memikirkan hal-hal yang abstrak. Dalam konteks masyarakat pra mesin cetak, konsep kecantikan biasanya terbentuk dan dipercaya dalam satu kelompok budaya, seperti yang bisa ditemukan di relief-relief candi, patung dan arca, atau bentuk budaya material lain. Lahirnya teknologi mesin cetak mendorong penyebaran gagasan dan informasi yang jauh lebih masif daripada sebelumnya, termasuk gagasan tentang diri yang ideal. Dalam hal ini, praktik kolonialisme juga memainkan peran krusial dalam penyebaran konsep kecantikan yang dipercaya sebagai nilai universal: tubuh ramping dengan lingkar dada tertentu, rambut lurus–jika memungkinkan pirang!, kulit cerah dan badan mulus tanpa rambut–apalagi bekas luka, tinggi dan kaki jenjang–tetapi tidak terlalu tinggi sampai mengintimidasi. Kita melihat semua itu di perhelatan kontes kecantikan yang juga sudah menjadi satu industri tersendiri.

Perempuan–sayangnya–sampai hari ini masih menjadi salah satu target utama dari produk kecantikan yang juga diselubungi oleh konstruksi-konstruksi tersebut. Ditarik ke industri wellness saat ini, konsep kecantikan menjadi semakin kompleks. Tidak hanya cantik dari luar, perempuan ideal juga yang “sehat”. Sehat secara fisik berarti mengonsumsi makanan dan minuman berbahan organik–ratusan ribu untuk semangkok salad, melakukan aktivitas olahraga yang dibantu oleh mentor dan didukung dengan peralatan dan pakaian bermerek. Itu secara fisik. Secara mental, yang ideal adalah perempuan yang mampu mengatur keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, sehingga ia bisa menjadi ibu yang selalu sabar menghadapi suami dan anaknya dan pada saat yang sama juga selalu tersenyum di hadapan rekan-rekan kerjanya. (Saya pun mulai berpikir mungkin kerabat saya yang mendorong saya untuk berwisata wellness mengutarakan hal tersebut karena melihat saya yang menghabiskan waktu di depan laptop selama 10–16 jam setiap hari–bahkan bisa 20 jam jika ada pekerjaan yang menuntut diselesaikan dalam waktu cepat.)

Sebenarnya masih ada sederet permasalahan yang bisa kita angkat dan kritik lebih lanjut terkait industry wellness yang saat ini diperhitungkan mencapai belasan juta dolar, tetapi dari tiga hal di atas kita bisa melihat bahwa gagasan wellness yang berkembang dewasa ini tidak seindah yang diiklankan dan mungkin kita bayangkan. Dan dalam hal ini, saya secara sadar membuat jarak dengan industri tersebut. Pada satu sisi, saya percaya bahwa setiap orang berhak untuk menjaga kesehatannya dengan cara-cara yang dirasa nyaman baginya. Namun di sisi lain saya juga meyakini bahwa masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab sosial dan kemasyarakatan. Mari kita pikirkan bersama, memangnya siapa yang menjahit pakaian dan sepatu kita? Yang bekerja di bawah terik matahari untuk makanan yang kita makan? Industrialisasi dalam konteks luas memang membuat kita melupakan kerja-kerja produksi yang dilakukan kelas pekerja, dan spesifik untuk industri wellness, kita dibuat percaya bahwa semua cara untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan tidak berkenaan dengan relasi dan dinamika kelas. Selama kita sudah bahagia mengapa harus memikirkan orang lain?

Dan saya, sebagai perantau di kota besar yang menghadapi semua yang menjadi keluhan masyarakat urban, memilih untuk mengembalikan semuanya pada gagasan eling dalam konsep pemikiran budaya Jawa. Tidak bermaksud esensialis, tetapi saya merasa bahwa ide dan praktik dari eling menjadi cara yang paling nyaman untuk saya lakukan dan tentunya tidak mengarah pada cara pandang individualistik serta tidak membutuhkan ratusan ribu rupiah untuk satu kali makan. Eling yang secara harfiah berarti “ingat”, pada dasarnya adalah tentang kesadaran. Ingat dan sadar siapa diri kita, di mana kita berada dalam konteks waktu dan tempat, dengan siapa kita berhadapan, dan menyadari bahwa dunia ini tidak hanya tentang kita saja.

Alih-alih mengocek kantong untuk kelas yoga, kita bisa melatih kesadaran dengan menyisihkan waktu untuk meneng atau diam dan memusatkan pikiran dan fokus. Alih-alih menuruti rekomendasi selebgram tentang smoothies sehat seharga dua hari makan siang, kita bisa membeli sayuran dan buah-buahan di pasar tradisional atau bakan menanamnya sendiri. Alih-alih menjadi turis di negeri sendiri, kita bisa mulai mencari kebahagiaan melalui bertemu dan berbicara dengan orang-orang baru, mendengar dan belajar dari mereka. Pada akhirnya, menurut saya, wellness satu orang individu tidak semestinya muncul dan terbentuk dari hal-hal yang menginjak-injak hak orang lain. Hanya sedikit perubahan pada tindakan kita untuk melawan wabah wellness, paling tidak dari diri sendiri.