Resepsi positif atas film Penyalin Cahaya agaknya bukan hal yang mengherankan. Karya tersebut dapat dikatakan mewakili cukup banyak suara yang selama ini tercekat hanya sampai pangkal lidah, menggambarkan hal-hal yang tidak asing tapi pada saat yang sama tidak dibahas secara terbuka. Secara umum, riuh rendah tepuk tangan dan sorotan lampu panggung mengarah pada karakter Suryani atau Sur yang memang digarap dengan matang dan kuat. Namun sesungguhnya ada satu sosok karakter kompleks protagonis/antagonis yang tidak mendapatkan atensi yang setingkat dengan Sur, yang tidak dimenangkan oleh para penonton, tapi diselamatkan oleh cerita dalam film itu sendiri. Ia adalah Amin.
Pada bagian awal, kehadiran karakter Amin mampu menambahkan unsur komikal ke dalam cerita yang terasa nyata, khususnya bagi para audiens yang memiliki memori akan kampus atau sedang menjalani pengalaman empiris sebagai mahasiswa. Agaknya setiap kampus punya “mas-mas fotokopian” dengan karakteristik penampilan dan sifat yang ditunjukkan oleh Amin: kaos dengan warna yang pudar, rokok yang tidak kunjung berhenti menyala di selipan bibirnya, gaya bicara yang agak slengekan, tapi sebenarnya memiliki penyimpanan pengetahuan yang cukup banyak dalam kepalanya (yang seringkali diperolehnya dari materi yang dipercayakan mahasiswa kepadanya) sehingga ia tidak canggung ketika harus berhadapan dengan para pelanggannya. Semua karakteristik itu pada akhirnya membentuk satu jalinan kepercayaan yang membuatnya akrab dengan para mahasiswa yang membutuhkan jasanya.
Relasi antara Amin dengan sebagian besar tokoh lain dapat dikatakan terbatas pada hubungan transaksional. Para mahasiswa itu hanya berinteraksi ketika mereka membutuhkan bantuan Amin sebagai penyedia jasa fotokopi dan cetak dokumen. Namun bagi Sur, Amin lebih dari itu. Sur sudah mengenal Amin sejak duduk di bangku SD, dan bahkan memilih kedai fotokopian Amin sebagai “rumah aman” setelah ia diusir dari rumah oleh orang tuanya dan menyadari kemungkinan bahwa ia telah menjadi korban kekerasan seksual. Pada titik ini, Amin tidak hanya mendapatkan kepercayaan dari Sur, tetapi saya pikir juga dari para penonton yang disodori dengan penggambaran karakter Amin yang mendukung upaya tokoh utama protagonis menemukan kebenaran.
Sampailah pada satu adegan yang menunjukkan sisi lain dari Amin. Ia ternyata mengumpulkan foto pribadi para mahasiswi di kampus untuk dijual kepada Rama, dengan dalih membutuhkan uang untuk pengobatan adiknya. Adegan tersebut menjadi momentum yang mengubah peran Amin dalam cerita. Ia tidak lagi dapat dikatakan sebagai sepenuhnya karakter protagonis. Dan Sur pada kelanjutannya harus berjuang sendiri sebelum akhirnya berhasil menyadarkan dua rekannya yang lain yang juga merupakan korban Rama.
Amin baru dimunculkan lagi pada akhir cerita, setelah upaya Sur, Tariq, dan Farah untuk membongkar tindakan Rama secara langsung tidak berhasil. Sur dan Farah digambarkan mengeluarkan Amelia, mesin fotokopi kesayangan Amin, keluar dari tokonya dan membawanya ke lantai teratas gedung kuliah, lalu menggunakannya untuk menggandakan sisa-sisa bukti yang membuktikan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan Rama. Kopian barang bukti itu kemudian disebarkan dan diterbangkan oleh angin, dibaca oleh para mahasiswa lain yang memungutinya di bawah. Kemudian beberapa dari mereka ikut ke lantai paling atas gedung dan mengikuti apa yang dilakukan Sur dan Farah, termasuk salah satunya Tariq. Sementara itu Rama yang sedang berada di sanggar teater akhirnya mendapat pukulan dari Anggun, sutradara kelompok teater Mata Hari yang sempat membantu Sur pada awal pencarian bukti kasus yang dialaminya.
Adegan penutup film digambarkan secara dramatis, menandai suatu kemenangan pada taraf akar rumput yang bersifat kolektif. Tindakan yang dilakukan Sur pada akhirnya tidak membuatnya kembali mendapatkan beasiswa, atau mengubah sikap jajaran pejabat kampus terhadap tindakan kekerasan seksual yang menimpa mahasiswanya. Kekalahan Rama pun digambarkan secara simbolik dengan tersungkurnya ia karena pukulan Anggun–jatuhnya Dewa Perseus. Segala privilese yang dimilikinya tetap melindunginya dari konsekuensi yang berhubungan dengan sistem hukum. Akhir yang simbolik tersebut agaknya juga merepresentasikan kondisi yang ada saat ini dalam dunia nyata dalam kaitannya dengan pengusutan kasus kekerasan seksual.
Namun kemudian tidak ada penggambaran lebih lanjut tentang Amin. Bukti-bukti yang disebarkan oleh Sur tidak mencakup foto-foto mahasiswi yang pernah dikumpulkan Amin untuk dijual kepada Rama. Tidak pula digambarkan Amin meminta maaf atau mendapatkan “ganjaran simbolik” layaknya Rama. Hal inilah yang kemudian saya baca sebagai kecelakaan atau keluputan dari cerita film Penyalin Cahaya ini. Pemilihan Amelia sebagai alat yang kemudian membantu Sur mencapai titik puncak perjuangannya sebenarnya sudah agak mengecewakan, karena hal tersebut menunjukkan bahwa korban pada akhirnya tetap membutuhkan pelaku untuk menceritakan kasus yang dialaminya kepada publik. Ditambah dengan tidak adanya penggambaran lebih lanjut dari sosok Amin, terkesan ada pembenaran dari tindakannya menjual foto pribadi mahasiswi karena desakan ekonomi.
Kekosongan ini cukup mengecewakan bagi saya pribadi yang cukup percaya dengan resepsi positif atas film ini (atau pun juga sikap tim penggarap film untuk menindak terungkapnya kasus yang menjerat Henricus Pria beberapa hari sebelum tayang pertama film ini di Netflix). Sampai tulisan ini selesai saya tulis, saya juga belum dapat berdamai dengan hal tersebut, menginsafinya sebagai sekadar sebuah keluputan dalam suatu karya atau mengkritisinya sebagai bias yang tidak terbaca bahkan oleh penyelenggara festival film ternama.