Dalam bahasa Indonesia istilah ini bisa diartikan: ‘kalau tidak ingin dicubit, jangan mencubit’. Saya yang lahir dan dibesarkan di Jawa, dengan keluarga yang masih sangat ‘njawani’, filosofi semacam ini menyimpan nilai berharga dalam kehidupan bermasyarakat, walaupun saya tidak ingat kapan pertama kali saya mendengar kalimat tersebut. Namun yang jelas saya mengamini filosofi yang sederhana namun fundamental ini.
Saya sebut sederhana karena untuk mempercayainya tidak diperlukan apa yang disebut dengan ‘iman’ terhadap satu ajaran tertentu. Filosofi ini lebih sederhana dari konsep tuhan yang jauh dan tidak terjangkau oleh ‘manusia berdosa’. Juga lebih sederhana dari konsep dosa-pahala dan surga-neraka. Yang saya temui saat ini lebih banyak orang mau bersusah payah menghafal atau menghitung sebesar apa pahala yang akan mereka peroleh jika melakukan suatu tindakan yang dipercaya sebagai ibadah.
Sebagai contoh adalah perlipatan pahala yang dilakukan umat suatu agama pada bulan-bulan tertentu dibandingkan dengan waktu lain atau jika dilakukan bersama-sama dengan umat lain dibandingkan jika diamalkan sendirian saja. Banyak sekolah atau guru yang mengajarkan hal tersebut, agar terlihat agamis dan beriman, dan sudah sedikit yang sekedar mengajarkan ‘yen ora gelem dijiwit, ojo njiwit’.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, tidak diperlukan iman pada kepercayaan atau kitab tertentu untuk mengamini filosofi ini. Karena filosofi ini sifatnya lebih pada manusia dan kemanusiaan, bukan tuhan dan ketuhanan. Konsep ini menawarkan suatu kondisi seimbang dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi. Di saat yang sama konsep ini juga mendukung gagasan bahwa manusia adalah binatang yang berdaulat, yang tidak bertindak semata-mata memenuhi insting survival, yang terkadang tidak memperdulikan apa yang akan dialami oleh kawan/lawan demi untuk mempertahankan diri.
Dan yang ada sekarang ini, adalah bahwa kita menjadi binatang yang semata-mata memikirkan dirinya sendiri. Buktinya banyak orang yang selalu tersinggung jika ideologinya dikomentari, namun ia selalu mengomentari ideologi lain. Banyak yang tidak suka mendengar hate speech namun suka melemparkan hate speech pada orang lain. Jarang yang mengamini ‘yen ora gelem dijiwit, ojo njiwit’ karena njiwit memang enak dan menguntungkan pada beberapa keadaan.
Saya rasa apa yang dibutuhkan kita semua adalah sekedar pendidikan tentang konsep tersebut, agar tidak terkungkung dalam penjara bernama agama dengan segala eksklusivitas dan keegoisannya. Kita sekarang memimpikan seorang malaikat bernama toleransi yang diduga telah terbang dengan sayapnya, menjadi sama jauhnya dengan tuhan itu sendiri. Penanaman kembali konsep ‘yen ora gelem dijiwit, ojo njiwit’ yang sederhana dan lebih membumi sepertinya akan menjadi nilai yang lebih efektif daripada membahas dikotomi dosa-pahala dan neraka-surga. Karena pada kenyataannya, untuk membenahi yang ada di masyarakat, yang dibutuhkan adalah solusi yang ‘dekat’ secara akal dan tidak diskriminatif bagi manusia.